Ratu (gelar): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 16:
 
== Penguasa monarki ==
Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki]], ratu adalah padanan dari gelar [[Raja (gelar)|raja]], dan merujuk pada wanita yang memimpin kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah ratu jauh lebih sedikit daripada raja. Hal ini karena banyak kebudayaan di masa lalu yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.
Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki]], ratu adalah padanan dari gelar raja, dan merujuk pada wanita yang memimpin kerajaan. Dalam beberapa kebudayaan, baik pria maupun wanita yang menjadi penguasa monarki menyandang gelar yang sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Firaun, gelar yang disandang oleh para penguasa Mesir kuno, pernah disandang baik oleh pria dan wanita. Beberapa wanita yang menjadi firaun di antaranya [[Hatshepsut]] dan [[Kleopatra VII|Kleopatra]]. Penguasa Tiongkok antara tahun 221 SM sampai 1912 M menyandang gelar [[Kaisar Tiongkok|''huángdì'' (皇帝)]] dan gelar ini pernah disandang pria dan wanita. Dalam bahasa Indonesia, gelar ini diterjemahkan menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "kaisarina" untuk perempuan. Penguasa negeri Jepang menyandang gelar [[Kaisar Jepang|''tennō'' (天皇)]] dan diterjemahkan menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "[[Kaisarina Jepang|kaisarina]]" untuk perempuan, sebagaimana penerjemahan gelar ''huángdì''.
 
Dalam hukum Salik yang dianut banyak monarki Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta. Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya, dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah tidak memiliki hak kepemilikan atas namanya sendiri. Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya. Prinsip ini disebut ''jure uxoris''. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat [[Mary I dari Inggris|Mary I]] yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan [[Felipe II dari Spanyol|Felipe II]], Raja Spanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, [[Elizabeth I dari Inggris|Elizabeth I]], menghindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, wanita pada akhirnya memiliki kepemilikan atas namanya sendiri di masa modern ini. Terkait gelar, saat wanita menjadi ratu, suaminya akan dianugerahi gelar pangeran, dan bukan raja sebagaimana di abad pertengahan, menghindari agar kedudukan sang pria tidak lebih tinggi dari ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua monarki Eropa telah mengubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak, yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan kepada anak pertama tanpa memandang jenis kelamin.
Berbeda dengan yang telah disebutkan sebelumnya, di Eropa, gelar kebangsawanan memiliki bentuk pria dan wanita, seperti gelar bahasa Inggris "''prince''–''princess''", "''king''–''queen''", dan "''emperor–empress''". Dalam konteks penguasa monarki, biasanya seorang pemimpin monarki wanita menyandang gelar yang sama sebagaimana istri pemimpin monarki pria. Di [[Britania Raya|Inggris Raya]], gelar ''queen'' dapat digunakan untuk penguasa monarki wanita (contoh: [[Elizabeth II dari Britania Raya|Elizabeth II]]) dan istri dari ''king'' atau raja (contoh: [[Elizabeth Bowes-Lyon|Elizabeth Boweys-Lyon]]). Penggunaan ini dapat menimbulkan keambiguan dari kedudukan orang yang menyandang gelar tersebut. Lantaran permasalahan ini, beberapa wanita yang menjadi penguasa monarki di Eropa mengambil gelar yang biasanya disandang penguasa monarki pria. Jadgiwa, wanita yang memerintah Polandia dari 1384 sampai 1399, dimahkotai sebagai ''rex'' (gelar yang biasa disandang Raja Polandia lain) dan bukan ''regina'' (gelar yang biasa disandang permaisuri Raja Polandia).
 
Di Asia Timur sendiri, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi penguasa monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi kaisarina. Namun saat Jepang mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia pada [[Zaman Meiji]], wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi kaisarina. Saat Kerajaan Silla di bawah kepemimpinan [[Seondeok dari Silla|Ratu Seondeok]], salah satu pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak dapat memimpin negara."
Dalam kesultanan, gelar bagi penguasa monarki wanita dapat berbeda-beda antara satu kesultanan dengan kesultanan yang lain. Berbeda dengan gelar yang telah disebutkan sebelumnya yang hanya digunakan di daerah tertentu, gelar sultan dan turunannya digunakan secara meluas dari Afrika sampai Asia Tenggara, membuat penggunaannya juga menyesuaikan adat istiadat setempat. Shajar al-Durr, pemimpin Mesir pada tahun 1250 dan menjadi wanita pertama yang menjadi penguasa monarki dalam sejarah Islam, menyandang gelar sultan saat naik tahta sebagaimana laki-laki. Sedangkan di [[Kesultanan Aceh|Aceh Darussalam]], [[Safiatuddin dari Aceh|Safiatuddin Syah]] menyandang bentuk wanita dari gelar sultan, yakni sultanah, saat naik tahta pada tahun 1641. Di beberapa negara bagian di Malaysia, sultanah adalah gelar resmi bagi istri sultan.
 
Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi penguasa monarki. Di [[Kesultanan Delhi]], Sultan Iltutmish menjadikan putrinya, Raziya, putri mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish mengabaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih saat itu ibunya justru memegang kendali negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta pada 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak memberi restu terhadapnya, sehingga takhta selanjutnya diberikan kepada Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr. Meskipun begitu, beberapa kesultanan di luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima sultanah, [[Kesultanan Samudera Pasai|Samudera Pasai]] memiliki satu sultanah, dan [[Kesultanan Aceh|Aceh Darussalam]] pernah diperintah empat sultanah berturut-turut.
=== Daftar ratu sekarang ===
 
Meskipun demikian, tidak setiap monarki di masa lampau membatasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, [[Tribhuwana Wijayatunggadewi|Tribhuwana Tunggadewi]] dapat mewarisi takhta menjadi maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.
 
=== Daftar ratu sekarang ===
Saat ini, hanya ada dua wanita yang berkedudukan sebagai ratu dalam konteksnya sebagai penguasa monarki.
{| class="wikitable sortable" width=75%