Musa Asy'arie: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes, replaced: di tahun → pada tahun, asal-usul → asal usul, nasehat → nasihat (2), hirarki → hierarki, fikir → pikir (2), obyek → objek (11), subyek → subjek (5), kerjasama → kerja sama (5)
HsfBot (bicara | kontrib)
k Clean up, replaced: Hirarki → Hierarki (7) using AWB
Baris 89:
* '''Estetika Islam''' membahas tentang keindahan sebagai pengalaman batin, perbedaan antara keindahan natural dengan keindahan artifisial, relasi antara keindahan dengan pembebasan, serta relasi antara seni dengan agama. Dalam konsep filsafat Islam, pengalaman estetik berdimensi spiritual dan pada dasarnya merupakan basis pemikiran imajinatif, di mana seseorang menyatu dalam nuansa kejiwaan memasuki kesadaran Ilahiyah. Seperti gambaran tentang surga dengan segala ilustrasi simboliknya, sesungguhnya dapat dimengerti dan diserap melalui pemikiran imjinatif spiritual ini. Demikian juga halnya tantangan Alquran untuk memperhatikan keindahan langit dan bumi serta gunung-gunung yang terbentang luas (FIS: 134). Pada perkembangan selanjutnya, pengalaman estetik spiritual merupakan proses peneguhan kemanusiaan, yaitu memperkuat kepeduliannya yang tinggi, dengan menegaskan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Pengalaman estetik spiritual membuat seseorang larut, lebur dan fana’ pada universalisme kebenaran, ia mengalami pengalaman ekstase spiritual, dan ketika ia kembali pada realitas kehidupan masyarakat, penegasan keberpihakannya semakin kuat lagi dan bahkan melibatkan diri secara total di dalamnya (FIS: 138-139). Pendekatan filsafat Islam yang menekankan pada dimensi batin kehidupan agama, yang mengambil bentuk pengalaman estetika keagamaan yang sifatnya spiritual, mungkin dapat menjadi alternatif pemecahan masalah, dengan melakukan dialog iman melalui seni dan agama, sehingga pluralitas agama dapat diterima sebagai suatu realitas kodrati, yang menjadi kehendak Tuhan sendiri (FIS: 143). Dalam konsep filsafat Islam, hakikat pengalaman estetik (seni) dan pengalaman keagamaan pada dimensi spiritualnya sesungguhnya bersifat tunggal, dan tidak berlawanan, bahkan saling memperkaya kehidupan ruhani seseorang. Oleh karena itu, pada hakikatnya seni dan agama tidak bertentangan satu sama lain, bahkan agama tanpa seni menjadi kering dan seni tanpa agama menjadi segar. Keduanya sama-sama mampu mentransendensikan cahaya keindahan Ilahi dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang terpantul pada ciptaan-Nya di langit dan bumi, yang menjadi objek pemikiran dan perenungannya sehingga membentuk kesadaran transenden bahwa sesungguhnya semua itu tidak sia-sia (FIS: 144).
* '''Teologi Islam''' membahas tentang Tuhan dalam konsepsi, Tuhan dalam persepsi, pengalaman spiritual dalam iman, Tuhan sebagai ''Nafs'' (Ego) Mutlak, serta hidup dalam Tuhan. Dalam konsep filsafat Islam, Tuhan tidak bisa dijangkau hakikat-Nya oleh konsepsi, semua konsepsi akan gagal menyingkap-Nya, dan konsepsi tentang Tuhan hanya terbatas pada dugaan atau perkiraan tentang Tuhan, dan sebuah perkiraan tentang Tuhan tentu bukan Tuhan dan tidak selayaknya manusia menyembah dan mengabdikan diri padanya, apalagi mempertuhankannya (FIS: 162). Agama sesungguhnya membentuk persepsi tentang Tuhan, dan bukan konsepsi tentang Tuhan, dan persepsi tentang Tuhan itu diperoleh melalui praktik menjalankan tata cara peribadatan kepada Tuhan, yang diatur secara detail dan operasional oleh agama dan melalui upacara peribadatan keagamaan itu, seorang pemeluk agama diharapkan mempunyai persepsi mengenai Tuhan yang disembahnya