Kota Payakumbuh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Maaf, keliru. Saya kira itu yang Labuah Basilang. Ternyata tidak. Maklum baru 3 kali ke Payakumbuh. Itu pun cuman lewat untuk sampai ke Lintau Buo Utara.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- tapi + tetapi)
Baris 194:
Kota Payakumbuh tidak punya sumber mata air yang dapat diandalkan untuk memenuhi ketersediaan air bersih bagi seluruh warganya. Akan tetapi, pemerintah Kota Payakumbuh sejak tahun 2012, bisa melampaui target ''Millennium Development Goals'' atau [[Tujuan Pembangunan Milenium]] yang disepakati 189 negara anggota [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]], yaitu menyediakan akses air bersih untuk 94 persen rakyatnya. Pada tahun 2013, sebanyak 96 persen rumah tangga di Payakumbuh sudah menikmati air bersih yang memenuhi persyaratan kualitas air minum, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 dan standar [[World Health Organization|Organisasi Kesehatan Dunia]] (WHO). Selain itu, sejak dua tahun terakhir, masyarakat pada 10 kelurahan di [[Payakumbuh Selatan, Payakumbuh|Kecamatan Payakumbuh Selatan]], [[Payakumbuh Barat, Payakumbuh|Kecamatan Payakumbuh Barat]] dan [[Payakumbuh Timur, Payakumbuh|Kecamatan Payakumbuh Timur]], sudah bisa meminum air dari kran yang dialirkan pipa Perusahan Daerah Airum Minum (PDAM) ke rumah-rumah mereka, tanpa harus memasaknya. Lantas, bagaimana Pemko Payakumbuh bisa menyediakan akses air bersih untuk 96 persen warganya, sementara sumber mata air di kota itu sangat minus sekali?<ref>http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=40028</ref>
 
Pemerintah dan PDAM Payakumbuh menjadikan air bersih seperti ideologi: sesuatu yang diyakini kegunaan dan kebaikannya. Karena dijadikan seperti ideologi, pemerintah Payakumbuh menjiwai pentingnya air bersih untuk kehidupan. Mesti di wilayahnya, tidak terdapat lagi sumber mata air yang dapat diandalkan untuk memenuhi ketersediaan air bersih bagi seluruh rakyat, tapitetapi Payakumbuh pintar memberdayakan potensi daerah ''hinterland''-nya, terutama [[Kabupaten Lima Puluh Kota]]. Selama bertahun-tahun, PDAM Payakumbuh mengambil sumber air bersih dari tiga mata air yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu mata air Sungai Dareh, Nagari Situjuah Banda Dalam, mata air Sikamarunciang, Nagari Situjuah Gadang, dan mata air Batang Tabik, Nagari Sungaikamuyang.<ref name="PU">ciptakarya.pu.go.id [http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/sumbar/payakumbuh.pdf Profil Kota Payakumbuh] (diakses pada 3 Juli 2010)</ref> Dari ketiga mata air itulah, pipa-pipa induk milik PDAM Payakumbuh, mengalirkan air bersih untuk kebutuhan ratusan ribu masyarakat. Namun, sebelum air mengalir sampai jauh, Payakumbuh membangun sinergisitas saling menguntungkan, dengan individu ataupun nagari yang menjadi pemilik ulayat ketiga mata air tadi. Kendati sudah menerapkan hitung-hitungan yang jelas, PDAM Payakumbuh tidak seenaknya saja menyedot kekayaan alam setempat. Perusahaan daerah itu tidak ingin menjadi budak kapitalisme yang serakah. Sebaliknya, PDAM Payakumbuh tetap mengedepankan semangat pembangunan berkelanjutan. Misalnya, dengan memberi perhatian khusus terhadap pembangunan bidang infrastruktur, sosial, lingkungan dan budaya di sekitar sumber mata air. Selain itu, hibah berupa pembangunan jalan ke sumber air dan intens melakukan gerakan penghijauan.
 
