Asma' binti Umais: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Syusuf2016 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: beliau → dia (34), Beliau → Dia (2)
Baris 9:
'''Asma binti Umays''' menikah dan hijrah dengan suaminya [[Ja'far bin Abi Thalib]] ke Habasyah dan ketika hijrah ke kota [[Madinah]] pada tahun 7 H, suaminya syahid pada perang Mu'tah tahun [[629]] Masehi. Kemudian menikah dengan [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] setelah [[Ummi Ruman]], istrinya meninggal dan Setelah sekian lama melangsungkan pernikahan yang penuh berkah, Allah mengaruniai kepada mereka berdua seorang anak laki-laki, yaitu Muhammad bin [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]]. Mereka ingin melangsungkan haji wada`, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan meyertai haji setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintanya. Kemudian Asma` menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit Nabi [[Muhammad]] shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
 
Kemudian juga menyaksikan suaminya yakni [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] '''Khalifah Pertama''' yang memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta mengirim pasukan [[Usamah bin Zaid]] dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu -ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula beliaudia menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut. Asma` senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan beliaudia hidup bersama suminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar<ref>http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/asma-binti-umais.html</ref>.
 
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab Khalifah Ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi beliaudia. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shiddiq merasakan dekatnya ajal beliaudia sehingga beliaudia bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat beliaudia adalah agar beliaudia dimemandikan oleh istrinya Asma` binti Umays, di samping itu beliaudia berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa yang mana beliaudia berkata: “Berbukalah karena hal itu membuat dirimu lebih kuat.”
 
Asma` merasa telah dekatnya wafat beliaudia sehingga beliaudia membaca istirja` dan memohon ampun sedangkan kedua mata beliaudia tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma` meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun beliaudia tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta`ala, beliaudia tetap bersabar dan berteguh hati.
 
Selanjutnya beliaudia menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena beliaudia adalah orang yang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah beliaudia memandikan suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan beliaudia sehingga beliaudia lupa terhadap wasiat yang kedua. BeliauDia bertanya kepada para muhajirin yang hadir, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?” mereka menjawab, “Tidak.”
 
Di akhir siang sesuai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma` binti Umays ingat wasiat suaminya yang kedua yakni agar beliaudia berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? apakah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?
 
Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi beliaudia untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka beliaudia mengambil air dan minum kemudian berkata: “Demi Allah aku tidak akan melanggar janjinya hari ini.”
 
Setelah kepergian suaminya, Asma` melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya baik dari Ja`far maupun dari Abu Bakar, beliaudia menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan memohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allahpun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dari harapan beliaudia di dunia dan beliaudia tidak mengetahui takdir yang akan menimpa beliaudia yang tersembunyi di balik ilmu Allah.
 
Dialah [[Ali bin Abi Thalib]] r.a. saudara dari Ja`far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma` untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai yaitu [[Ja'far bin Abi Thalib]] begitu pula [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] r.a. Setelah berulang-ulang berfikir dan mempertimbangkannya dengan matang maka Asma memutuskan untuk menerima lamaran dari Ali bin Abi Thalib r.a. sehingga kesempatan tersebut dapat digunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya [[Ja'far bin Abi Thalib]].
 
[[Ali bin Abi Thalib]] r.a. menikahi Asma binti Umays. Maka berpindahlah Asma` ke dalam rumah tangga Ali setelah wafatnya [[Fatimah az-Zahra]] tahun 632 M dan ternyata beliaudia juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Senantiasa Asma` memiki kedudukan yang tinggi di mata Ali hingga beliaudia sering mengulang-ulang di setiap tempat, “Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma` binti Umays”.
 
Allah memberikan kemurahan kepada Ali dengan mangaruniai anak dari Asma` yang bernama Yahya bin [[Ali bin Abi Thalib]] dan Aunan bin [[Ali bin Abi Thalib]], berlalulah hari demi hari dan Ali menyaksikan pemandangan yang asing yakni putra saudaranya Muhammmad bin Ja`far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, “Aku lebih baik daripada kamu dan ayahku lebih baik daripada ayahmu.” Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena beliaudia merasa simpati dengan keduanya?
 
Maka tiada yang dapat beliaudia lakukan selain memanggil ibu mereka yakni Asma binti Umays, kemudian berkata: “Putuslah antara keduanya! “Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam beliaudia berkata: “Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik daripada Ja`far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.” Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama, namun Ali ra.a merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil Asma` terhadap anak-anaknya, dengan menatap wajah istrinya, beliaudia berkata: “Engkau tidak menyisakan bagi kami sedikitpun wahai Asma`?” Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia beliaudia berkata: Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka.”
 
Ali tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka beliaudia berkata dengan kesatria dan akhlaq yang utama berkata: “Seandainya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut niscaya aku cela dirimu.”
 
Akhirnya kaum muslimin memilih [[Ali bin Abi Thalib]] r.a. sebagai Khalifah setelah [[Utsman bin Affan]] r.a, maka untuk kedua kalinya Asma` menjadi istri bagi seorang khalifah yang kali ini adalah Khalifah Rasyidin yang keempat, semoga Allah meridhai mereka semua.
Baris 43:
{{br}}''Ya Rasulallah, mereka menganggap kami bukan Muhajirin'', Kata Asma binti Umays. Rasulullah Saw bersabda: ''Bohong orang yan berkata begitu, kalian hijrah dua kali, hijrah ke (negerinya) an-Najasyi dan ke (kota Madinah)ku''.<ref>Siyar ad-Dzahabi: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=184&idto=184&bk_no=60&ID=152</ref>
 
BeliauDia wafat pada tahun 38 H atau 60 H.<ref>http://islamstory.com/ar/%D8%A3%D8%B3%D9%85%D8%A7%D8%A1_%D8%A8%D9%86%D8%AA_%D8%B9%D9%85%D9%8A%D8%B3</ref>
 
== Lihat pula ==