Demokratisasi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Farras (bicara | kontrib)
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k →‎Pemicu: minor cosmetic change
Baris 3:
==Pemicu==
Faktor yang memengaruhi atau membatasi demokratisasi masih diperdebatkan. Banyak hal, termasuk ekonomi, budaya, dan sejarah, yang dianggap memengaruhi demokratisasi. Faktor-faktor yang paling umum adalah:
* ''Kekayaan'' - [[Daftar negara menurut PDB (nominal) per kapita|PDB/kapita]] yang lebih tinggi berkaitan dengan demokrasi. Meski beberapa pihak mengklaim bahwa negara demokrasi terkaya tidak pernah jatuh ke autoritarianisme, bangkitnya Hitler dan Nazi di Jerman Weimar merupakan contoh pembantah yang menjadikan klaim tersebut sekadar [[truisme]] belaka.<ref name='przeworski'>{{cite book | last = Przeworski | first = Adam | authorlink = Adam Przeworski| title = Democracy and Development: Political Institutions and Well-Being in the World, 1950-1990 | publisher = Cambridge University Press | year = 2000 | location = Cambridge|display-authors=etal}}</ref> Ada pula pandangan umum bahwa demokrasi sangat jarang sebelum Revolusi Industri. Penelitian empiris mendorong banyak orang percaya bahwa pembangunan ekonomi meningkatkan kemungkinan transisi ke demokrasi ([[teori modernisasi]]) atau menguatkan negara demokrasi yang sudah ada.<ref name='przeworski'/> Sebuah penelitian menemukan bahwa pembangunan ekonomi mendorong demokratisasi dalam jangka menengah saja (10-20 tahun). Hal ini dikarenakan pembangunan dapat memperkuat pemimpin petahana, tetapi menyulitkannya mewariskan negara kepada putranya atau orang kepercayannya setelah masa jabatannya berakhir.<ref>{{Cite journal|title = Income, Democracy, and Leader Turnover|url = http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/ajps.12135/abstract|journal = American Journal of Political Science|date = 2015-10-01|issn = 1540-5907|pages = 927-942|volume = 59|issue = 4|doi = 10.1111/ajps.12135|language = en|first = Daniel|last = Treisman}}</ref> Namun demikian, perdebatan tentang apakah demokrasi merupakan akibat dari kekayaan, pencipta kekayaan, atau keduanya tidak berhubungan, masih belum dapat disimpulkan.<ref>Traversa, Federico (2014). "Income and the stability of democracy: Pushing beyond the borders of logic to explain a strong correlation?". ''Constitutional Political Economy'', November 2014. [http://link.springer.com/article/10.1007/s10602-014-9175-x doi: 10.1007/s10602-014-9175-x]</ref>
* ''Kesetaraan sosial'' - [[Daron Acemoglu]] dan [[James A. Robinson (Universitas Harvard)|James A. Robinson]] berpendapat bahwa hubungan antara kesetaraan sosial dan transisi demokrasi agak rumit. Rakyat tidak memiliki insentif yang cukup untuk memberontak melawan masyarakat egaliter (contohnya [[Singapura]]), jadi kemungkinan demokratisasi semakin rendah. Di masyarakat yang senjang (contohnya [[Afrika Selatan]] era [[Apartheid]]), redistribusi kekayaan dan kekuasaan di dalam demokrasi akan merugikan kaum elit sehingga mereka berupaya mencegah demokratisasi. Demokratisasi lebih mungkin muncul di tengah-tengah, di negara yang kaum elitnya menawarkan konsesi karena (1) mereka menganggap ancaman revolusi bisa terwujud dan (2) biaya konsesi tidak terlalu tinggi.<ref name='acemoglu'>{{cite book | last = Acemoglu | first = Daron |author2=James A. Robinson | title = Economic Origins of Dictatorship and Democracy | publisher = Cambridge University Press | year = 2006 | location = Cambridge}}</ref> Perkiraan ini sesuai ddengan penelitian empiris yang menunjukkan bahwa demokrasi lebih stabil di negara-negara yang masyarakatnya egaliter (setara).<ref name='przeworski'/>
* ''Budaya'' - Sejumlah pihak mengklaim bahwa beberapa kebudayaan tertentu lebih mudah menerima nilai demokrasi ketimbang kebudayaan lainnya. Pandangan ini mungkin [[etnosentrisme|etnosentris]]. Biasanya [[budaya Barat]] yang dinilai "lebih layak" menikmati demokrasi, sedangkan kebudayaan lainnya dinilai memiliki nilai-nilai yang membuat demokrasi sulit terwujud atau tak diinginkan. Pendapat ini kadang dipakai oleh rezim-rezim non-demokrasi untuk membenarkan kegagalannya menerapkan reformasi demokratis. Di era modern, ada banyak negara demokrasi non-Barat, misalnya India, Jepang, Indonesia, Namibia, Botswana, Taiwan, dan Korea Selatan.
* ''Intervensi asing'' - Negara-negara demokrasi umumnya pernah mengalami intervensi militer, contohnya Jepang dan Jerman pasca-Perang Dunia II.<ref name="GT">{{cite journal|first=Göran|last=Therborn|authorlink=Göran Therborn|year=1977|title=The rule of capital and the rise of democracy: Capital and suffrage (cover title) | journal=[[New&nbsp;Left Review]]|series=I|volume=103|issue=[http://www.newleftreview.org/?issue=100 The advent of bourgeois democracy]|ref=harv|url=http://www.newleftreview.org/?view=1453|pages=3–41}}</ref><ref>[http://www.independent.org/publications/tir/article.asp?issueID=47&articleID=599 ''The Independent'']</ref> Pada kasus lain, [[dekolonisasi]] kadang mendorong terbentuknya dmeokrasi yang digantikan oleh rezim otoriter. Di Amerika Serikat Selatan setelah [[Perang Saudara Amerika Serikat|Perang Saudara]], mantan budak tidak mendapat hak pilih menurut [[hukum Jim Crow]] setelah [[Era Rekonstruksi Amerika Serikat]]; setelah sekian puluh tahun, demokrasi di Amerika Serikat dirombak oleh organisasi sipil ([[gerakan hak sipil Afrika-Amerika]]) dan militer (militer Amerika Serikat).