Tionghoa Benteng: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Harliwan (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
== Sejarah ==
[[Berkas:AMH-4578-NA Map of the fort at Tangerang.jpg|thumb|Denah Benteng Tangerang tertanggal 1709]]
Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai [[Cisadane]], difungsikan sebagai postpos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan bontengbenteng terdapanterdepan pertahanan Belanda di pnlaupulau Jawa. Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
 
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Baris 21:
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai [[Tangerang]] dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan Tionghoa Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
 
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwebahwa merekemereka akan tetap loyal terhadap Tiongkok dan Kaisar [[Dinasti Qing]]. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Tionghoa Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire".
Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda. Tionghoa Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
 
== Pakaian adat ==
Pakaian adat suku Tionghoa Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku besar Tionghoa (yang didominasi suku HokianHokkian) dan pakaian adat [[suku Betawi]]. Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali digunakan pula [[kebaya encim]], dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.
 
== Kontribusi dalam kelangsungan kolonialisme Belanda ==
Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolinalkolonial Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa pada era feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda.
Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah.
Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an.