Keresidenan Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 2:
'''Karesidenan Cirebon''' atau bekas Karesidenan Cirebon yaitu wilayah administratif pemerintahan zaman [[Hindia Belanda]] dan zaman Inggris yang meliputi wilayah bekas [[kesultanan Cirebon]] setelah lepasnya wilayah Krawang sebelum tahun 1677 ketika sultan Cirebon pada saat itu pangeran Abdul Karim (Girilaya) dan kedua putranya yaitu pangeran Martawijaya dan Kartawijaya ditahan Mataram dan wali sultan Cirebon yang dijabat pangeran Wangsakerta didesak oleh Amangkurat 1 untuk memenuhi persyaratan agar Belanda mau membantu Mataram menumpas Trunojoyo (Trunojoyo berhasil membebaskan pangeran-pangeran Cirebon yang ditahan Mataram atas bantuan persenjataan Banten)<ref name=ekajati1>Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya : [[Bandung]]</ref>
 
Sebagai hasil desakan tersebut maka [[kesultanan Cirebon]] kehilangan banyak wilayah di pesisir baratnya (diantara sungai Cipunegara dan Citarum), sehingga yang tersisa pada saat peristiwa pembagian kesultanan Cirebon menjadi [[kesultanan Kasepuhan]] dan [[kesultanan Kanoman]] adalah wilayah yang membentang dari Luwung Malang (sekarang [[Haurgeulis, Indramayu | Haurgeulis]]) hingga Galuh dan Sukapura di pesisir Selatan.
 
== Sejarah awal ==
Baris 8:
Sejarah awal pembentukan wilayah karesidenan (pembantu gubernur) Cirebon tidak terlepas dari sejarah politik kewilayahan yang dipengaruhi oleh kekuasaan kesultanan-kesultanan Cirebon dengan para penjajah Belanda dan Britania Raya
 
Pada masa setelah pembagian [[kesultanan Cirebon]] menjadi [[kesultanan Kasepuhan]] dan [[kesultanan Kanoman]] wilayah kesultanan Cirebon yang tersisa adalah seluruh wilayah Kesultanan Cirebon dan taklukannya dikurangi wilayah Krawang (antara sungai Citarum dan Cipunegara) dilepaskan kepada Belanda atas desakan Amangkurat 1 dari Mataram dan wilayah Sumedang Larang yang mendeklarasikan berpisah dari Cirebon pasca peristiwa Harisbaya (sebagai ganti dari Ratu Harisbaya (istri Pangeran Mas Zainul Arifin (Sultan Cirebon Ke 4) yang pergi dari Cirebon ke Sumedang Larang dan akhirnya diceraikan dan menikah dengan pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) maka Sumedang Larang melepaskan wilayah bawahannya disebelah timur Cilutung (sungai Lutung) yaitu wilayah Sindang Kasih (sekarang berada disekitar [[Kadipaten, Majalengka | kecamatan Kadipaten]], [[Panyingkiran, Majalengka | kecamatan Panyingkiran]], [[Majalengka, Majalengka | kecamatan Majalengka]], [[Cigasong, Majalengka | kecamatan Cigasong]]) di [[kabupaten Majalengka]]
 
=== Masuknya pengaruh Belanda ===
Baris 26:
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar ''pribawa'', Belanda menentukan derajat paling tinggi (diantara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan<ref>Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan. [[Yogyakarta]] : Deepublish</ref>(pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)
 
Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (diantara seluruh keluarga besar [[kesultanan Cirebon]]), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan Pangeran Adipati Kaprabon yang menjadi ''rama guru'' bagi ''peguron'' [[Kaprabonan]].
 
Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan diantara keluarga besar [[kesultanan Cirebon]] yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di [[kesultanan Kasepuhan]] dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II [[kesultanan Kanoman]] serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai ''peguron'' [[Kaprabonan]] begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin ''peguron'' (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.
 
Bermula dari masalah ''pribawa'' inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar [[kesultanan Cirebon]], masalah ''pribawa'' mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar [[kesultanan Cirebon]] selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar [[kesultanan Cirebon]].
Baris 38:
== Masa kekuasaan Belanda ==
 
Pada masa kekuasaan Belanda yang masuk dengan berbagai perjanjian ke Cirebon dan akhirnya Belanda berhasil menyingkirkan kekuasaan politik para sultan di Cirebon dengan diangkatnya Jacob Palm pada tahun 1700-an, wilayah kekuasaan kesultanan-kesultanan Cirebon pada waktu itu membentang dari Luwung Malang ( [[haurgeulis, indramayu | Haur Geulis]]) hingga ke Galuh, Limbangan dan Sukapura (Galunggung) termasuk wilayah pantai selatannya.
 
