Pengadilan Tinggi Agama Palu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k →‎Sejarah: ejaan, replaced: sekedar → sekadar
Baris 27:
[[Peradilan Agama]] dalam bentuk yang kita kenal dewasa ini, sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan, bahkan sebelum itu, jika pada masa kejayaan kerajaan [[Islam]] di nusantara lembaga peradilan agama timbul bersama dengan perkembangan kelompok-kelompok masyarakat [[Islam]] dikala itu dan kemudian memperoleh bentuk yang nyata dalam tata kehidupan masyarakat pada kerajaan-kerajaan [[Islam]] di Nusantara, termasuk pula di daerah Sulawesi Tengah lembaga ke [[Qodhian]] sudah dikenal oleh masyarakat Islam, yang pejabatnya diangkat oleh Kepala Swapraja (Residen) dengan tugas mengatur/menerus dan menyelesaikan masalah-masalah menurut hukum islam, khususnya yang bertalian dengan pelaksanaan [[syariat Islam]] di bidang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, serta penyelesaian sengketa kewarisan umat [[Islam]].
 
Keberadaan [[Peradilan Agama]] mengalami perkembangan pasang surut dan jika perkembangan tersebut dikaitkan dengan proses pertumbuhan dan keadaan Negara kita, maka kita akan mendapati proses perkembangan itu dimulai pada zaman Belanda yang memberi aturan secara formal. Walaupun pada awalnya hanya untuk daerah [[Jawa]] dan [[Madura]] saja, tapi cukup memberikan landasan bagi terbentuknya lembaga peradilan agama pasal 134 ayat 1 I.S. berbunyi “Akan tetapi sekedarsekadar tidak diatur secara lain lagi dengan ordonansi, maka perkara hukum sipil sesama orang-orang Islam haruslah diperiksa oleh Hakim Agama, apabila hukum adat bagi mereka itu menghendakinya.
 
Pasal ini memberikan wewenang kepada Raad Agama untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara orang yang beragama Islam dengan hukum Islam. Ketentuan ini memungkinkan pula satu titik permulaan untuk menentukan dasar hukum peradilan agama.