Suku Bali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: diantara → di antara, removed stub tag
Baris 20:
== Asal-usul ==
{{main|Sejarah Bali}}
Asal-usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang [[migrasi]]: gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di [[Nusantara]] selama [[prasejarah|zaman prasejarah]]; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa [[sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|perkembangan agama Hindu]] di Nusantara; gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari [[Jawa]], ketika [[Majapahit]] runtuh pada [[abad ke-15]]—seiring dengan [[Islamisasi]] yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk [[sinkretisme]] antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.
 
== Kebudayaan ==
Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. [[Miguel Covarrubias|Covarrubias]] mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—lepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah [[pura]] yang indah, pemain [[gamelan]] andal, dan bahkan aktor berbakat.{{sfn|Vickers|2012|p=293}} Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun [[kelapa]] dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.{{sfn|Vickers|2012|p=294}} Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin [[amatir]], yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud [[yadnya|persembahan]], dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.{{sfn|Vickers|2012|p=296}} Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi [[relief]] kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.{{sfn|Vickers|2012|p=298}}
 
[[Gamelan]] merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk ''piodalan'' (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara ''metatah'' (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, [[ngaben]], [[melasti]], dan sebagainya.{{sfn|Spies|1938|p=6–10}} Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut [[Walter Spies|Spies]], seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.{{sfn|de Zoete|1938|p=6–10}}
 
Sebagaimana di [[Jawa]], suku Bali juga mengenal pertunjukan [[wayang]], namun dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara [[agama Hindu]]-[[Buddhisme|Buddha]] dengan tradisi Bali.
Baris 39:
 
== Tata Cara Penamaan ==
Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir".
 
Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad 20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya.
Baris 46:
Masyarakat Bali mengenal system Kasta yang diturunkan dari leluhur mereka. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, namun dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada kasta di masa lalu.
 
System kasta ini bermula pada abad XIV saat Kerjaan Bali ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit. Pada mulanya Kasta ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali dengan masyarakat lokal taklukan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.
 
Mereka menguasai seluruh pulau bali dengan membagi kekuasaan diantaradi antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
* Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan kasta tertinggi yakni Brahmana.
* Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan kasta Ksatria.
* Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan Kasta Waisya.
* Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan atau tidak berkasta. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah yang biasa disebut kaum Sudra (Kasta Sudra), atau di Bali dikenal dengan istilah "Jaba". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra Majapahit dari Dinasti Warmadewa yang melebur dalam masyarakat Sudra setelah kehilangan kekuasaan mereka.
 
System kasta ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh kasta lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan kasta mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam prakteknya diberlakukan pula pembatasan tidak boleh saling mengawini antar kasta secara bebas. Anak laki-laki dari kalangan berkasta boleh mengawini anak perempuan dari kasta di bawahnya ataupun anak dari kalangan Sudra. Kepada istri mereka ini diberikan hak naik Kasta dengan upacara adat pada kasata suaminya. Wanita yang telah naik kasta karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan mereka berhak menyandang kasta yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalistik.
 
Aturan tersebut tidak berlaku kepada anak perempuan. Untuk anak perempuan dari kalangan berkasta, secara adat tidak boleh mengawini laki-laki dari kalangan kasta di bawahnya apalagi dari kaum Sudra (Jaba). Bila hal ini terjadi, maka anak perempuan itu harus meninggalkan kastanya dan jatuh selamanya ke dalam kasta suaminya.
Baris 69:
 
=== Urutan Kelahiran ===
Selain keturunan Kasta, juga digunakan tata cara penamaan lain yang menunjukkan jenis kelamin dan urutan kelahiran anak dalam satu keluarga. Sehingga dari nama akan diketahui secara spesifik jenis kelamin dan urutan kelahirannya. Hal ini menjadi suatu ciri khas masyarakat Bali yang tak dikenal di berbagai tempat lainnya.
 
* Untuk membedakan jenis kelamin, masyarakat Bali umumnya dari keturunan Sudra menggunakan awalan “I” untuk anak laki-laki dan awalan “Ni” untuk anak perempuan.
 
