Perang Jawa (1741–1743): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
k penyuntingan nama tionghoa anko dan que yonko menjadi Ang Khoo dan Kwee Yong Khoo sesuai ejaan tionghoa latin. |
||
Baris 42:
Pada akhir tahun 1741, pengepungan Semarang berhasil dipatahkan setelah tentara Pakubuwono II melarikan diri karena tentara Belanda memiliki senjata api yang lebih kuat. Kampanye militer Belanda selama tahun 1742 memaksa Pakubuwono II untuk menyerah; namun, beberapa pangeran Jawa ingin meneruskan perang, sehingga pada 6 April Pakubuwono II tidak diakui oleh para pemberontak dan keponakannya, Raden Mas Garendi, dipilih sebagai penggantinya.
Begitu Belanda berhasil merebut kembali semua kota di pantai utara Jawa, para pemberontak menyerang ibukota Pakubuwono II di [[Kartosuro]], sehingga ia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya. [[Cakraningrat IV]] merebut kembali kota tersebut pada Desember 1742, dan pada awal 1743 pemberontak Tionghoa terakhir telah menyerah. Setelah perang ini berakhir, orang Belanda semakin menancapkan kekuasaannya Jawa melalui perjanjian dengan Pakubuwono II.
== Latar belakang ==
Baris 52:
Ketika 10.000 etnis Tionghoa dari sekitaran [[Tangerang]] dan [[Bekasi]] berhenti di pintu gerbang pada hari berikutnya,{{sfn|Dharmowijono|2009|p=298}} Valckenier segera mengadakan pertemuan darurat pada 9 Oktober.{{sfn|Setiono|2008|p=114}} Pada hari pertemuan tersebut, Belanda dan kelompok etnis lainnya di Batavia mulai membunuh seluruh etnis Tionghoa di kota tersebut, mengakibatkan sekitar 10.000 orang tewas selama dua minggu.{{sfn|Setiono|2008|pp=114–116, 119}}
Pada akhir Oktober 1740, korban selamat dari pembantaian tersebut, yang dipimpin oleh Khe Pandjang.{{efn|Beberapa sumber menyebut namanya sebagai Khe Pandjang, Que Pandjang, Si Pandjang, atau Sie Pan Djiang,{{sfn|Setiono|2008|p=135}}{{sfn|Raffles|1830|p=235}}{{sfn|Dharmowijono|2009|p=301}} Setiono menyatakan bahwa nama sebenarnya adalah Oie Panko.{{sfn|Setiono|2008|p=135}}}} berupaya untuk melarikan diri ke [[Banten]]
== 1741 ==
Baris 60:
Pada 1 Februari 1741, Korporal Claas Lutten dibunuh di rumahnya di [[Kabupaten Pati|Pati]] oleh 37 pemberontak Tionghoa yang bersenjatakan pedang, tombak, dan [[garu]]; kelompok tersebut melakukannya di halaman rumahnya, lalu menjarah rumahnya.{{sfn|Setiono|2008|p=135}} Para pemberontak tersebut dikejar oleh sekelompok pasukan Jawa oleh perintah bupati [[Kabupaten Kudus|Kudus]].{{sfn|Setiono|2008|p=136–137}} Meskipun sebagian besar pemberontak berhasil melarikan diri, satu orang ditangkap dan dibunuh dengan kepalanya dipenggal lalu disulakan pada sebuah tiang di tengah Semarang sebagai peringatan untuk orang-orang lain yang ingin memberontak.{{sfn|Setiono|2008|p=136–137}}
Di sekitaran [[Kabupaten Demak|Demak]] dan [[Grobogan]] etnis Tionghoa berkumpul dalam jumlah besar dand memilih pemimpin baru, Singseh, dan berupaya untuk membentuk negara mereka sendiri.{{sfn|Raffles|1830|pp=235–236}} Keberhasilan tentara Jawa dalam meredam pemberontakan meyakinkan Visscher, meskipun
Pada saatu itu, Visscher beserta pasukannya hanya berjumlah 90 orang Belanda dan 208 orang Indonesia tanpa bala bantuan{{efn|Saat itu, pasukan Khe Pandjang masih berada di Bekasi, di antara Batavia dan Semarang, sedangkan di Sulawesi Selatan sedang ada perang yang berlangsung. Sehingga posisi Visscher terputus dari kedua kubu besar Belanda.{{sfn|Setiono|2008|pp=136–137}} }} dan menerima saran-saran yang saling bertolak belakang antara
Pada sekitar akhir tahun 1740 hingga bulan Juli 1741,
=== Ketidakstabilan Visscher dan kekalahan-kekalahan awal ===
Baris 78:
=== Pengepungan Semarang dan kekalahan Belanda ===
[[Berkas:Semarang, 1741.jpg|thumb|300px|Sebuah peta yang memperlihatkan suatu situasi di Semarang. Sebuah benteng (tengah) dikepung oleh pasukan Tionghoa dan Jawa.]]
Pada hari berikutnya, Belanda memeriksa seluruh rumah Tionghoa, termasuk rumah
Pada bulan Juni dan Juli, pasukan {{nowrap|Cakraningrat IV}} berupaya untuk membunuh seluruh etnis Tionghoa, pertama dimulai di Madura kemudian menjalar ke Tuban, [[Surabaya]], Jipang, dan Gresik.{{efn|Sumber-sumber tidak menjelaskan jumlah korban tewas, meskioun di Gresik diperkirakan berjumlah 400 jiwa.{{sfn|Raffles|1830|p=241}}{{sfn|Setiono|2008|p=149}}}}{{sfn|Setiono|2008|p=149}} Pada 12 Juli, seluruh Tionghoa di wilayah Surabaya dan Gresik melarikan diri atau akan dibunuh.{{sfn|Setiono|2008|p=147}}
|