Pemerintah Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di masa + pada masa , -Di masa +Pada masa )
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-dimana +di mana); perubahan kosmetik
Baris 21:
 
== Sejarah ==
[[GambarBerkas: IndonesianElections.gif | thumb | left | 300px | Peta yang menunjukkan pihak / organisasi dengan perolehan suara terbesar per provinsi dalam pemilihan di Indonesia 1971-2009]]
Sejak sebelum kemerdekaan, sebagian besar para pemimpin bangsa Indonesia mengidealkan sistem [[Sistem presidensial|pemerintahan presidential]]. Hal itu tercermin dalam perumusan UUD 1945 yang menentukan bahwa kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar dipegang oleh seorang [[Presiden Indonesia|Presiden]] dengan dibantu oleh satu orang [[Wakil Presiden Indonesia|Wakil Presiden]] selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 4 ayat 1 dan 2 jo Pasal 7 UUD 1945). Tidak seperti dalam sistem [[sistem parlementer|pemerintahan parlementer]], Presiden ditegaskan dalam Pasal 7C UUD 1945, tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia|Dewan Perwakilan Rakyat]]. Bahkan ditegaskan pula bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban konstitusionalnya, Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggungjawab hanya kepada Presiden (Pasal 17 ayat 1 dan 2 UUD 1945). Dalam sistem pemerintahan yang diidealkan, tidak dikenal adanya ide mengenai jabatan [[Perdana Menteri]] atau pun [[Menteri Utama]] dalam pemerintahan Indonesia merdeka berdasarkan undang-undang dasar yang dirancang oleh [[Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|BPUPKI]] (Badan Usaha Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) dan kemudian disahkan oleh [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia|PPKI]] (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945.<ref name="sistem presidentil">[http://www.jimly.com/makalah/namafile/123/SISTEM_PRESIDENTIL.pdf Jimly Asshiddiqie: Institut Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan]</ref>
 
Namun demikian, dalam praktik sesudah kemerdekaan, pada tanggal 14 November 1945, yaitu hanya dalam waktu 3 bulan kurang dari 4 hari sejak pengesahan naskah UUD 1945 atau hanya dalam waktu 3 bulan kurang dari 5 hari sejak proklamasi kemerdekaan, [[Presiden Soekarno]] telah membentuk jabatan Perdana Menteri dengan mengangkat Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama dalam sejarah Indonesia merdeka. Sejak itu, sistem pemerintahan Republik Indonesia dengan diselingi oleh sejarah bentuk [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) pada tahun 1949, selalu menerapkan sistem pemerintahan parlementer atau setidaknya sistem pemerintahan campuran sampai terbentuknya pemerintahan Orde Baru. Sebagian terbesar administrasi pemerintahan yang dibentuk bersifat ‘dual executive’, yaitu terdiri atas kepala negara yang dipegang oleh Presiden dan kepala pemerintahan yang dipegang oleh Perdana Menteri atau yang disebut dengan istilah Menteri Utama atau pun dengan dirangkap oleh Presiden atau oleh Wakil Presiden.<ref name="sistem presidentil"/>
 
Dalam suasana praktik sistem parlementer itulah pada awal tahun 1946, Penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh [[Soepomo]] dan diumumkan melalui Berita Repoeblik pada bulan Februari 1946 memuat uraian tentang kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan yang kemudian disalah-pahami seakan dua jabatan yang dapat dibedakan satu sama lain sampai sekarang. Karena itu, sampai sekarang masih banyak sarjana yang beranggapan bahwa jabatan Sekretaris Negara adalah jabatan sekretaris Presiden sebagai kepala negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah sekretaris Presiden sebagai kepala pemerintahan. Akibatnya muncul tafsir yang salah kaprah bahwa seakan-akan semua rancangan keputusan Presiden sebagai kepala negara harus dipersiapkan oleh Sekretariat Negara sedangkan rancangan keputusan Presiden sebagai kepala pemerintahan dipersiapkan oleh Sekretariat Kabinet. Padahal, dalam sistem pemerintahan presidential yang bersifat murni, yang ada adalah sistem ‘single executive’, dimanadi mana fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan terintegrasi, tidak dapat dipisah-pisahkan dan bahkan tidak dapat dibedakan satu dengan yang lain. Dalam sistem presidential murni, keduanya menyatu dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya tidak perlu dibedakan, dan apalagi dipisah-pisahkan.<ref name="sistem presidentil"/>
 
