Ateisme: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
gpp
Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
Membalikkan revisi 11954039 oleh 202.62.16.21 (bicara)
Baris 156:
|id=ISBN 0-7167-3561-X }}</ref>
 
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam ''Majalah [[Mensa]]''.<ref>Menurut Dawkins (2006), hal. 103. Dawkins mengutip pernyataan Bell, Paul. "Would you believe it?" ''Mensa Magazine'', UK Edition, Feb. 2002, hal. 12–13. Analyzing 43 studies carried out since 1927, Bell found that all but four reported such a connection, and he concluded that "the higher one's intelligence or education level, the less one is likely to be religious or hold 'beliefs' of any kind."</ref> Penemuan ini secara luas sesuai dengan [[meta-analisis]] statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor [[Michael Argyle (psychologist)|Michael Argyle]] dari [[Universitas Oxford]]. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran [[kecerdasan]] pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinlah"tinggi dilihatAS. sebagaiWalaupun hukumkorelasi Tuhan,negatif yangditemukan memerlukandengan pembuatjelas, hukumanalisis danini hakim.tidak Namun,mengidentifikasi banyaksebab ateismusababnya, yangnamun berargumenmenilai bahwa memperlakukanfaktor-faktor moralitasseperti secaralatar legalistikbelakang adalahkeluarga [[analogiyang salah]],otoriter dan bahwakelas moralitassosial tidakmungkin seperlunyamemainkan memerlukansebagian seorangperan pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiripenting.<ref>{{harvnbcite book
|Baggini|2003|plast=38}}.</ref>Argyle
|first=Michael
|authorlink =Michael Argyle
|coauthors =
|title =Religious Behaviour
|publisher =Routledge and Kegan Paul
|year =1958
|location=London
|pages= pp 93–96
|url =
|doi =
|isbn= 0-415-17589-5 }}</ref>
 
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan ''Apakah agama anda?'' Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak ''tak beragama'' ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.<ref>Australian Bureau of Statistics, Census of Population and Housing, 2006, [http://www.censusdata.abs.gov.au/ABSNavigation/prenav/TopicList?prenavtabname=Topic%20List&collection=Census&period=2006&breadcrumb=T&&navmapdisplayed=true&textversion=false& Census Table 20680-Religious Affiliation (broad groups) by Sex - Australia]</ref> Pada sensus [[Selandia Baru]] 2006 yang menanyakan ''Apakah agama anda?'', 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.<ref>Statistics New Zealand, [http://www.stats.govt.nz/census/2006-census-data/quickstats-about-culture-identity/quickstats-about-culture-and-identity.htm?page=para012Master QuickStats About Culture and Identity, Religious affiliation]</ref>
 
== Ateisme, agama, dan moralitas ==
[[Berkas:Lightmatter buddha3.jpg|thumb|left|Karena [[Tuhan dalam agama Buddha|ketiadaan]] [[Tuhan]] pencipta, [[Agama Buddha]] umumnya dideskripsikan sebagai nonteis.]]
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.<ref name="winston2">{{cite book|last=Winston|first=Robert (Ed.)|title=Human|publisher=New York: DK Publishing, Inc|year=2004|isbn=0-7566-1901-7|pages=hal. 299|quote=Nonbelief has existed for centuries. For example, Buddhism and Jainism have been called atheistic religions because they do not advocate belief in gods.}}</ref> Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis<ref>{{cite web |url=http://www.bbc.co.uk/religion/religions/judaism/subdivisions/humanistic.shtml |title=Humanistic Judaism |date=2006-07-20 |accessdate=2006-10-25 |publisher=[[BBC]]}}</ref><ref>{{cite journal |last=Levin |first=S. |year=1995 | month = May |title=Jewish Atheism | journal = New Humanist | volume = 110 | issue = 2 |pages=13–15}}</ref> dan Kristen ateis.<ref>{{cite web |url=http://www.bbc.co.uk/religion/religions/atheism/types/christianatheism.shtml |title=Christian Atheism |date=2006-05-17 |accessdate=2006-10-25 |publisher=[[BBC]]}}</ref><ref>{{cite book|last=Altizer|first=Thomas J. J.|authorlink = Thomas J. J. Altizer|title=The Gospel of Christian Atheism|url=http://www.religion-online.org/showbook.asp?title=523|accessdate=2006-10-27|year=1967|publisher=London: Collins|pages=102–103}}</ref><ref>{{cite journal |last=Lyas |first=Colin |year=1970 | month = January |title=On the Coherence of Christian Atheism | journal = Philosophy: the Journal of the Royal Institute of Philosophy | volume = 45 | issue = 171 |pages=1–19}}</ref>
 
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun di luar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari [[universalisme moral]] [[humanisme]], yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan [[nihilisme moral]], yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.<ref>{{harvnb|Smith|1979|pp=21-22}}.</ref>
 
