Burhanuddin Harahap: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah tulisan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 29:
}}
 
'''Burhanuddin Harahap''' (ejaan lama: '''Boerhanoeddin Harahap''') (lahir di [[Kota Medan|Medan]], [[Sumatera Utara]] [[1917]] - [[Jakarta]], [[14 Juni]] [[1987]]), ayahnya seorang Jaksa di Medan Sumatra Utara, bernama Junus Harahap adalah [[Perdana Menteri Indonesia]] ke-9 yang bersama [[Kabinet Burhanuddin Harahap]] memerintah antara [[12 Agustus]] [[1955]] sampai [[24 Maret]] [[1956]]. Burhanuddin Harahap merupakan keturunan Sultan Aru Barumun yaitu Aminuddin Harahap gelar Baginda Pamenang, di wilayah Pasir Pangaraian, Rokan Hulu. Pada masa jabatannya menjadi Perdana Menteri tahun 1955 dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia yang pertama kali sejak masa kemerdekaan dan pertama kali di Indonesia. Pemilu ini juga merupakan satu-satunya Pemilu yang pernah dilaksanakan pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno. Burhanuddin Harahap juga berperan besar dalam pelaksanan Konfrensi Asia Afrika, Burhan mengundang semua negara Asia Afrika, walaupun terlaksana pada Ali Soetromidjojo. Burhanuddin Harahap juga membubarkan Uni Indonesia Belanda yang disetujui Sultan Hamid 2 sebagai ketua Indonesia Serikat, Burhanuddin pun tidak mau membayar sisa hutang Belanda. Burhanuddin juga menghidupkan pemberantasan Korupsi sehingga puluhan pejabat yang tersandung korupsi pada masanya banyak di tangkap oleh polisi militer, pemberantasan korupsi inipun dihapuskan Sukarno karena tokoh PNI banyak yang korupsi. Burhanuddin juga berperan dalam perdamaian dengan DII Aceh, dia mengabulkan tuntutan Aceh jadi Provinsi yang pisah dari Sumbagut, dibawah pimpinannya mendirikan USU di Aceh dan Sumut sebagai lembaga pendidikan.
 
Kepemimpinan Burhanuddin Harahap yang bagus, tetapi digantikan Suekarno dengan Kabinet Ali mengakibatkan perselisihan di Kubu Hatta yang mendukung penuh Burhanuddin Harahap. Perselisihan itu mengakibatkan M. Hatta dari wakil presiden karena tak dihargai Sukarno, kubu Masyumi pun pendukung Burhan keluar dari kabinet dan membuat pemerintahan tandingan di Sumatera Barat yang disebut dengan PRRI. Sukarno tak menerima tuntutan Masyumi, sukarno menyelesaikannya dengan kekerasan Abdul Haris Nasution sebagai Jendral TNI , ribuan masyarakat Sumatera Barat kehilangan nyawanya, membumi hanguskan Sumatera Barat, yang mengakibatkan trauma pada masyarakat Sumatera Barat.