Namun demikian, sistem pemerintahan presidential yang dianut oleh UUD 1945 itu sendiri, sebelum reformasi, sebenarnya tidak bersifat murni. Salah satu prinsip penting dalam sistem presidential adalah bahwa tanggungjawab puncak kekuasaan pemerintahan negara berada di tangan Presiden yang tidak tunduk dan bertanggungjawab kepada parlemen. Misalnya, dalam sistem presidential Amerika Serikat, Presiden hanya bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya melalui mekanisme pemilihan umum dan melalui kewajiban menjalankan tugas-tugas pemerintahan secara transparan dan akuntabel. Presiden Indonesia menurut UUD 1945 sebelum reformasi, harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya menurut undang-undang dasar. Presiden menurut UUD 1945 sebelum
Baris 33:
Inilah yang menjadi satu alasan mengapa UUD 1945 kemudian diubah pada masa reformasi. Karena itu, salah satu butir kesepakatan pokok yang dijadikan pegangan dalam membahas agenda perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999 adalah bahwa perubahan undang-undang dasar dimaksudkan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidential. Dengan perkataan lain, istilah memurnikan sistem presidential atau purifikasi sistem pemerintahan presidential sebagai salah satu ide yang terkandung dalam keseluruhan pasal-pasal yang diubah atau ditambahkan dalam rangka Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<ref name="sistem presidentil"/>
[[Berkas:Struktur ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945.png|thumb|right|400px|Struktur ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945]]
Sesudah reformasi, Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh UUD 1945 harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Peranan MPR untuk memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dibatasi hanya sebagai pengecualian, yaitu apabila terdapat lowongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil presiden. Pengucapan sumpah jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden memang dapat dilakukan di depan sidang paripurna MPR, tetapi pada kesempatan itu MPR sama sekali tidak melantik Presiden atau Wakil Presiden sebagai bawahan. MPR hanya mengadakan persidangan untuk mempersilahkan Presiden dan/atau Wakil Presiden mengucapkan sumpah atau janji jabatannya sendiri di depan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi berada dalam posisi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR seperti masa sebelum reformasi, dimanadi mana oleh Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Presiden adalah mandataris MPR yang mandate kekuasaannya sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh MPR. Sedangkan dalam sistem yang baru, Presiden hanya dapat diberhentikan oleh MPR melalui proses ‘impeachment’ yang melibatkan proses hukum melalui peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.<ref name="sistem presidentil"/>
 
Sekarang Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan karenanya tunduk dan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. Inilah ciri penting upaya pemurnian dan penguatan yang dilakukan terhadap sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Namun demikian, dalam praktik pada masa reformasi dewasa ini, sering timbul anggapan umum bahwa sistem presidential yang dianut dewasa ini masih beraroma parlementer. Bahkan ada juga orang yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang sekarang kita anut justru semakin memperlihatkan gejala sistem parlementer. Jika pada masa Orde Baru, pusat kekuasaan berada sepenuhnya di tangan Presiden, maka sekarang pusat kekuasaan itu dianggap telah beralih ke DPR. Sebagai akibat pendulum perubahan dari sistem yang sebelumnya memperlihatkan gejala “executive heavy”, sekarang sebaliknya timbul gejala “legislative heavy” dalam setiap urusan pemerintahan yang berkaitan dengan fungsi parlemen.<ref name="sistem presidentil"/>
 
