Haji (gelar): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Robot: Perubahan kosmetika
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: penggantian teks otomatis (- sorban, + serban)
Baris 11:
Di beberapa negara, gelar haji dapat diwariskan turun-temurun sehingga menjadi nama keluarga seperti ''Hadžiosmanović'' dalam bahasa Bosnia yang berarti 'Bani Haji Usman' alias 'anak Haji Usman'. Di negara-negara Arab, gelar haji awam digunakan sebagai penghormatan kepada orang yang lebih tua terlepas dari pernah haji atau belum. Gelar haji juga digunakan di negara-negara kristen Balkan yang pernah dijajah Imperium Usmani (Bulgaria, Serbia, Yunani, Montenegro, Makedonia dan Romania) bagi orang kristen yang sudah pernah berziarah ke Yerusalem dan Tanah Suci.<ref>http://www.apologitis.com/gr/ancient/Ierosolyma.htm</ref>
 
Dalam konteks historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar haji sering disematkan pada seseorang yang telah pergi haji, dan sempat digunakan pemerintah [[Hindia Belanda]] untuk identifikasi para jemaah haji yang mencoba memberontak sepulangnya dari [[Tanah Suci]]. Mereka dicurigai sebagai anti [[kolonialisme]], dengan pakaian ala penduduk [[Arab]] yang disebut oleh [[VOC]] sebagai “kostum [[Muhammad]] dan sorban”serban”.
 
Dilatar belakangi oleh gelombang propaganda anti VOC pada [[1670]]-an di [[Banten]], ketika banyak orang meninggalkan [[pakaian adat]] [[Jawa]] kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab, serta oleh pemberontakan Pangeran Diponegoro serta Imam Bonjol yang terpengaruh pemikiran Wahabi sepulang haji,<ref>[[Kees van Dijk]] dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, yang termuat dalam ''Outward Appearances'': Trend, Identitas, Kepentingan.</ref> pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan [[politik]] Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah [[Islam]] di [[Nusantara]] pada masa itu.<ref>Politik [[Hindia Belanda]] Terhadap Islam (1985, LP3S) karya Prof. Dr. [[Aqib Suminto]].</ref> Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda ''Staatsblad'' tahun 1903. Maka sejak tahun [[1911]], pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk [[pribumi]] yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di [[Pulau Cipir]] dan [[Pulau Onrust]], mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.