* Untuk anak pertama, biasanya diberi awalan “Wayan”, yang diambil dari kata "wayahan" yang artinya "tertua / lebih tua / yang paling matang". Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga sering digunakan adalah "Putu" dan "Gede". Kata “Putu” artinya "cucu", sedangkan “Gede” artinya "besar / lebih besar". Kata Gede lebih spesifik digunakan hanya pada anak laki-laki saja, sementara untuk anak perempuan jarang digunakan. Dua awalan nama (Putu & Gede) ini biasanya digunakan oleh masyarakat Bali bagian Utara dan Barat, sedangkan di Bali bagian Timur dan Selatan cenderung memakai nama Wayan. Untuk anak perempuan kadang juga diberi tambahan kata “Luh”. Namun ada perkecualian, keturunan dari 3 Kasta atas umumnya tidak menggunakan kata Wayan dan Luh untuk anak-anak pertama mereka.
Baris 77:
* Untuk anak kedua, biasanya diberi awalan "Made", diambil dari kata "madya (tengah)". Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga dapat diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata "tengah". Ada juga yang menggunakan awalan “Kadek” yang merupakan serapan dari kata “adi” yang bermakna "utama atau adik". Untuk keturunan Kasta-kasta atas, cenderung tidak suka menggunakan kata Nengah maupun Kadek. Mereka lebih memilih menggunakan kata Made atau "Kade".
 
* Untuk anak ketiga, biasanya diberi nama depan "Nyoman" atau "Komang". Nyoman konon diambil dari kata "nyeman (lebih tawar)" yang asalnya dari lapisan terakhir pohon pisang, sebelum kulit terluar, yang rasanya cukup tawar. Nyoman. Komang, secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa / akhir”. Keturunan kasta atas umumnya lebih memilih penggunaan kata Komang dari pada Nyoman bagi nama anak ketiga mereka.
 
* Untuk anak keempat, biasanya diawali dengan “Ketut”, yang merupakan serapan dari kata “ke + tuut” yang bermakna "mengikuti / mengekor". Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang berawalan Ketut.
 
* System urutan penamaan anak di Bali sesuai tradisi hanya mengenal 4 urutan saja. Untuk keluarga yang memiliki lebih dari empat anak, dapat digunakan kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya untuk anak kelima dan seterusnya. Ada juga yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Selain itu juga yang menggunakan nama "Alit" atau "Cenik". Tidak sedikit pula orang tua yang sejak awal telah menrancang 4 nama anak-anak pertama mereka dengan tambahan kombinasi awalan urutan. Misalnya I Putu Gede ..., I Made Putu ..., I Ketut Gede ..., dsb
 
Di masa lalu urutan penamaan anak tersebut lebih banyak digunakan pada golongan kasta-kasta atas saja. Untuk masyarakat kelas bawah (Sudra) pada masa lalu tidak banyak yang menggunakan pola tersebut. Mereka langsung menamakan anaknya dengan awalan I untuk anak laki-laki atau Ni untuk anak perempuan. Misalnya I Swasta, I Kaler, Ni Polok, Ni Ronji, dsb. Model ini masih terlihat sampai periode akhir masa penjajahan Belanda akhir abad XX. Dalam perkembangannnya pola urutan nama tersebut akhirnya digunakan pula secara umum dan meluas oleh sebagian besar masyarakat Bali. Bahkan kini telah menjadi ciri yang tak terpisahkan dari identitas nama seluruh masyarakat Bali modern.
 
 
 
| last = Pasupati
Baris 108 ⟶ 106:
* {{citation| first=Adrian| last=Vickers| year=2012| title=Bali Tempo Doeloe| place=Jakarta| publisher=Komunitas Bambu| isbn=978-602-9402-07-0}}
* {{citation| last1=de Zoete| first1=Beryl| last2=Spies| first2=Walter| title=Dance and Drama in Bali| place=London| year=1938| publisher=Faber and Faber Ltd.}}
 
{{suku-stub}}
 
[[Kategori:Bali]]