itu (FIS: 165). Dalam konteks pengalaman spiritual, agama pada dasarnya adalah iman, tidak ada agama tanpa iman, dan iman dalam pengertian agama, bukan sekadar pengakuan dan pengetahuan tentang adanya Tuhan saja, tetapi iman itu dibangun dari pengalaman yang intens berhubungan secara langsung dan pribadi dengan Tuhan (FIS: 169). Dalam konsep filsafat Islam, pengalaman iman dalam proses komunikasi dan dialog kreatif dengan Tuhan yang bersifat spiritual, terjadi secara langsung dan objektif itu dapat dimungkinkan, karena Tuhan seperti yang dinyatakan-Nya sendiri dalam firman dan ayat-ayat-Nya adalah ''Nafs'', Keakuan, atau Ego, yang tentunya bersifat mutlak. Sedangkan manusia adalah ''nafs'', keakuan atau ego yang tidak mutlak. Sehingga pengalaman iman dalam proses komunikasi dan dialog kreatif itu dapat berlangsung dan dilakukan antara dua nafs, yaitu ''Nafs'' yang mutlak dan tak terbatas, dengan ''nafs'' yang tidak mutlk dan terbatas. Semuanya itu berlangsung melalui penjelmaan Nafs Mutlak pada ayat-ayat-Nya yang tertangkap, terserap dalam dimensi spiritualitasnya. Dalam konsep filsafat Islam, tidak ada hidup dan kehidupan di luar Tuhan, tidak ada ruang dan waktu di luar Tuhan, hidup dan kehidupan pada hakikatnya hanya ada dalam Tuhan, demikian pula halnya, ruang dan waktu hanya ada dalam ruang dan waktu Tuhan (FIS: 177-178). Aspek transformatif dari Teologi Islam adalah pada daya ubahnya yang multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari dataran kultural dan struktural untuk menuju tegaknya ''akhlak al-karimah'', yaitu untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia (FIS:186).
* '''Kosmologi Islam''' membahas tentang hakikat alam semesta, tentang penciptaan alam, mekanisme alam, tentang ruang, waktu, dan gerak. Dalam konsep filsafat Islam, alam semesta adalah wujud atau eksistensi Tuhan dalam kehidupan ini, dan mencerminkan tanda-tanda kebesaran Tuhan, atau ayat-ayatNya. Alam semesta tidak bisa dilihat dengan mata kepala manusia, karena penglihatan mata kepala manusia sangat terbatas, meskipun menggunakan ''remote sensing'' sekalipun. Alam semesta tidak bisa ditimbang, karena tidak ada timbangan yang dapat memuatnya. Alam semesta sebagai eksistensi Tuhan tidak terbatas, yang terbatas adalah wujud-wujud keseluruhan sejenis dari bagian alam langit, bumi, samudera, dan gunung, serta manusia (FIS: 191-192). Secara hierarkis, dilihat dari eksistensinya terdapat tingkatan-tingkatan wujud yang bersifat struktural dalam penciptaan. ''HirarkiHierarki 1'': Wujud Tertinggi adalah eksistensi Diri Tuhan sendiri, ''HirarkiHierarki 2'': Alam Semesta sebagai wujud eksistensiNya (metafisik, gaib, tak terbatas), ''HirarkiHierarki 3'': Alam Besar yang terbatas dan bisa dilihat terutama pada satuan jenisnya (manusia, bumi, langit, air, udara, binatang, tumbuhan), ''HirarkiHierarki 4'': Alam Kecil yang menjadi satuan-satuan terkecil dari jenis yang faktual (si Fulan, udara panas, tanah tandus), ''HirarkiHierarki 5'': Eksistensi Manusia sebagai pencipta kedua (alam kreatif, spiritualitas, nafs), ''HirarkiHierarki 6'': Alam Budaya Besar (ilmu, kesenian, teknologi), ''HirarkiHierarki 7'': Alam Budaya Kecil (matematika, wayang kulit, komputer) (FIS: 194-195). Dalam hal terkait dengan ''ruang'', mesti dibedakan antara ruang yang tidak terbatas dan ruang yang terbatas. Ruang yang tidak terbatas adalah ruang Ilahi itu sendiri, di mana segala yang ada, dan yang diciptakan berada di dalamnya, baik ada yang gaib maupun ada yang nyata. Ruang Ilahi tidak bisa diukur, karena tidak ada alat ukurnya, dan juga karena tidak