=== Sanitasi ===
Selain punya kesadaran menjaga kesinambungan alam di kawasan sumber air dan tidak setengah hati mengurus sarana penunjang pendistribusian air, Pemko Payakumbuh serius menjaga kualitas air bersih. Sejak tahun 2003, Pemerintah Kota Payakumbuh bersunguh-sungguh mengurus persoalan sanitasi dasar bagi rakyatnya. Pemko Payakumbuh mengkaji sanitasi dari persoalan sangat sederhana sekali. Seperti kurenah warga yang lebih ingat "urusan masuk", tapitetapi sering lupa dengan "urusan keluar". Maksudnya, banyak warga yang selalu ingat makan, bahkan rela mati demi mendapatkan makanan, namun lupa dengan tinja yang dihasilkan pencernaannya. Bahkan, tidak sedikit warga yang membuang tinja di sepanjang sungai, kolam ikan atau jamban terbang (jamban yang dibangun hanya dengan menggali lobang di dalam kebun atau di belakang rumah). Padahal, tinja manusia yang dibuang sembarang tempat, sangat mempengaruhi kualitas air bersih, sekaligus mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Apalagi bila tinja tersebut berasal dari warga penderita diare, disentri atau muntaber, bisa-bisa menular kepada warga lainnya, sehingga menimbulkan kejadian luar biasa. Wali Kota Payakumbuh waktu itu, Josrizal Zain menyebut, jika separoh dari tinja yang dihasilkan warga Payakumbuh setiap harinya dibuang di sungai, tanah terbuka atau kolam ikan, maka beratnya bisa setara dengan puluhan ekor gajah dalam bentuk kotoran manusia. Sungguh tidak dapat dibayangkan, betapa menjijikkan dan menjadi ancaman persoalan tinja ini, terlebih tinja yang dihasilkan manusia di kawasan perkotaan. "Bisa-bisa, kawasan resapan air semakin tercemar dan ekosistem menjadi terganggu. Karena itu, pada tahun 2003, kami mulai memikirkan, bagaimana warga tidak lagi membuang air di sembarang tempat. Kami berkesimpulan, gerakan stop buang air besar sembarangan, harus dikampanyekan," ucap Josrizal. Hasilnya, sejak tahun 2004 sampai 2005, Pemko Payakumbuh getol berkampanye di tengah masyarakat, tentang pentingnya buang air besar di toilet yang memiliki septitank.
 
Sejak tahun 2006 hingga tahun 2012, Pemko Payakumbuh melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dibahas bersama DPRD, membangun septitank komunal di kawasan-kawasan padat penduduk dan menyediakan ''water closed'' gratis bagi warganya yang masih terbiasa buang air di jamban terbang ataupun di sepanjang sungai dan kolam ikan. Tidak sekadar memanfaatkan APBD yang merupakan duit rakyat, Pemko Payakumbuh membangun water closed gratis bagi rakyat miskin, dengan memanfaatkan dana PNPM-MP dan zakat pegawai yang disalurkan lewat Badan Amil Zakat. Kebijakan terakhir dilakukan karena Pemko Payakumbuh menyadari ajaran agama Islam yang menyatakan kebersihan sebagian dari iman. Dari septitank komunal yang dibangun di kawasan padat pemukiman, Pemko Payakumbuh tidak hanya mempersempit kawasan resapan air yang tercemar tinja, tapitetapi mampu mendorong warga menciptakan biogas dari kotoran manusia, sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Sementara itu, terhadap tinja dalam septitank yang belum bisa dijadikan sebagai energi terbarukan, Pemko Payakumbuh menanganinya dengan menyediakan mobil penyedot tinja dan membangun Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Kelurahan Sungai Durian, Kecamatan Lampasi Tigo Nagari, dengan luas lahan 2,5 hektare dan kapasitas 30.000 M³. Instalasi Pengelolahan Lumpur Tinja di Payakumbuh, tidak hanya dilengkapi dengan sarana air bersih, pagar, lahan penghijauan, pondok kompos, satu kolam fakultatif, dua kolam maturasi, dan lima unit bak pengeringan lumpur. Namun, juga ditunjang dengan Laboratorium Pemantauan Kualitas Air dan Laboratorium Lingkungan Hidup.
 
=== Pengelolaan limbah dan sampah ===
Setelah persoalan tinja manusia mulai tertangani, Pemko Payakumbuh yang dijadikan Indonesian Sanitation Sector Developtment (ISSDP) sebagai percontohan pembangunan sanitasi dasar di Tanah Air, melirik persoalan limbah. Terutama limbah pasar yang bisa mencemari kualitas air dan lingkungan. Sebagai langkah awal, Payakumbuh membangun Instalasi Pengelolaan Limbah Pasar di Pasar Ibuah yang kemudian dijadikan sebagai pasar sehat percontohan oleh Kemenkes RI dan Yayasan Danamon Peduli. Instalasi yang dikelola pemerintah bersama pedagang dan elemen masyarakat, membuat limbah tidak lagi menjadi momok menakutkan di pasar tradisional tersebut.
 
