Pengelolaan Industri Strategis Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ikhssaann (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Ikhssaann (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
[[Berkas:BPPT BJ Habibie.jpg|jmpl|166x166px|Bacharuddin Jusuf Habibie, Menneg Ristek (1978-1997), Kepala BPIS (1989-1997)]]
Sebelumnya, Pembinaan dan pengelolaan BUMN Industri Strategis berada pada Departemen teknis terkait sehingga pembinaan dan pengelolaannya belum terintegrasi dengan baik, kemudian pada tahun 1989 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 44 tahun 1989 tentang '''Badan Pengelola Industri Strategis''' maka sepuluh industri dinamakan BUMN Industri Strategis dengan tujuan pemerintah ingin membangun dan mengembangkan industri pertahanan dan kemandirian Pertahanan dan Keamanan (HANKAM). [[Lembaga Pemerintah Non Departemen]] BPIS ini diketuai langsung oleh [[Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia|Menteri Riset dan Teknologi]] / Kepala [[Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi]] yaitu [[BJ Habibie|'''B.J Habibie''']] sendiri. BPIS ditugaskan untuk membina, mengelola dan mengembangkan sepuluh Industri Strategis tersebut.
[[Berkas:Habibie mir 0003.jpg|jmpl|PM InggirInggris Margaret Tatcher berkunjung ke IPTN 1995]]
10 BUMN Strategis tersebut diantaranya:
# Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. [[Industri Pesawat Terbang Nusantara]];
Baris 53:
 
== Reformasi 1998 - 2002 ==
BPIS menjadi badan negara yang mengoordinasikan pengembangan sepuluh BUMN industri strategis (BUMNIS). Dalam perkembangannya, usaha komersil sepuluh BUMNIS tersebut memang tidak selalu berjalan mulus. Kondisi ini banyak dikritik oleh banyak pihak, termasuk kelompok elit di dalam pemerintah. Industri strategis dinilai hanya menjadi proyek mercusuar dan tidak efisien, misalnya proyek pesawat penumpang N-250 dari IPTN. Pemerintah dan masyarakat merasa bangga dengan produk tersebut namun dilihat dari aspek ekonomis, proyek tersebut merugi karena banyak ongkos yang terbuang (''sunk cost'').<ref>[http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/tinjauan-buku/439-tinjauan-buku-keruntuhan-industri-strategis-indonesia-quo-vadis-industri-strategis "Tinjauan Buku Keruntuhan Industri Strategis Indonesia: Quo Vadis Industri Strategis"]</ref>
 
Bagaimanapun, pemerintah menyadari kelemahan tersebut. Lantas pada tahun 1997 pemerintah mendirikan [[N-2130|'''PT Dua Satu Tiga Puluh Tbk''']] (PT DTSP) sebagai perusahaan publik terbuka (Tbk.) yang akan menjadi investor bagi proyek pengembangan dan produksi [[N-2130]], yaitu pesawat penumpang bermesin jet pertama buatan Indonesia yang dibangun [[Iptn|IPTN]]. Saham yang dijual kepada publik diharapkan bisa menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan dan tidak membebani anggaran belanja negara. Pemerintah bersikukuh dengan pengembangan industri strategis (dari pesawat [[N-250]] menuju N-2130) namun kali ini mesti dikelola lebih profesional dan profitable. Namun, pada akhirnya proyek ini kandas di tengah jalan karena terkena pengaruh [[Krisis finansial Asia 1997|krisis moneter]] yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah menerima bantuan dari [[Dana Moneter Internasional|International Monetary Fund]]. Lembaga keuangan internasional tersebut memberikan syarat bantuan, yaitu salah satunya pemerintah mesti menghentikan pembiayaan atas proyek industri strategis berbiaya besar, termasuk subsidi bagi IPTN selaku pengembang N-2130. Alhasil PT DSTP pun terkena imbasnya dan dibubarkan tahun 1999
Baris 72:
Konsep pengembangan industri unggulan dengan sasaran Pusat Unggulan Industri Maritim dan Industri Dirgantara menjadi terhenti sejak reformasi berjalan pada tahun 1998, yang kemudian diikuti pembubaran BPIS LPND. Walaupun kemudian mencoba bangkit kembali dengan pendirian PT Pakarya Industri/PT BPIS Persero, tidak banyak lagi program pengembangan teknologi menuju kemandirian hankam dilakukan, karena dalam waktu yang cukup pendek (1998-2002) PT BPIS lebih banyak berkonsentrasi pada pembenahan masalah keuangan dan pendanaan yang dihadapi BUMN Industri Strategis.
 