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato [[dilema Euthyphro]] bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik.<ref>{{harvnb|Smith|1979|p=275}}. "Among the many myths associated with religion, none is more widespread -or more disastrous in its effects -than the myth that moral values cannot be divorced from the belief in a god."</ref><ref>In [[Dostoevsky]]'s ''[[The Brothers Karamazov]]'' (Book Eleven: ''Brother Ivan Fyodorovich'', Chapter 4) there is the famous argument that ''If there is no God, all things are permitted.'': "'But what will become of men then?' I asked him, 'without God and immortal life? All things are lawful then, they can do what they like?'"</ref><ref name = "Kant CPR A811">For [[Kant]], the presupposition of God, soul, and freedom was a practical concern, for "Morality, by itself, constitutes a system, but happiness does not, unless it is distributed in exact proportion to morality. This, however, is possible in an intelligible world only under a wise author and ruler. Reason compels us to admit such a ruler, together with life in such a world, which we must consider as future life, or else all moral laws are to be considered as idle dreams..." (''Critique of Pure Reason'', A811).</ref> Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah [[analogi salah]], dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.<ref>{{harvnb|Baggini|2003|p=38}}.</ref>
 
Filsuf [[Susan Neiman]]<ref>{{cite video| people =[[Susan Neiman]]| title =Beyond Belief Session 6| medium =Conference| publisher =The Science Network| location =[[Salk Institute]], La Jolla, CA|date= November 6, 2006 }}</ref> dan [[Julian Baggini]]<ref>{{harvnb|Baggini|2003|p=40}}</ref> menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.<ref>{{harvnb|Baggini|2003|p=43}}.</ref>
 
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.<ref>101 Ethical Dilemmas, 2nd edition, by Cohen, M., Routledge 2007, pp184-5. (Cohen notes particularly that Plato and Aristotle produced arguments in favour of slavery.)</ref> Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada ''Political Philosophy from Plato to Mao'' dalam kasus kitab [[Al-Qur'an]] yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.<ref>Political Philosophy from Plato to Mao, by Cohen, M, Second edition 2008</ref>
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan asi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.<ref>See for example: Kahoe, R.D. (June 1977). "[http://links.jstor.org/sici?sici=0021-8294(197706)16%3A2%3C179%3AIRAAAD%3E2.0.CO%3B2-X Intrinsic Religion and Authoritarianism: A Differentiated Relationship]". ''Journal for the Scientific Study of Religion''. '''16'''(2). hal. 179-182. Also see: Altemeyer, Bob and Bruce Hunsberger (1992). "[http://www.leaonline.com/doi/abs/10.1207/s15327582ijpr0202_5?journalCode=ijpr Authoritarianism, Religious Fundamentalism, Quest, and Prejudice]". ''International Journal for the Psychology of Religion''. '''2'''(2). hal. 113-133.</ref> Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti [[Perang Salib]], [[Inkuisisi]], dan penghukuman [[sihir|tukang sihir]], sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.<ref>{{cite web |last=Harris |first=Sam | authorlink = Sam Harris (pengarang) |title=An Atheist Manifesto |url=http://www.truthdig.com/dig/print/200512_an_atheist_manifesto |accessdate=2006-10-29 |publisher=[[Truthdig]] |year=2005 | quote = In a world riven by ignorance, only the atheist refuses to deny the obvious: Religious faith promotes human violence to an astonishing degree.}}</ref>
 
FilsufWalaupun politikdemikian, kontemporerpara Britaniaateis Martinseperti Cohen[[Sam menawarkanHarris asi(penulis)|Sam Harris]] berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada [[otoritarianisme]] dan [[dogma]]tisme.<ref>{{cite web |last=Harris |first=Sam | authorlink = Sam Harris (author) |title=The Myth of Secular Moral Chaos |url=http://www.secularhumanism.org/index.php?section=library&page=sharris_26_3 |accessdate=2006-10-29 |publisher=[[Free Inquiry]] |year=2006a}}</ref> Sebenarnya pula, [[Fundamentalisme|fundamentalisme agama]] dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan)<ref name=Moreira-almeida2006>{{cite journal |author=Moreira-almeida, A. | coauthors = Lotufo Neto, F.; Koenig, H.G. |year=2006 |title=Religiousness and mental health: a review | journal = Revista Brasileira de Psiquiatria | volume = 28 |pages=242–250 |url=http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S1516-44462006000300018&script=sci_arttext |accessdate=2007-07-12 }}</ref> berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.<ref>See for example: Kahoe, R.D. (June 1977). "[http://links.jstor.org/sici?sici=0021-8294(197706)16%3A2%3C179%3AIRAAAD%3E2.0.CO%3B2-X Intrinsic Religion and Authoritarianism: A Differentiated Relationship]". ''Journal for the Scientific Study of Religion''. '''16'''(2). hal. 179-182. Also see: Altemeyer, Bob and Bruce Hunsberger (1992). "[http://www.leaonline.com/doi/abs/10.1207/s15327582ijpr0202_5?journalCode=ijpr Authoritarianism, Religious Fundamentalism, Quest, and Prejudice]". ''International Journal for the Psychology of Religion''. '''2'''(2). hal. 113-133.</ref> Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti [[Perang Salib]], [[Inkuisisi]], dan penghukuman [[sihir|tukang sihir]], sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.<ref>{{cite web |last=Harris |first=Sam | authorlink = Sam Harris (pengarang) |title=An Atheist Manifesto |url=http://www.truthdig.com/dig/print/200512_an_atheist_manifesto |accessdate=2006-10-29 |publisher=[[Truthdig]] |year=2005 | quote = In a world riven by ignorance, only the atheist refuses to deny the obvious: Religious faith promotes human violence to an astonishing degree.}}</ref>
 
== Lihat pula ==