Mahasthawira Vajragiri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 17:
 
=== Masa kecil hingga berkeluarga ===
Keluarga Tjing San adalah keluarga miskin sehingga Nyonya LimLiem memberikan putera ketiganya kepada seorang penjaja bakpao keliling yang tidak memiliki anak. Kondisi perekonomian keluarganya itu membuat Tjing San tumbuh menjadi anak yang mandiri dan turut membantu menanggung beban biaya keluarganya. Ia berjualan ikan, ubi dan sayuran, serta nasi uduk dan ketan sebelum berangkat ke sekolah. Namun setelah [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang masuk ke Indonesia]], ia terpaksa berhenti sekolah sampai kelas tiga SD saja.
 
Setelah Indonesia merdeka, Tjing San berjualan kain di Keruwi, Lampung. Namun usahanya gagal karena menjadi korban pemotongan nilai rupiah, uang seribu rupiah dipotong menjadi senilai seratus. Dengan dorongan semangat dari Nyonya LimLiem, ia membawa pulang adik ketiganya yang telah diberikan orang untuk diajak berdagang kopi. Pada tahun 1959, keluarga Tjing San akhirnya pindah ke [[Palembang]].
 
Tjing San menikah dengan Ratna Santoso (Tjia Giok Nio) betepatan dengan perayaan [[Waisak]] pada tanggal 17 Mei 1956 di [[Palembang]]. Mereka dikaruniai sepasang putri kembar dan dua orang putra. Di Palembang, dia mulai aktif di [[Klenteng]] '''Sam Goeat Kong''' dan menjabat sebagai ketua, sekretaris, sekaligus bendaharanya.
 
=== Peran ibu dalam kehidupan Bhante Vajragiri ===
Ibu dari Bhante Vajragiri berperan sangat penting dalam membentuk karakter dan kehidupannya. Ia merupakan tulang punggung keluarga. Bahkan semasa mengandung putera kedua, ia sering terkena hujan sehingga menderita sakit tulang dan sering menangis siang-malam karena menahan nyeri. Kenangan akan rematik yang diderita oleh ibunya menginspirasi dan menumbuhkan semangat Bhante Vajragiri untuk selalu membagikan obat. Di saat Nyonya LimLiem sakit, minyak tanah untuk lampu yang saat itu seharga 11 sen tidak mampu mereka beli sehingga mereka hanya mengandalkan nyala api dari karet ban mobil yang dibakar.
 
Semasa remaja, Tjing San merantau ke Tulung Buyut ([[Lampung]]) meskipun tidak diizinkan oleh orang tuanya. Ia membeli tanah bersama Haji Usman untuk ditanami pohon [[dadap]] sebagai rambatan tanaman [[lada]]. Setelah tiga bulan, ia pulang ke rumah dan mendapati Nyonya LimLiem kurus dan sayu karena selalu memikirkan dirinya. Ia berkata, ''"Biar kita miskin, disinilah anak-anak berkumpul bersama,"'' sehingga membuat Tjing San memutuskan untuk meninggalkan usahanya di Lampung. Nyonya LimLiem juga sangat berperan memberikan dorongan semangat kepada puteranya semasa ia gagal saat berdagang kain.
 
=== Pelepasan keluarga dan penahbisan ===
Baris 45:
 
== Perjalanan spiritual ==
Semasa masih kecil, Tjing San menderita demam yang sangat tinggi saat ibu dia pulang ke [[Palembang]]. Nyonya LimLiem segera ciamsi kepada [[Bodhisatwa]] [[Kwan Im]] dan memperoleh jawaban, ''"Seperti halnya kambing yang terbiasa makan rumput basah namun semenjak ditinggal ibu hanya makan rumput kering."'' Ternyata selama kepergian Nyonya LimLiem, Tjing San sering makan masakan khas [[Padang]] yang pedas sehingga membuatnya panas dalam. Inilah awal mula Bhante Vajragiri sangat meyakini [[Bodhisatwa]] [[Awalokiteswara]].
 
Ia menjadi pengurus '''Klenteng Sam Goeat Kong''' di [[Palembang]] selama tujuh tahun. Selain itu, Tjing San yang berdevosi kuat kepada [[Bodhisatwa]] [[Kwan Im]], juga menjadi pengurus '''Klenteng Kuan Im 10 Ulu'''; di sanalah ia pertama kali bertemu dengan '''Su Kong''' (Maha Bhiksu [[Ashin Jinarakkhita]]). Su Kong kemudian memberikan nasihat kepada Tjing San untuk ikut mengurusi [[wihara]]. Seorang kerabat Tjing San yang bernama ''Yan Cik'' memberinya sebuah rupang Buddha [[Amitabha]].