Laurensius: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tanyusuph (bicara | kontrib)
riwayat hidup laurensius,martir
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: penggantian teks otomatis (-Walikota, +Wali kota; -walikota, +wali kota)
Baris 48:
“Tangkaplah saya, tetapi biarkan diakon-diakon ini tinggal di sini,” kata Bapa Suci tanpa gentar sedikit pun menghadapi maut.
 
“Tak ada perkecualian!” Maka Sri Paus, imam Quartus dan keenam diakon pun diseret keluar dan dihadapkan ke pengadilan walikotawali kota Roma.
 
Kemudian Sri Paus Sixtus dibawa kembali ke katakombe Praetextatus untuk dihukum mati di sana. Sementara itu Laurensius meminta agar walikotawali kota memperbolehkannya ikut serta pergi ke katakombe. Akhirnya, dengan dikawal serdadu Laurensius menyusul Sri Paus Sixtus II yang telah berada di sana. Hampir terlambat… serdadu telah mengayunkan kapaknya. Cepat bagaikan kilat Laurensius berteriak, menjatuhkan dirinya, dan mencium kaki Sri Paus Sixtus II.
 
“Oh, Bapa Suci, engkau tidak akan pernah pergi tanpa diakonmu ini!”
Baris 60:
“Kudoakan, jangan berkecil hati. Tak lama lagi engkau akan menyusul aku ke hadirat Tuhan. Bahkan penderitaanmu akan lebih besar dari ini. Tinggallah sebentar. Bagikanlah derma dan dana yang ada pada Gereja ke-pada orang-orang miskin. Sudah Laurensius, sekian!”
 
Sang algojo pun sudah tak sabar, kapak diangkat tinggi-tinggi, dan… kepala Bapa Suci pun terguling jatuh ke tanah. Laurensius tak bergerak, air matanya meleleh jatuh ke pangkuannya. Tak lama kemudian Laurensius pun dibawa kembali ke hadapan pengadilan walikotawali kota. Tentunya walikotawali kota Roma sangat senang melihat Laurensius dihadapkan kembali kepadanya. Mukanya berseri-seri seolah-olah tak tahu menahu akan kepedihan hati Laurensius.
 
“Saudaraku Laurensius, saya merasa kasihan padamu. Kau masih muda, tampan pula rupamu. Janganlah kau bertegar hati dengan kepercayaanmu itu.”
 
“Apa gunanya berbicara denganmu, hai Tuan Mulia! Apa yang ingin kauperbuat terhadap diriku, lakukanlah dengan segera,” jawab Laurensius dengan jenaka. WalikotaWali kota tak menampakkan kemarahannya, bahkan ditutupinya dengan senyum manis yang dibuat-buat.
 
“Laurensius, aku tak bermaksud membunuh engkau, asal…”
Baris 106:
“Semuanya telah kubawa ke sini. Lihatlah, semuanya telah sedia!”
 
Di dekat koloseum orang-orang yang datang bersama Diakon Laurensius telah tak sabar lagi menanti, gaduh benar suaranya. WalikotaWali kota pun dengan diiringi Laurensius datang ke tempat orang-orang itu berkumpul.
 
“Mana harta benda yang kaukatakan tadi?”
 
“Tuan walikotawali kota yang terhorhat, ambillah dan peliharalah orang-orang miskin dan sengsara ini.Mereka inilah yang menjadi kekayaan Gereja. Ambillah, persembahkanlah kepada Kaisar.”
 
WalikotaWali kota pun segera naik pitam, “Kurang ajar! Gila betul, engkau memperolok-olok saya. Serdadu, tangkap orang gila ini! Bawa ke tempat penggorengan!”
 
Serdadu pun menangkap Laurensius, menanggalkan bajunya, dan menariknya ke atas penggorengan. Kaki tangannya terikat erat pada sisi-sisi tempat tidur besi. Orang-orang miskin yang hadir di situ terkejut mendengar keputusan ini. Mereka berusaha membela Laurensius dan melepaskannya, tetapi tak berdaya melawan para serdadu yang bersenjata lengkap. Dengan menggerutu walikotawali kota duduk di dekat penggorengan tempat Laurensius terentang. Di sekeliling tempat itu para pembesar kota juga telah hadir untuk menyaksikan pertunjukan yang sangat mengerikan itu.
 
WalikotaWali kota berdiri tegak dan dengan garang memandang Laurensius, “Algojo! Ambil alat penyesahmu. Cambuk orang gila ini sampai sepuasmu!” Walau tubuh Laurensius ge-etar penuh luka, namun wajahnya tetap tersenyum. “Ya Tuhan, kuatkanlah hambamu ini,” bisiknya dalam hati. Para penonton kagum, mereka menggeleng-gelengkan kepala. WalikotaWali kota semakin marah, ia merasa terhina. “Ambil kayu bakar, nyalakan api di bawah penggorengan itu!”
 
Kayu mulai menyala dan dengan perlahan membakar daging Laurensius sedikit demi sedikit. Namun, wajah Laurensius yang menatap orang-orang di sekelilingnya memancarkan sinar yang indah. Setelah penderitaan yang lama, ia berpaling kepada walikotawali kota dan berkata dengan senyum yang gembira, “Hai, Tuan WalikotaWali kota yang mulia! Suruhlah serdadu-serdadumu ini membalikkan tubuhku ini, sebab yang sebelah bawah telah masak. Suruhlah balikkan agar yang sebelah lain masak juga!” Dengan marah dan geram walikotawali kota berteriak, “Serdadu, besarkan api! Buat api berkobar-kobar, seganas mungkin!”
 
Tiba-tiba walikotawali kota mundur sedikit. Semua yang hadir berpandang-pandangan, kerongkongan mereka bagai tersumbat. Ada apa gerangan? Dari tubuh yang menderita itu tersebar aroma yang harum memenuhi seluruh tempat itu. “Bau apa ini?” mereka berbisik-bisik. Tak seorang pun dapat menjawab; mereka sangat ketakutan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu Laurensius yang gagah berani telah menghadap ke hadirat Tuhan sebagai seorang ksatria Kristus…..
 
Banyak di antara mereka yang hadir sangat kagum akan ketabahan Sang Martir ini. Seketika itu pula banyak dari mereka bertobat, berpaling kepada Kristus, dan minta dipermandikan. Sebagian orang lainnya meminta tubuh Sang Martir yang telah hangus itu, dan menguburkannya di Ciriaca dalam Kampus Verano di Via Tiburtina; ketika itu tanggal 10 Agustus 258. Di kemudian hari, pada zaman Kaisar Konstantinus Agung, di atas makam Diakon Laurensius didirikan sebuah gereja megah yang melambangkan keperwiraan Sang Martir.