Dengan dikeluarkannya [http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_52_2002.pdf Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2002] pada tanggal 23 September 2002, maka PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS) Persero, secara resmi dibubarkan. Sejak dikembalikannya pembinaan BUMN Industri Strategis dari BPIS ke Kementrian Negara BUMN pada tahun 2002, maka pembinaanya menjadi wewenang Deputi Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi (PISAT) dan Mentri Negara BUMN. Kementrian negara BUMN didirikan berdasarkan UU no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU no. 19 tentang BUMN yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No 41 tahun 2003, PP No 35 tahun 2005, PP No 43, No.44, No. 45 tahun 2005.<ref>[http://tulis-tulisanku.blogspot.co.id/2012/01/bumn-industri-strategis-akankan-menjadi.html "BUMN Industri Strategis akankah menjadi BUMN Industri Pertahanan"]</ref>
 
== Masa 2002-2010 ==
Pembinaan dan arah pengelolaan BUMN Industri Strategis sejak 2002 hingga sekarang menjadi tidak fokus pada pengembangan industri hankam (maritim dan dirgantara) akan tetapi lebih banyak pada pengelolaan perusaaan BUMN persero yang menghasilkan keuntungan. Hal ini juga yang mengakibatkan banyak kegiatan pengembangan teknologi di BUMN Industri Strategis terhenti karena kurangnya pendanaan bantuan pemerintah dan tidak adanya road map pengembangan yang sinergi.<ref>[http://tulis-tulisanku.blogspot.co.id/2012/01/bumn-industri-strategis-akankan-menjadi.html "BUMN Industri Strategis akankah menjadi BUMN Industri Pertahanan"]</ref> Para BUMN Industri Strategis tersebut juga mengalami banyak masalah pendanaan seperti hutang yang menumpuk<ref>[http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/keamanan/475-problematika-industri-pertahanan-indonesia.html "Problematikan Industri Pertahanan Indonesia"]</ref>. Selain itu, timbul sentimen politik anti-Orde Baru dari kalangan proponen reformasi yang menghendaki penghentian segala proyek pembangunan yang melibatkan Suharto dan keluarganya. Sejak saat itu, industri strategis di Indonesia menjadi tercerai-berai dan mengalami kemunduran. Berbagai kebijakan pemerintah dianggap mematikan industri strategis, aturan baru pemerintah membuat keistimewaan perusahaan milik negara dipreteli satu per satu seperti hak monopoli bahan peledak. Namun sisi lain dari periode sulit tersebut, manajemen perusahaan belajar banyak dan tumbuh semangat untuk tak bergantung pada pemerintah.<ref>[http://bumn.go.id/dahana/berita/122/Belajar.Dari.Riwayat.Keterpurukan.BPIS "Dahana: Belajar dari Riwayat Keterpurukan BPIS"]</ref>
 
Pembubaran Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) dan likuidasi [[N-2130|PT Dua Satu Tiga Puluh Tbk]] (DSTP) merupakan contoh dari suatu keadaan di mana perubahan ekonomi-politik nasional memengaruhi kebijakan industri nasional. Sejauh menyangkut industri, program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pun tak terelakkan akan turut terpengaruh, entah itu bergerak menuju kemajuan atau keterpurukan. F. Harry Sampurno-Kuffal, seorang mantan komisaris BUMN dan pemegang gelar doktor industri militer, dalam buku berjudul "Keruntuhan Industri Strategis Indonesia" berpendapat bahwa pembubaran BPIS dan PT DSTP merupakan langkah mundur dari perjalanan industri di Indonesia. Indonesia mundur ke fase industrialisasi sektor ekstraktif, yaitu Indonesia menjadi produsen bahan mentah tanpa nilai tambah, karena saat ini Indonesia lebih menggantungkan diri kepada ekspor sumber daya alam dibandingkan komoditas teknologi. Padahal jika mau maju, Indonesia mesti menyesuaikan diri dengan konstelasi kompetisi bisnis global yang memosisikan kapabilitas teknologi dan inovasi yang berorientasi kepada produk bernilai tambah sebagai keunggulan kompetitif suatu negara (''competitive advantage'').<ref>[http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/tinjauan-buku/439-tinjauan-buku-keruntuhan-industri-strategis-indonesia-quo-vadis-industri-strategis "Tinjauan Buku Keruntuhan Industri Strategis Indonesia: Quo Vadis Industri Strategis"]</ref>