Pada tahun 1706, Belanda memutuskan untuk mengangkat Pangeran Arya Cirebon (putera kedua dari Sultan Sepuh 1 Syamsudin Martawijaya) sebagai pengawas bupati-bupati di wilayah Cirebon-Priyangan<ref>Hoadley, Mason Claude. 1975. Javanese Procedural Law, A History of Cirebon-Priyangan 'Jaksa' College 1706-1735. [[New York]] : Cornell University</ref> dengan tujuan agar hasil bumi di wilayah tersebut dapat dengan mudah dikumpulkan dan dibawa ke Cirebon untuk kepentingan Belanda, pengangkatan tersebut juga bertujuan agar kedudukan Pangeran Arya Cirebon menjadi terpandang walau dia bukanlah seorang sultan.<ref>Candrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. [[Jakarta]] : Gramedia</ref>
Baris 44:
Pada tahun 1808 [[kesultanan Kacirebonan]] resmi berdiri setelah sebelumnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan, berdirinya [[kesultanan Kacirebonan]] tidak terlepas dari dukungan masyarakat kesultanan Cirebon pada Pangeran Raja Kanoman yang merasa hak-haknya dirampas, Pangeran Raja Kanoman kemudian menjadi Sultan Kacirebonan pertama dengan gelar Sultan Cirebon Amirul Mukminin.
 
Pada tahun 1808 [[Herman Willem Daendels | gubernur jendral Herman Willem Daendels]] mengeluarkan sebuah instruksi kepada para bupati agar tidak membiarkan para pemuda yang cukup umur untuk tidak menikah, instruksi tersebut tertuang sebagai berikut ;
 
{{cquote| ''een der voornaamste zorgen van de regenten zal ook moeten zijn, dat de gemeene inlander niet ongetrouwd blijve, maar alle huwbare jongelingen en jonge vrouwen zich behoorlijk in den echtenstaat begeven, dewijl heirdoor het ledig loopen en roundzwerven, alsmede vere andere onheilen, voorgekomen worden en de bevolking op en geregelde wijze komt te vermeerderen''<ref>van Deventer, S. 1865. Bijdragen tot de kennis van het Landelijk Stelsel op Java. Zalt-Bommel : Joh. Norman en Zoon</ref><br>
Baris 51:
}}
 
Pada masa kemudian Belanda mulai menerapkan peraturan-peraturan di Cirebon seperti yang tertuang dalam ''reglement op het beheer van Cheribonesche Landen'' (peraturan tentang pengelolaan wilayah Cirebon) yang dikeluarkan pada 2 Februari 1809 di masa [[Herman Willem Daendels | gubernur jendral Herman Willem Daendels]] yang mengatur dengan jelas tentang struktur kewilayahan bahwa ''Cheribonesche Landen'' (wilayah Cirebon) dibagi dalam dua wilayah yaitu wilayah kesultanan Cirebon dan wilayah ''Cheribonesche-Preanger Landen'' (wilayah Priyangan-Cirebon) yang berisi Limbangan, Sukapura (Galunggung) dan Galuh<ref name=bremen>Bremen, Jan. 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. [[Jakarta]] : Yayasan Pustaka Obor Indonesia</ref>, posisi para sultan-sultan (telah dicabut hak politiknya), patih, tentang pemberian iuran, tentang sistem kerja paksa dan kewajiban anak negeri, polisi, pembuatan jalan dan dinas pos.
 
Latar belakang dikeluarkannya peraturan tersebut salah satunya adalah penataan masyarakat, penguasa Belanda pada masa itu menginginkan agar masyarakat mendekati perusahaan kolonial dalam hal lapangan kerja, sementara dalam tataran kewilayahan paling kecil, masyarakat diperintahkan tinggal di desa yang jumlah penduduknya ditentukan, wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari enam kepala keluarga tidak diakui keberadaannya dan harus bergabung dengan wilayah lain yang lebih besar, pemukiman dengan jumlah penduduk lebih dari sepuluh kepala keluarga diperbolehkan memiliki dua kepala (pimpinan), sementara pemukiman yang berisi enam hingga sepuluh kepala keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu pemimpin.<ref name=bremen/>