Sultan Alauddin Riayat Syah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: beliau → dia (12), Beliau → Dia (3)
Baris 2:
 
== Naik takhta ==
Sultan Alauddin dilaporkan adalah keturunan para raja tua yang mengatur kesultanan Aceh pada abad kelima belas. Ayahnya adalah Al-malik Firman Syah, putra Muzaffar Syah (meninggal tahun [[1497]]). Pertemuan silsilah ini sepertinya telah terhalang sepenuhnya tertutup oleh garis keturunan dari [[Sultan Ali Mughayat Syah]]. Di masa mudanya beliaudia hanya seorang rakyat biasa yang berprofesi sebagai seorang nelayan, tetapi ia mampu mencapai posisi elit di kesultanan berkat keberanian dan keahliannya dibidang militer sehingga beliaudia terpilih menjadi seorang komandan militer. BeliauDia diduga membunuh [[Alauddin bin Ahmad dari Perak|Sultan Alauddin Mansur Syah]] pada tahun [[1585]]-[[1586]]. Menurut dugaan tersebut beliaudia membunuh sultan sebagai tindakan guna melindungi cucu muda sultan Raja Asyem. Kemudian beliaudia juga diduga bertanggung jawab atas pembunuhan [[Ali Ri'ayat Syah II, Raja Buyung|Sultan Buyung]] tahun [[1589]]. Setelah menduduki takhta beliaudia juga dianggap telah membunuh Raja Asyem yang dianggapnya kelak akan menjadi saingan utama bagi kedudukannya sebagai sultan. Namun semua dugaan itu tidak pernah bisa dibuktikan secara jelas.<ref>Djajadiningrat (1911), p. 162-8.</ref> Dengan alasan pembunuhan itulah beliaudia memicu permusuhan dengan [[Kesultanan Johor]] di [[Semenanjung Malaya]], karena ayah Raja Asyem merupakan Sultan di sana.
 
Terlepas dari dugaan situasi kisruh ketika naiknya beliaudia menjadi sultan. Dalam babad sejarah Hikayat Aceh Sultan Alauddin dipuji sebagai sultan yang baik dan saleh, masa pemerintahannya menjadi masa yang sejahtera bagi rakyat kesultanan.<ref>Iskandar (1958), p. 55.</ref> Menurut seorang pedagang [[Perancis]] yang berkunjung ke Aceh pada tahun [[1601]]&ndash;[[1603]] ia mencatat bahwa ibu kota kesultanan adalah bandar yang sangat kosmopolit pada masanya, di mana orang-orang dari berbagai kebangsaan berdiam di sana selama beberapa bulan guna berdagang. Orang-orang dari [[Turki]], [[Nagapatnam]], [[Kalkuta|Kalikut]], [[Ceylon]], [[Siam]], [[Gujarat]], [[Benggala]] dan berbagai tempat lainnya berbaur dengan aman dan menjalankan perdagangan yang ramai. Mereka menjual kain, kapas, berbagai jenis keramik, obat-obatan, rempah-rempah dan batu mulia.<ref>Andaya (2010), p. 121.</ref>
 
== Hubungan dengan negeri-negeri Melayu ==
Baris 12:
Kapal-kapal dagang [[Eropa]] dari [[Kerajaan Belanda|Belanda]], [[Kerajaan Britania Raya|Inggris]] dan kapal [[Perancis]] mulai berdatangan di wilayah itu selama pemerintahan Sultan Alauddin ini. Hal ini menciptakan situasi baru di kawasan sejak bangsa pelaut ini bersahabat dengan bangsa [[Portugis]]. Meskipun hubungan dengan Portugis senantiasa menghadirkan rasa was-was bagi siapapun di kawasan itu. Pemimpin armada Belanda [[Cornelis de Houtman]] tiba di Aceh pada bulan Juni [[1599]]. Komunikasi antara Belanda dengan kesultanan pada awalnya berlangsung dengan baik dan ramah, tetapi intrik Portugis memprovokasi Aceh menyerang kapal-kapal Belanda. Serangan Aceh menewaskan De Houtman dan saudaranya [[Frederik de Houtman]] ditangkap dan dipenjarakan. Pada bulan november [[1600]] dua buah kapal Belanda yang lain di bawah pimpinan Van Caerden berlabuh di pantai Aceh. Kedatangan kapal-kapal ini diterima dengan baik oleh sultan. Beberapa tahanan Belanda segera melarikan diri ke kapal Van Caerden sehingga membuat tentara Aceh melakukan penggeledahan atas kapal-kapal Belanda. Namun Van Caerden menduga Aceh sedang merencanakan sesuatu yang buruk terhadap kapal-kapal mereka, lalu mereka merampas banyak lada di pelabuhan dan segera meninggalkan pelabuhan yang diikuti oleh tembakan yang dilepaskan oleh tentara Aceh. Van Caerden berhasil melepaskan diri dan ia meninggalkan beberapa kapal milik Aceh dan Portugis yang telah dibakar oleh orang-orangnya di pelabuhan.<ref>Encyclopaedie (1917), p. 74.</ref>
 