ada batas-batasnya. Sedangkan ruang yang terbatas adalah batas-batas atau ukuran benda yang berada di luarnya, bukan di dalam bendanya, kemudian membentuk batas-batas ruang di mana benda-benda itu bertempat di dalamnya (FIS: 204). Sementara mengenai ''waktu'', sesungguhnya waktu adalah ukuran gerak, karena waktu yang akan dan yang dapat mengukur adanya gerakan itu berlangsung, jadi yang diukur adalah kelangsungan suatu gerakan, bukan ukuran bendanya, tetapi gerakannya. Sedangkan ukuran bendanya adalah ruang, sehingga ruang dan waktu pada dasarnya menjadi sebuah keniscayaan bagi suatu yang ada dan yang diciptakan, semuanya berada dalam waktu (FIS: 206). Tentang ''gerak'' atau ''gerakan'', gerak adalah ukuran kehidupan, karena itu sesuatu yang bergerak dapat disebut sesuatu yang hidup, tanpa ada gerakan tidak ada kehidupan. Dalam kaitan ini, maka benda-benda mati yang bergerak disebut hidup, seperti mesin yang bergerak dan menggerakkan disebut mesinnya hidup, bahkan lukisan bisa disebut lukisan yang hidup yang karena indahnya dapat menggetarkan dan menggerakkan perasaan dan hati manusia menjadi lebih peka memahami realitas keindahan. Sifat gerak kehidupan itu mencair dan mengalir. Mencair dalam pengertian selalu mencari bentuk-bentuk sintetik, sedangkan mengalir adalah pergerakan kehidupan yang menuju ke asal usulnya. Oleh karena itu, Alquran menegaskan bahwa kehidupan dijadikan bermula dari air, bumi yang kering karena turun hujan menjadi subur dengan tumbuhnya berbagai tanaman, dan dengan air semua makhluk hidup di dunia ini tergantung kepadanya, bahkan manusia dan hewan juga dijadikan dari cairan sperma (FIS: 208).
* '''Antropologi Islam''' membahas tentang metode memahami hakikat manusia, penciptaan manusia, konsep ruh, kedudukan dan peranan manusia, hakikat, dan tujuan hidup manusia. Ada beberapa cara atau metode yang dapat ditempuh untuk memahami hakikat manusia, dan cara atau metode itu antara lain: ''Pertama'' ialah melalui pendekatan bahasa yaitu bagaimana bahasa dipakai untuk menyebut manusia, apa arti kata manusia, yang secara semantik bisa diusut maknanya, terutama dari asal kata yang dipakai dalam suasana kultur asalnya. Manusia disebut juga sebagai insan yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata ''insan'' dari asal kata ''nasiya'', artinya “lupa”, dan jika dilihat dari kata dasar ''al-uns'', maka artinya “jinak”. Dengan demikian kata insan yang dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia itu mempunyai sifat lupa, dan jinak artinya manusia selalu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekitarnya (FIS: 214). Cara ''kedua'' adalah melalui cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan cara keberadaan makhluk yang lainnya, seperti kenyataan sebagai makhluk yang berjalan di atas dua kaki, dan juga kemampuannya berpikir yang hanya dimiliki manusia, sehingga melalui keberadaan berpikirnya itu, hakikat manusia ditentukan, maka apakah arti berpikir yang menentukan makna keberadaannya itu, karena berpikir merupakan kenyataan yang khas manusia, yang tidak dipunyai oleh makhluk yang lainnya, sehingga kenyataan keberadaannya berpikir, itulah yang menentukan hakikt manusia, yang membedakannya dengan makhluk yang lainnya. Oleh karena itu hakikat manusia adalah ''makhluk yang berpikir'' (FIS: 216). Cara yang ''ketiga'' adalah melalui karya yang dihasilkannya, karena melalui karyanya seseorang menyatakan kualitas dirinya, karena hanya diri yang berkualitaslah yang akan melahirkan karya yang berkualitas pula. Cara pemahaman ini akan membawa pada pemahaman terhadap beberapa ''setting'' kehidupan manusia yang kompleks, dan termasuk di dalamnya antara lain adalah melalui ''setting'' sejarah, yaitu kapan dan di mana seseorang itu melahirkan karyanya itu, dan juga ''setting'' psikologis, yaitu bagaimana situasi emosional dan intelektualnya yang melatarbelakangi hasil karyanya itu, di samping pendekatan bidang keilmuan lainnya yang berkaitan dengan karya-karya seseorang, apakah menyangkut bidang arsitektur, sastra, kesenian pahat, lukis dan pematung ataupun ilmu-ilmu humaniora yang amat luas itu. Oleh karena itu, hakikat manusia ditentukan oleh sejumlah karyanya (FIS: 216-217). Dilihat dari aspek penciptaan manusia, filsafat Islam memandang bahwa penciptaan manusia tidak terdiri dari dua unsur saja yaitu jasmani dan rohani, tetapi berbagai unsur yaitu unsur dari tanah yang membentuk fisik, kemudian unsur air yang membentuk daya hidup dan unsur Ruh Ilahi yang membentuk fungsi pendengaran, penglihatan dn hati nurani. Dengan kata lain, ada tiga hal pokok yang fundamental dalam proses penciptaan manusia, yaitu unsur tubuh, unsur hidup dan unsur ruh (FIS: 222). Dalam pembahasan tentang hakikat manusia, pembahasan yang palik pelik adalah persoalan tentang ruh. Dalam Alquran secara jelas menerangkan bahwa tubuh manusia dibentuk dari tanah, sedangkan daya hidup yang bersifat menggerakkan, tumbuh dan berkembang dimulai dari air, sedangkan ruh yang menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani berfungsi, yaitu setelah ruh diberikan kepada manusia, dan ruh ini diberikan ditiupkan langsung dari Tuhan sendiri (FIS: 223-224). Ruh adalah daya spiritual yang ada dalam hati untuk memahami realitas gaib, yang secara organik melengkapi daya pikir untuk memahami ciptaanNya, sehingga dalam kesatuannya dengan daya pikir, merupakan jalan menuju pemahaman kepada Tuhannya (FIS: 228). Dalam konsep filsafat Islam secara utuh, hakikat manusia tidak dilihat kepada unsur-unsur yang membentuk dirinya, pada orientasi berpikir yang mencari substansi pokok yang melatarbelakangi adanya, atau orientasi berpikir pada fokus perhatian pada masa lalunya, tetapi hakikat manusia harus dilihat pada tahapannya sebagai ''nafs'', keakuan, diri, ego, di mana pada tahapan ini, semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik sesungguhnya ada pada perbuatan atau amalnya (FIS: 233-234). Dalam tahapan ''nafs'', hakikat manusia ditentukan oleh kualitas aml, karya dan perbuatannya, bukan ditentukan oleh asal usul keturunannya, kelompok sosial dan golongan, atau pun bidang yang menjadi profesinya (FIS: 235). Dalam konsep filsafat Islam, pada hakikatnya tujuan hidup manusia adalah mencapai perjumpaan kembali dengan Tuhan. Perjumpaan kembali itu tidak bersifat materi, seperti kembalinya air hujan ke laut, dan secara materi manusia memang tidak kembali kepada Tuhan, tetapi kembali ke asal materi yang membentuk jasadnya (FIS: 236). Ketauhidan juga tercermin sebagai jalan untuk berjumpa dengan Tuhan, yaitu jalan menuju pertemuan ''nafs'' terbatas, diri manusia, dengan ''Nafs'' Mutlak, Diri Tuhan, yang hanya dimungkinkan melalui ketauhidan antara iman dan amal saleh, karena dalam Islam, antara iman dan amal saleh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga iman tanpa amal saleh adalah kebohongan. Dengan demikian, sifat perjumpaan dua ''nafs'', yaitu ''nafs'' yang terbatas dengan ''Nafs'' Yang Tak Terbatas, bukan perjumpaan yang statis tetapi perjumpaan yang dinamis yang sarat muatan kreatifitas, dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya, sehingga terjadi pencerahan dalam terang cahayaNya (FIS: 237).
