Gereja Puhsarang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- tapi + tetapi)
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 29:
Maksud adanya relief di altar dan sekeliling altar adalah untuk memberikan hiasan pada altar dan sebagai sarana untuk katekese atau untuk mengajar umat yang sederhana. Relief semacam ini biasa terdapat dalam katedral katedral dan gereja-gereja kuno di Eropa, dimana terdapat relief, patung-patung dan mosaik dari kaca yang indah sekali. Karena orang pada waktu itu duduk bersila di lantai ketika mengikuti misa, maka relief dibuat rendah supaya mudah dilihat. Sekarang pun kalau misa orang juga masih duduk bersila atau "lesehan" (bahasa Jawa).
 
Bangunan Gereja secara unik dikelilingi oleh benteng yang terbuat dari batu-batu dan tampak kokoh. Yang lebih menarik lagi adalah memperhatikan bentuk pintu gerbang atau pintu masuk. Terdapat tiga pintu: pintu utama dengan model bangunan megah terletak di samping; pintu yang terletak di depan pendopo yang langsung berhadapan dengan makam (umat Katolik); dan pintu samping yang terlihat sempit dan kecil. Konsep benteng batu yang kokoh, pintu utama yang megah, pintu sempit, pintu yang berhadapan dengan makam berasal dari kreativitas Romo pendirinya, Romo Jan Wolters CM.
[[Berkas:Pintu sempit.JPG|right|thumb|200px|Pintu masuk yang "sempit" Gereja Puhsarang.<!-- Sumber foto: pengguna-->]]
Romo Wolters CM berpendapat bahwa Gereja adalah "Rumah Tuhan" (Keraton Dalem), di situ bertahta Yesus Kristus, sang Raja segala raja. Tetapi, Yesus Kristus adalah Raja yang menyambut umatNya secara personal, pribadi. Ia adalah Raja yang tidak sulit dijumpai. Ia adalah Raja yang menyambut siapa pun yang datang kepada-Nya. Ia adalah Raja yang disembah dalam relasi kemesraan dan keakraban. Pintu yang megah melambangkan gerbang Rumah Tuhan yang harus megah, menyongsong umat Allah yang datang untuk "sowan" dan menyembah Rajanya. Pintu yang sempit mengatakan seperti dalam Injil bahwa untuk masuk ke Kerajaan Allah, orang harus melewati pintu yang sempit. Untuk dekat dan berelasi dengan Tuhan, lorong jalannya kerap sulit, sempit. Pintu yang berhadapan dengan makam mengukir sebuah kebenaran iman, bahwa terhadap umat Tuhan yang telah wafat berpulang ke keabadian, mereka semua disambut oleh Kristus Sang Raja dalam Rumah Abadi di Surga.<ref>''Ibid''.</ref> Jadi, Gereja Pohsarang itu indah bukan hanya karena bentuknya, melainkan juga karena ada katekese iman yang melekat erat pada bangunan tersebut. Dan, katekesenya amat kaya serta mendalam.
Baris 50:
Di halaman luar, sebelum masuk gereja, terletak di sebelah kanan terdapat rumah untuk menyimpan gamelan. Gamelan itu dulu kala digunakan untuk mengiringi misa dan sendratari yang sering diadakan pada awal berdirinya gereja.
 
Di halaman gereja terdapat Patung Kristus Raja. Di atasnya terdapat tiang batu di mana terdapat Perahu Nabi Nuh. Dalam Tradisi para Bapa Gereja, bahtera (perahu) Nabi Nuh adalah lambang Gereja. Mengapa ada patung Kristus Raja? Kristus adalah Kepala Gereja. Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus. Patung Kristus Raja terbuat dari batu melukiskan keindahan dan kekokohan. Kristus lantas juga seolah-olah tampil kokoh sebagai yang "menakhodai" bahtera-Nya. Kristuslah yang memimpin dan membimbing Gereja-Nya, persekutuan umat beriman yang dipersatukan dalam iman kepada-Nya.
[[Berkas:Pohsarang10.jpg|left|thumb|250px|Amphitheater di Pohsarang, ide Romo Jan Wolters CM. Sumber foto: ''SV-Missietijdschrift der Lazaristen'' 1938]]
Di halaman yang sekarang dipakai untuk taman, dulu kala terdapat sebuah bangunan indah yang disebut "Amphitheater", sebuah lapangan menyerupai tempat untuk pementasan drama seperti pada zaman Yunani kuno, dimana pentasnya ada di tempat yang lebih rendah dari penontonnya. Pada tanggal 7 Agustus, tahun 1937-an (?), terdapat pementasan kisah Abraham yang dijalankan di "Aphitheater" tersebut sebagai sebuah drama katekese kisah Kitab Suci sekaligus untuk menyambut tamu-tamu agung, yaitu Yang Mulia Mgr. Pacino, Delegat Apostolik untuk Australia, sekretarisnya, Mgr. King; Vikaris Apsotolik untuk Indonesia Timor Mgr. Pelsers, dan Prefek Apostolik Surabaya Mgr. Verhoeks. Peristiwa ini menandai perhelatan penting dari sebuah desa Pohsarang dengan sebuah bangunan "Gereja Keraton Jawa"-nya. Sejak itu, Pohsarang menjadi emblem inkulturasi yang mencengangkan, tulis Romo van Megen CM.<ref>''St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen'', 29e Jaargang, 6e AFL., No. 158, 15 Nopember 1939, hlm. 171-173.</ref>