== Legislatif ==
[[ImageBerkas:MPRDPRDPDBuilding.jpg|left|250px|thumb|[[Kompleks Parlemen]]]]
[[ImageBerkas:Indonesia DPR session.jpg|thumb|Tempat Sidang MPR]]
=== Majelis Permusyawaratan Rakyat ===
{{Utama|Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia}}
Keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang dianut saat ini tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar.<ref name="struktur tata negara">[http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Struktur%20Ketatanegaraan%20RI%20-%20Jimly%20Asshiddiqie.pdf Jimly Asshiddiqie: Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945]</ref>
 
=== Dewan Perwakilan Rakyat ===
{{Utama|Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia}}
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahanan Keempat, fungsi legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”. Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah mendapat disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang” (ayat 4), dan “dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.<ref name="struktur tata negara"/>
 
=== Dewan Perwakilan Daerah ===
{{Utama|Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia}}
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain sebagai kamar kedua parlemen Indonesia pada masa depan. Akan tetapi, salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’ sekalipun.<ref name="struktur tata negara"/>
Baris 54:
DPD, menurut ketentuan pasal 22D (a) dapat mengajukan rancangan UU tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu (ayat 2), (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.<ref name="struktur tata negara"/>
 
== Eksekutif ==
Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidential. Akan tetapi, sifatnya tidak murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran itu antara lain tercermin dalam konsep pertanggung-jawaban [[Presiden Indonesia|Presiden]] kepada [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia|MPR]] yang termasuk ke dalam pengertian lembaga parlemen, dengan kemungkinan pemberian kewenangan kepadanya untuk memberhentikan Presiden dari jabatanya, meskipun bukan karena alasan hukum. Kenyataan inilah yang menimbulkan kekisruhan, terutama dikaitkan dengan pengalaman ketatanegaraan ketika [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]] diberhentikan dari jabatannya. Jawaban atas kekisruhan itu adalah munculnya keinginan yang kuat agar anutan sistem pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat Presidensil dipertegas dalam kerangka perubahan Undang-Undang Dasar 1945.<ref name="struktur tata negara"/>
 
Selain alasan yang bersifat kasuitis itu, dalam perkembangan praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini memang selalu dirasakan adanya kelemahan-kelemahan dalam praktek penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem pemerintahan yang dianut, dimata para ahli cenderung disebut ‘quasi presidentil’ atau sistem campuran dalam konotasi negatif, karena dianggap banyak mengandung distorsi apabila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang mempersyaratkan adanya mekanisme hubungan ‘checks and balances’ yang lebih efektif di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kerana itu, dengan empat perubahan pertama UUD 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan Presiden langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem pemerintahan kita menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan Presidentil.<ref name="struktur tata negara"/>
 
== Yudikatif ==
Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar mahkamah agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajad dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (''constitutional court'') yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusiyang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pad tahun 1948.<ref name="struktur tata negara"/>
 
Baris 66:
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas, dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari 3 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 orang yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Seseorang yang berminat untuk menjadi hakim konstitusi, dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang demikian. Diharapkan bahwa Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen serta terhindar dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut.<ref name="struktur tata negara"/>
 
== Badan Pemeriksa Keuangan ==
[[Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia|Badan Pemeriksa Keuangan]] (BPK) juga berkaitan dengan fungsi pengawasan khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan Negara. Karena itu, kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia|Dewan Perwakilan Rakyat]]. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu harus dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.<ref name="struktur tata negara"/>
 
Baris 72:
Dalam kaitannya dengan [[pemerintahan daerah]], Pemerintah Indonesia merupakan [[pemerintah pusat]]. Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang [[politik luar negeri]], [[pertahanan dan keamanan]], [[peradilan]], [[moneter]] dan [[fiskal]], [[agama]], serta kewenangan lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan [[sumber daya alam]] serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
 
== Referensi ==
{{reflist}}