Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 89:
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Samarinda dengan membonceng pasukan sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Pada tanggal 1 Januari 1946, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda membentuk Keresidenan Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda. Residen atau kepala pemerintahan Kaltim pertama adalah F.P. Heckman.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', p. 2.</ref>
 
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949 rakyat Samarinda melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ada dua strategi perlawanan yang dipakai, yaitu jalur diplomasi dan jalur gerakan bersenjata. Aktivitas politik diplomasi dilakukan oleh partai lokal Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional, dengan tokoh utamanya [[Abdoel Moeis Hassan]]. Sementara itu, jalur gerakan bersenjata ditempuh oleh para pemuda dengan mendirikan [[Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia]] (BPRI) setelah berkoordinasi dengan rombongan BPRI dari [[Banjarmasin]].<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 120-139</ref>
 
Otoritas pemerintahan Belanda di Samarinda benar-benar berakhir pada 27 Desember 1949 sesuai hasil keputusan [[Konferensi Meja Bundar]] (KMB) di Den Haag yang mengharuskan Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia pada tanggal tersebut.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', p. 77.</ref>