Subjek (filsafat): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 4:
Pemikiran [[Karl Marx|Marx]] dan [[Sigmund Freud|Freud]] memberikan sebuah titik tolak dalam mempertanyakan gagasan "subjek otonom" dan "kesatuan". Pemikiran ini dilihat sebagai dasar teori liberal atas kontrak sosial pada tradisi [[filsafat kontinental]]. Para pemikir ini membuka jalan bagi proses [[dekonstruksi]] "subjek" sebagai konsep inti [[metafisika]]. Eksplorasi Freud tentang wilayah tidak-sadar menambahkan sebuah dakwaan tentang gagasan subjektivitas pada Masa Pencerahan. Selain itu, [[Martin Heidegger|Heidegger]] menawarkan konsep [[Dasein|''Dasein'']] dalam menggantikan konsep tradisional tentang subjek pribadi. Konsep [[fenomenologi]] [[Martin Heidegger|Heidegger]] mencoba melampaui dualitas klasik antara subjek dan objek, karena keduanya dihubungkan dengan hubungan yang tak terpisahkan; di mana tidak ada dunia tanpa subjek, atau subjek tanpa dunia.<ref name=":1">Farina, Gabriella (2014). [http://www.crossingdialogues.com/Ms-A14-07.pdf ''Some reflections on the phenomenological metho''d.] ''Dialogues in Philosophy, Mental and Neuro Sciences'', '''7'''(2):506–2.</ref> [[Jacques Lacan]], yang terinspirasi oleh [[Heidegger]] dan [[Ferdinand de Saussure|Saussure]] dalam penggunaan model psikoanalisis [[Sigmund Freud|Freud]] tentang subjek ini, menggunakan konsep "subjek terbelah" yang dibentuk oleh ikatan ganda, yaitu dengan terasingnya diri dari "''jouissance''"{{efn|Kata '<nowiki/>''jouissance'<nowiki/>'' sulit mendapatkan padanan yang tepat, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Hal ini membuat kata ini tetap digunakan dan tidak diterjemahkan. Kata '<nowiki/>''jouissance'<nowiki/>'' sendiri memiliki makna semacam kepuasan tetapi juga mengandung penderitaan; di mana '<nowiki/>''jouissance'<nowiki/>'' dipahami sebagai pengganti bagi hilangnya "kesatuan ibu-anak" yang hilang karena anak membentuk subjektivitasnya sendiri.<ref name=":3"/>}} saat ia meninggalkan [[tatanan riil]], dan memasuki [[tatanan imajiner]] (pada proses [[tahap cermin]]), yang memisahkan diri dengan [[Liyan (filsafat)|liyan]] saat dia memasuki ranah [[bahasa]], perbedaan, dan permintaan dalam [[tatanan simbolik]] atau " Nama-Ayah".<ref name=":2">Elizabeth Stewart, Maire Jaanus, Richard Feldstein (eds.). ''Lacan in the German-Speaking World'', SUNY Press, 2004, p. 16.</ref> Subjek pada pandangan [[Jacques Lacan|Lacan]] di sini adalah "subjek maskulin"; di mana Lacan memasukkan pandangan Freud bahwa antara ibu dan anak tercipta suatu korelasi yang berhubungan dengan apa yang disebut falus ({{lang-en|phallus}}). Falus tidak dapat didefinisikan sebagai sekadar organ penis pada pria. Falus menurut Lacan adalah fungsi imajiner dan simbolik dari organ penis. Imajiner falus adalah objek imajiner yang berada antara anak dan ibu. Imajiner falus dipahami oleh seorang anak sebagai objek hasrat dari ibunya yang diingini oleh sang ibu melampaui sang anaknya sendiri, sehingga sang anak mengidentifikasikan dirinya dengan objek ini. Sang ayah hadir dan melakukan kastrasi terhadap sang anak dengan larangan kepada sang anak melalui hukum tersirat dalam melepaskan harapan untuk menjadi falus ibunya. Dalam hal ini sang anak dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu menaati atau menolak hal tersebut. Dalam proses ini Lacan memperkenalkan istilah “Nama-Ayah” yang digambarkan mewakili [[hukum]] dan [[masyarakat]].<ref name=":3">Lukman, Lisa. (2011). ''Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Jacques Lacan''. Jakarta: Penerbit Kanisius.</ref>
[[Kastrasi]] yang dimaksud Lacan bukan hanya terjadi pada anak lelaki, melainkan juga pada anak perempuan. Falus terjadi tanpa melihat perbedaan jenis kelamin. Lacan mendefinisikan pria sebagai yang memiliki falus simbolik "yang bukan-(apa-apa)-tanpanya”
== Catatan ==
{{notelist}}
|