Perjanjian Giyanti: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler
Baris 11:
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di [[Cirebon]] ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan [[Mataram]] sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur [[VOC]] mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh dia. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan [[Mataram]] ketika [[Paku Buwono II]] wafat di daerah '''Kabanaran''', bersamaan [[VOC]] melantik Adipati Anom menjadi [[Paku Buwono III]]).
 
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada [[23 September]] [[1754]] akhirnya tercapai '''nota kesepahaman''' bahwa '''Pangeran Mangkubumi''' akan memakai gelar '''Sultan''' dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah '''Pantai Utara Jawa''' (orang [[Jawa]] sering menyebutnya dengan '''daerah pesisiran''') yang telah diserahkan pada [[VOC]] (orang Jawa sering menyebut dengan '''Kumpenikumpeni/company*mengistilahkan perdagangan barat''') tetap dikuasai [[VOC]] dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh [[VOC]] akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada [[Paku Buwono III]]. Pada 4 November tahun yang sama, [[Paku Buwono III]] menyampaikan surat pada '''Gubernur Jenderal [[VOC]] Mossel''' atas persetujuan dia tehadap hasil perundingan Gubernur [[Jawa]] Utara dan Mangkubumi.
 
Berdasarkan perundingan [[22 September|22]]-[[23 September]] [[1754]] dan surat persetujuan [[Paku Buwono III]] maka pada [[13 Februari]] [[1755]] ditandatangani '''Perjanjian di Giyanti'' yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan [[Soedarisman Poerwokoesoemo]], sebagai berikut: