Ca-bau-kan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-dimana +di mana)
Baris 46:
Tinung akhirnya menjadi seorang penari cokek dan sering menghibur di festival [[gambang kromong]] Betawi. Dia bertemu dengan Tan Peng Liang lagi dan akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi wanita simpanan Tan Peng Liang, sementara perseteruan Tan Peng Liang dengan Dewan ''Kong Koan'' semakin memanas. Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai jalinan kasih yang dilandasi cinta, walaupun mereka tak menikah secara resmi, karena di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut. Yang mendukung hubungan mereka hanyalah Ibu Tan Peng Liang ([[Maria Oentoe]]), seorang wanita [[Jawa]] yang bijaksana.<br />
 
Cerita berpindah ke perseteruan Tan Peng Liang dan Dewan ''Kong Koan'', dimanadi mana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie ([[Irgy Ahmad Fahrezy|Irgy A. Fahrenzi]]) menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang. Cerita kemudian mengungkap bahwa Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan ''Kong Koan'' tersebut. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Rencana tersebut berhasil dihentikan oleh Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap, namun siapa sangka, karena dibakar amarahnya Tan Peng Liang malah menyuruh Tan Soen Bie untuk membunuh orang suruhan tersebut dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.<br />
 
Kasus pembakaran tersebut diselidiki oleh kepolisian [[Hindia Belanda]] dan [[pers]]. Tan Peng Liang pun mulai menyogok mereka dengan uang suapan untuk menjebak Thio Boen Hiap. Tak lama setelah sidang, Thio Boen Hiap pun akhirnya dinyatakan bersalah, namun situasi justru berbalik menyudutkan Tan Peng Liang setelah wartawan Max Awuy ([[Ananda George]]) bersama Tjia Wan Sen ([[Billy Glenn]]) mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di [[Cipinang, Pulo Gadung, Jakarta Timur|Cipinang]]. Dalam penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo ([[Alex Komang]]), sepupunya yang adalah orang [[Jawa]] pribumi.<br />
 
Cerita berpindah ke masa ini, dimanadi mana Giok Lan bertemu dengan Oey Eng Goan tua dan bertanya mengenai riwayat Tan Peng Liang. Oey Eng Goan ternyata masih membenci Tan Peng Liang lama setelah Dia mati. Dia bercerita bahwa tak lama setelah dipenjara, Tan Peng Liang melarikan diri ke [[Makau]], [[Cina]], dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis, namun juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.<br />
 
Cerita berpindah lagi ke masa lalu, dimanadi mana Tinung menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang. Dilanda kemiskinan, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya. Dia terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri [[Belanda]] dengan imbalan uang, walau dilanda perasaan bersalah sebagai seorang Ibu. Terungkap bahwa tak lama setelah diadopsi, anak pertamanya, Kakak Giok Lan, telah meninggal di Belanda, namun Tinung tidak mengetahui karena Ia buta huruf dan tak dapat membaca surat tentang kabar tersebut. Cerita kemudian mengungkap bahwa Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung. Namun kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tjia Wan Sen yang dendam kepadanya. Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang kedua yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.<br />
 
Cerita berpindah ke kedatangan pasukan Jepang tahun [[1942]], dimanadi mana anggota Dewan ''Kong Koan'' akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo bersama Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang. Di negeri [[Siam]], Tan Peng Liang telah mengganti namanya menjadi Simon Chen. Dia memulai hubungan asmara disertai bisnis menyelundupkan senjata dengan seorang pejuang bawah tanah [[komunis]] merangkap pengusaha bernama Jeng Tut ([[Tutie Kirana]]). Cerita kemudian berpindah ke masa ini, dimanadi mana Oey Eng Goan tua bercerita bahwa untuk membebaskan anggota ''Kong Koan'' dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang ''[[jugun ianfu]]'' di [[Rumah Panjang]], [[Sukabumi]]. Kembali ke masa lalu, hilangnya Tinung memancing kemarahan Tan Soen Bie yang kemudian mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.<br />
 
Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di [[Sunda Kelapa]], Batavia, lalu bertemu dengan Rahardjo Soetardjo. Tan Peng Liang marah besar saat Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya. Dia kemudian berjanji akan membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali. Tinung pun akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo. Dalam penantiannya di sebuah [[Rumah Sakit]], Tinung menjadi hancur dilanda oleh perasaan bersalah dari peristiwa-peristiwa hidupnya selama itu, namun akhirnya pertemuan dengan Tan Peng Liang mengubah hidupnya kembali ke normal. Cerita kemudian berpindah ke peran Tang Peng Liang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Peng Liang akhirnya bergabung dengan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy sebagai pemasok senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya tersebut ditentang oleh Dewan ''Kong Koan'' yang mengetahui bahwa Tan Peng Liang masih hidup, dan dipersulit hubungannya dengan Jeng Tut yang mulai sulit karena pandangan ideologi mereka yang berbeda.<br />
 
Di sisi lain, hubungan Tang Peng Liang dengan Tinung juga semakin renggang. Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi. Hal tersebut akhirnya memicu Tan Peng Liang untuk melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan. Tan Peng Liang pun akhirnya menyerbu rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala. Cerita berpindah ke Batavia yang sekarang bernama [[Jakarta]] pada tahun [[1960]], dimanadi mana Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya, Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi di pemerintahan Indonesia. Di sini Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung. Namun dibalik layar, anggota Dewan ''Kong Koan'' yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.<br />
 
Hidup Tan Peng Liang akhirnya berakhir tak lama kemudian. Dia meninggal setelah memakan [[durian]] beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Terungkap bahwa tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya juga meninggal. Tak ada yang mencurigai bahwa Tan Peng Liang sebenarnya mati dibunuh, namun akhirnya Oey Eng Goan tua bercerita bahwa Dia lah yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut. Giok Lan sangat marah setelah mengetahui perbuatan tersebut, namun akhirnya memutuskan untuk memaafkan Oey Eng Goan dan melupakan kejadian tersebut, walau ditentang oleh saudaranya.<br />
Baris 88:
 
=== Anggaran ===
Pembuatan film ''Ca-bau-kan'' mengonsumsi dana sebesar kurang lebih 5 miliar rupiah. Film ''Ca-bau-kan'' adalah proyek perdana [[Kalyana Shira Film]] dimanadi mana banyak kru dan Nia di Nata sendiri memiliki pengalaman nyaris nol di dunia film. Film ini mengalami banyak kendala dalam masalah dana. Banyak dana yang habis untuk keperluan syuting berpindah-pindah di daerah [[pecinan]] di [[Lasem]], [[Semarang]], [[Ambarawa]], [[Bantir]], [[Tuntang, Semarang|Tuntang]] dan [[Magelang]]. Menurut Nia di Nata di [[Koran Tempo]], pencarian dana untuk film ''Ca-bau-kan'' adalah proses yang sulit.
<blockquote>"Tabungan saya dan teman-teman terkuras," "Ini film independen. Kita cari uang sendiri, bukan untuk kita, tapi untuk biaya film." Tutur Nia di Nata <ref>http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VgFQV1JVBARU Koran Tempo 14 Februari 2002</ref></blockquote>
 
Baris 106:
 
=== Musik ===
Penggunaan musik tempo doloe juga diutamakan seperti adanya [[gambang kromong]] dan [[cokek]], seperti lagu ''Dayung Sampan'' yang menggunakan lirik Cina. Untuk bagian musik Nia di Nata berkonsultasi dengan sang penulis cerita, [[Remy Sylado]], dan dengan [[Tan Beh Seng]], ahli gambang kromong berusia 70 tahun lebih yang menguasai versi asli alat musik tersebut. Lagu akhir film ini, "''Waktu Kan Menjawab''" dan "''Berakhir Di Cintamu''" ditulis oleh [[Andi Rianto]] dan [[Sekar Ayu Asmara]], dimanadi mana lagu pertama dibawakan oleh grup musik [[Warna]]. <ref>http://www.tempo.co.id/majalah/min/lay-2.html Majalah Tempo Online 24/02/02. Diakses 4 Februari 2009</ref>
 
== Lagu tema ==