Beranjak dari persoalan limbah, Pemko Payakumbuh membidik persoalan sampah. Bagaimanapun, sampah yang tidak terurus dengan baik, akan berdampak terhadap kualitas air dan resapan air. Maka langkah awal yang dilakukan Pemko Payakumbuh adalah menangani sampah pasar tradisional di tengah kota. Sampah-sampah itu, baik sampah basah maupun sampah kering, dipilah dengan melibatkan pedagang. Sampah-sampah basah yang berpotensi menjadi pupuk, dikirim ke pabrik pupuk organik yang dibangun di kawasan Pasar Ibuah. Setelah menjadi pupuk, sampah organik tadi kepada petani dengan harga murah, tapitetapi tetap mendatangkan pendapatan buat daerah. Sampah kering atau sampah anorganik yang gagal didaur ulang karena keterbatasan teknologi, tetap dikumpulkan oleh pedagang atau petugas kebersihan Payakumbuh. Setelah terkumpul, sampah kering tadi dijual kepada para pedagang barang bekas yang diorganisir secara resmi oleh pemerintah kota. Tidak berhenti sampai di situ, Pemko Payakumbuh yang menerapkan menerapkan sistem ''reuse'', ''reduce'', dan ''recycle'' (3R) dalam pengelolaan sampah, membangun bank sampah di sekolah-sekolah. Hasilnya, bukan hanya sampah di lingkungan sekolah yang terkumpul. Siswa-siswi terdidik pula menjaga kebaikan alam dan punya semangat kewirausahaan yang sudah lama menjadi karakter masyarakat Minangkabau. Selepas menangani sampah pasar dan sampah sekolah, Pemko Payakumbuh mulai berkonsentrasi memikirkan sampah di lingkungan RT dan RW. Ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan.
 
Mesti hanya sebuah kota sedang di Sumatera Barat, tapitetapi sampah yang dihasilkan warga Payakumbuh sangat banyak. Setiap Subuh, petugas kebersihan yang umumnya adalah tenaga outsourcing, kewalahan menyapu jalan dan mengumpulkan sampah di lingkungan pemukiman. Pasukan kuning juga sempat kesulitan saat mengangkut sampah dengan menggunakan truk ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS). Kesulitan terjadi karena sampai penghujung tahun 2008, Kota Payakumbuh hanya memiliki sebuah TPAS yang disewa kepada masyarakat di Kelurahan Ampangan, Nagari Auakuniang, Payakumbuh Selatan. Untuk mengatasi persoalan itu, sejak tahun 2009, Pemko Payakumbuh mulai memikirkan tempat pengolaan sampah yang representatif. Berkat niat tulus menjaga kebaikan alam dan kebaikan hidup, Pemko Payakumbuh akhirnya menyediakan lahan kosong yang berada jauh dari pemukiman penduduk, untuk dijadikan sebagai TPAS. Lahan kosong itu berada Kelurahan Kapalokoto, Nagari Auakuniang, Kecamatan Payakumbuh Selatan, tidak jauh dari lokasi TPAS Ampangan. Setelah lahan tersedia, Pemko Payakumbuh memancing Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk peduli terhadap persoalan sampah perkotaan. Hasilnya, melalui sebuah konsep yang dinamakan dengan regional managemen atau kerjasama antar daerah, Payakumbuh berhasil membangun sebuah Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPA Regional). Sesuai namanya, TPA Regional itu tidak hanya dijadikan tempat pembuangan sampah dari Kota Tapi Payakumbuh. Tetapi juga menampung sampah dari kabupaten/kota lain di Sumatera Barat, yakni Kota Bukitinggi, Kota Padangpanjang, Kota Sawahlunto, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanahdatar. Sama dengan sampah pasar, sampah di TPA Regional Payakumbuh juga dipisah. Sampah basah, dijadikan sebagai pupuk organik dan dijual dengan harga miring kepada petani.
 
Sistem pengolahan sampah di Payakumbuh ini diapresiasi oleh Khilda Baiti Rohmah, "Ratu Sampah dari Kota Bandung" yang meraih Danamon Award 2011 karena kegigihannya mengelolah sampah. Menurut Khilda, sistem pengolahan sampah di Kota Payakumbuh, terutama sampah basah atau sampah organik yang dijadikan pupuk untuk petani, layak dijadikan rujukan di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. "Pemerintah Kota Payakumbuh, sangat serius mengurus persoalan sampah dan sanitasi," ucap Khilda saat datang ke Payakumbuh, Januari 2012 silam.<!--