Sri Baduga Maharaja: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Syusuf2016 (bicara | kontrib)
k prabu guru dewataprana
Syusuf2016 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{kegunaanlain|Siliwangi}}
 
'''Sri Baduga Maharaja''' atau [[Prabu Siliwangi]] (Ratu Jayadewata) putra [[Prabu Dewa Niskala]] putra [[Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] lahir [[1401]] M di [[Kawali]] [[Ciamis]], mengawali pemerintahan zaman [[Pakuan Pajajaran]] [[Pasundan]], yang memerintah [[Kerajaan Sunda Galuh]] selama 39 tahun ([[1482]]-[[1521]]). Pada masa inilah [[Pakuan Pajajaran]] di [[Bogor]] mencapai puncak perkembangannya.
 
Dalam [[prasasti Batutulis]] diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta [[Kerajaan Galuh]] di [[Kawali]] [[Ciamis]] dari ayahnya [[Prabu Dewa Niskala]] putra [[Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Permaisuri Mayangsari]] putri [[Prabu Bunisora]], yang kemudian bergelar '''Prabu Guru Dewataprana'''. Yang kedua ketika ia menerima tahta [[Kerajaan Sunda]] di Pakuan [[Bogor]] dari mertua dan uwanya, [[Prabu Susuktunggal]] putra [[Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Permaisuri Ratna Sarkati]] putri [[Resi Susuk Lampung]]. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa [[Kerajaan Sunda]] - [[Kerajaan Galuh]] dan dinobatkan dengan gelar '''Sri Baduga Maharaja Ratu Haji '''di [[Pakuan Pajajaran]] Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, [[Jawa Barat]] kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada [[Pindahnya Ratu Pajajaran]]{{fact}}.
 
== Prabu Siliwangi ==
[[Berkas:Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, Candi Siliwangi Shrine.jpg|thumb|right|300px|Sebuah candi yang dibangun untuk menghormati Prabu Siliwangi di [[Pura Parahyangan Agung Jagatkarta]], [[Bogor]], [[Jawa Barat]].]]
Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama '''Prabu Siliwangi'''. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam ''[[Kropak 630]]'' sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun [[1518]] ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan [[Niskala Wastu Kancana]] (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. [[Wangsakerta]] pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
 
:"''Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira''".
Baris 24:
 
=== Leluhur ===
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. [[Pangeran Wangsakerta]], penanggung jawab penyusunan [[Sejarah Nusantara]], menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan [[Niskala Wastu Kancana]] (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
 
Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa [[Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] itu adalah "''seuweu''" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan [[Prabu Dewa Niskala]] hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar ''Prabu'', sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya [[Niskala Wastu Kancana]] sebagai penguasa Sunda-Galuh).
 
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran [[Wangsakerta]] disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Mahaprabu [[MahaprabuNiskala Wastu Kancana]].
 
=== Masa muda dan Silsilah ===
Waktu mudanya Sri Baduga atau [[Prabu Jayadewata]] terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, [[Nyi Ambetkasih]] putri pamannya, [[Ki Gedeng Sindangkasih]] putra [[Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Kerajaan Surantaka]] ibu kotanya Desa [[Kedaton]] sekarang di [[Kecamatan]] [[Kapetakan]] [[Cirebon]], penguasa di Pelabuhan Muarajati [[Cirebon]] berbatasan langsung dengan [[Kerajaan Sing Apura]]. Saat Wafat digantikan menantunya, [[Prabu Jayadewata]]. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di [[Bubat]] yang digelari Prabu Wangi.
 
Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama '''Keukeumbingan Rajasunu''' yang pernah mengalahkan Ratu [[Kerajaan Japura]] [[Prabu [[Amuk Murugul]] putra [[Prabu Susuktunggal]] putra [[Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] waktu bersaing memperebutkan [[Subanglarang|Subang Larang]] putri [[Ki Gedeng Tapa]]/ Giridewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa [[Kerajaan Sing Apura]] putra [[Ki Gedeng Kasmaya]], Penguasa Cirebon Girang putra [[Prabu Bunisora]] (Adik [[Mahaprabu Niskala Wastu Kancana]]), (istri kedua [[Prabu Siliwangi]] yang beragama Islam) dari [[Kerajaan Sing Apura]] berbatasan dengan [[Kerajaan Surantaka]]. Dari pernikahannya dengan [[Permaisuri Subanglarang]] melahirkan Raden [[Walangsungsang]] atau Cakrabuwana, [[Nyimas Rara Santang]] dan Raden [[Kian Santang]]. Kemudian [[Nyimas Pakungwati]] putri Pangeran [[Walangsungsang]] menikah dengan [[Sunan Gunung Jati]] putra [[Nyimas Rara Santang]]. Pangeran [[Walangsungsang]] sebagai Sultan Cirebon I dan [[Sunan Gunung Jati]] sebagai Sultan Cirebon II dalam [[Kesultanan Cirebon]] sejak tahun [[1430]] M.<ref>a b Rosmalia. Dini. 2013. Identifikasi Pengaruh Kosmologi pada Lanskap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon. Bandung : Institut Teknologi Bandung</ref>.<ref>a b Fajar, Rizky Nur. 2013. Perancangan Komunikasi Visual Publikasi Buku Seri Keraton Cirebon. Jakarta: Universitas Bina Nusantara</ref>
 
Setelah terbuka jati diri Sang [[Prabu Jayadewata]] masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah [[Prabu Amuk Murugul]], yaitu [[Prabu Susuktunggal]] kakak lain Ibu [[Prabu Dewa Niskala]] ayahnya [[Prabu Jayadewata]], di [[Kerajaan Sunda]] [[Bogor]] sekarang dan dijodohkan dengan [[Nyai Kentring Manik Mayang Sunda]] putri [[Prabu Susuktunggal]], yang nanti melahirkan [[Prabu Sanghyang Surawisesa]] kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di [[Pakuan Pajajaran]] dan [[Sang Surasowan]] jadi Adipati di Pesisir [[Banten]] atau [[Banten Girang]]. Sang Surasowan berputra Adipati [[Arya Surajaya]] dan putri [[Nyai Kawung Anten]]. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan [[Syarif Hidayatullah]] atau [[Sunan Gunung Djati]] dan melahirkan [[Pangeran Sabakingkin]] alias [[Maulana Hasanuddin]], pendiri [[Kesultanan Banten]] tahun [[1552]] M.