* '''Eskatologi Islam''' membahas tentang kematian, hari kiamat dan kebangkitan, kehidupan akhirat, surga dan neraka, serta perjalanan menuju Tuhan. Dalam konsep filsafat Islam, eskatologi sesungguhnya menjadi upaya pemikiran transendental untuk menyingkap kehidupan sesudah mati (FIS: 239). Realitas kematian adalah kepastia, yang tidak bisa ditolak. Setiap orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, dan dalam konsep filsafat Islam, kematian adalah awal kehidupan, kematian di dunia menjadi awal kehidupan di akhirat. Akan tetapi pengetahuan dan pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri, barangkali karena riset tentang mati tidak pernah bisa dijalani oleh seseorang, dan karena tidak ada orang yang mati dapat hidup kembali (FIS: 243-244). Dalam filsafat Islam, rahasia kematian dan kehidupan ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Manusia tidak lebih sekadar menerima kenyataan keduanya tanpa persetujuannya terlebih dahulu, suka atau tidak suka, terpaksa atau tidak terpaksa, menghidupkan dan mematikan adalah bagian dari kehendakNya dan bagi manusia itu sebagai ujian untuk berkarya lebih baik. Sesungguhnya kehidupan dan kematian adalah pasangan-pasangan tunggal yang tidak bisa saling meniadakan, seperti pasangan siang dan malam, penderitaan dan kebahagiaan, kebenaran dan kesalahan, kesuksesan dan kegagalan, dan bagi iman yang cerdas, dapat memahaminya sebagai penampakan tanda-tanda kebesaran Ilahi yang harus disyukuri. Syukur diwujudkan tidak dengan cara bersukaria menghadapi kesuksesan dan kebahagiaan atau sebaliknya bersedih hati menghadapi kegagalan dan penderitaan, tetapi pada upaya melakukan peningkatan kualitas batinnya untuk menghadapi sesuatu yang akan datang yang mungkin lebih besar lagi (FIS: 245-246). Mengenai kebangkitan kembali, filsafat Islam menawarkan pendekatan ''nafs'' untuk dapat memahaminya, seperti yang dikenalkan Ibnu Sina untuk membuktikan adanya ''nafs'', yaitu dengan adanya alam mimpi atau pengandaian orang bisa terbang. Teori Ibnu Sina ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk memahami adanya kebangkitan kembali dengan melihat aspek transendentalnya ''nafs''. Transendensi ''nafs'' menjadikan kebangkitan itu pasti adanya dan dapat terjadi pada tahapan manusia sebagai ''nafs'', karena ''nafs'' itu sendiri yang berbuat dan yang akan mempertanggungjawabkan amalnya di hadapan Tuhan (FIS: 255). Dalam lanjutan kehidupan di akhirat, muncul dua kondisi yang akan dihadapi, yaitu surga dan neraka. Dalam filsafat Islam, penggambaran secara fisik mengenai surga dan neraka, dengan kebun dan sungai yang indah untuk surga dan api yang membakar habis kulit manusia untuk neraka, lebih bermakna simbolik, karena sesungguhnya bahasa agama lebih diperuntukkan bagi manusia secara umum dalam segala tingkatannya, sehingga pengungkapan secara kebahasaan selalu diwarnai oleh realitas kultural, seperti suasana kebun yang indah dengan sungai yang mengalir, adalah simbol kehidupan ideal bagi masyarakat yang kesehariannya hanya diliputi oleh padang pasir. Akan tetapi keberadaannya pasti dan berlangsung secara gaib, karena harus ada kepastian tegaknya hukum moral dan juga agama, yang secara universal dan natural menegaskan adanya pengadilan yang benar-benar adil yang dijamin Tuhan sendiri akan keadilannya (FIS: 263). Dalam konsep filsafat Islam, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang dan jauh, ibarat sebuah perjalanan jauh, memerlukan terminal-terminal yang merangkaikan tahapan-tahapan perjalanan, baik untuk istirahat, membersihkan diri atau mengisi dan membawa bekal untuk perjalanan berikutnya. Dalam konteks sebuah perjalanan yang jauh, maka hari kiamat, kebangkitan, pengadilan, hukuman dan balasan, baik di surga ataupun neraka adalah bagian dari kehidupan akhirat itu sendiri. Pada hakikatnya kehidupan akhirat adalah perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju surga atau menghindari neraka. Oleh karena itu, ada seorang sufi yang di dua tangannya, yang satu menggenggam kayu bakar dan yang satunya lagi membawa sekendi air, ketika ditanya mengapa, ia mengatakan apinya untuk membakar surga dan airnya untuk memadamkan neraka, karena keduanya telah menyesatkan umat manusia dari kembali kepada Tuhan, karena sesungguhnya kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepadaNya, sehingga ketika seseorang menemui adanya orang yang meninggal, maka etikanya ia sebaiknya mengucapkan ''inna lillah wa inna ilaihi rajiun'' (FIS: 264-265).