Insiden di pelabuhan dengan Belanda membuat Portugis berkeinginan mendirikan sebuah benteng di muara [[Krueng Aceh]]. Menganggap telah bersahabat baik dengan sultan, dengan penuh percaya diri mereka mengajukan permohonan itu. Namun sultan mencurigai maksud Portugis itu dan menolaknya, membuat hubungan antara Aceh dan Portugis menjadi dingin.<ref>Djajadiningrat (1911), pp. 169-70.</ref> Pada tahun berikutnya [[1601]], sebuah sengketa muncul. Sebuah kapal Portugis mengejar kapal [[Arab]] yang membawa muatan kerajinan, kapal itu diserang dan muatannya dirampas lalu dibawa ke Aceh. Kejadian ini membuat pertimbangan lain bagi Belanda, guna menjadikan Portugis sebagai musuh utama mereka di perairan selat Malaka dan dibawa oleh kapal Aceh. Bagi Aceh hal ini menjadi penilaian yang lain tentang hubungan mereka dengan Belanda. Pada akhirnya Aceh lebih memilih berhubungan dengan Belanda daripada dengan orang-orang Portugis. Melaksanakan misi perdamaian dengan Belanda, Aceh mengirimkan dua orang utusan resmi ke Belanda. Salah seorang dari utusan itu meninggal di [[Middelburg]] namun yang lainnya berhasil melakukan kesepakatan dengan Pangeran [[Maurice dari Nassau|Maurits dari Nassau]] Ketika utusan ini kembali ke Aceh pada bulan desember [[1604]], ia membawa banyak persembahan dari Belanda untuk sultan. Sebelumnya pada tahun [[1602]] beberapa kali kapal-kapal angkatan laut Inggris dan Perancis mengunjungi Aceh. Armada laut Inggris ini suatu ketika pernah bekerja sama dengan Belanda dan berhasil menangkap sebuah galias besar milik Portugis. Ketika armada ini melaporkan penangkapan ini kepada sultan, beliaudia menyambutnya dengan gembira dan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada armada Inggris-Belanda.<ref>Encyclopaedie (1917), Vol. 1, p. 74-5.</ref>
 
== Akhir pemerintahan ==
Masa pemerintahan Sultan Alauddin menandai awal berlangsungnya era sentralisasi di negara Aceh. Sultan yang sejak hari-hari pertama pemerintahannya telah berhasil menekan para pedagang elit dan para bangsawan yang pada periode kesultanan sebelumnya telah memiliki pengaruh besar secara politik di kesultanan. Para pedagang besar dan bangsawan ini banyak yang dengan sengaja dibunuh pada tahun pertama Alauddin menduduki takhta guna mencegah mereka mengacaukan dan merebut kekuasaan sultan. Pembersihan para bangsawan ini didukung sepenuhnya oleh para pejabat birokrasi dan para hakim.<ref name="Iskandar">LOMBARD, Denys. ''Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)''. [[Jakarta]]: Kepustakan Populer Gramedia, [[2006]]. ISBN 979-9100-49-6</ref>
 
Sultan Alauddin menegaskan simbol-simbol kekuasaan yang ada pada dirinya, pada mahkotanya yang dibuat pada tahun [[1601]] sebagai lambang kekuasaan beliaudia menuliskan titah berbunyi:
 
{{cquote|Sultan Alauddin bin Firman Syah, ia yang menempatkan iman kepada Allah, yang telah memilih dia untuk meneruskan kerajaan, Allah memberinya kemuliaan-Nya untuk bertahan dan melindungi semua pengikutnya.<ref>Hadi (2004), pp. 53, 69-70.</ref>}}
 
Pada penghujung pemerintahannya terjadi perbedaan pendapat yang datang dari kalangan luar keluarga sultan. Alauddin akhirnya digulingkan pada bulan April [[1604]] ketika beliaudia sudah berusia lanjut. Meskipun sebenarnya beliaudia telah turun takhta sejak sakit-sakitan beberapa waktu sebelumnya. BeliauDia meninggal satu tahun kemudian dan digantikan oleh putranya yang kedua [[Sultan Ali Riayat Syah|Sultan Muda]]. Dalam melanjutkan suksesi ini beliaudia dilaporkan juga mengunggulkan cucunya [[Sultan Iskandar Muda|Iskandar Muda]] untuk menggantikannya. BeliauDia dilaporkan memiliki empat orang putra dan dua orang putri:<ref>Djajadidingrat (1911), pp. 172-3.</ref>
 
* Maharaja Diraja, meninggal sebelum ayahnya.