Universitas Khairun: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pai Walisongo (bicara | kontrib)
k Membatalkan 1 suntingan oleh Yanuardi Syukur (pembicaraan) diidentifikasi sebagai vandalisme ke revisi terakhir oleh 206.53.152.15. (TW)
Sarifrobo5 (bicara | kontrib)
Sejarah dan sebagainya
Baris 4:
|tahun=15 Agustus 1964
|jenis=Perguruan Tinggi Negeri
|rektor= Prof. DR.GUFRAN ALIHusen IBRAHIMAlting, SH., MSMH
|lokasi=[[Ternate]], [[Maluku Utara]]
|situs=?www.unkhair.ac.id
}}
 
'''Universitas Khairun''' adalah sebuah perguruan tinggi negeri yang terdapat di [[Kota Ternate]], [[Maluku Utara]], [[Indonesia]].
 
'''Sejarah Universitas Khairun'''
{{PTN di Indonesia}}
 
'''Profil Sultan Khairun'''
 
'''Masa Kanak-Kanak'''
 
Kaicili (pangeran) Khairun merupakan anak tunggal dari Sultan Bayanullah dari istri seorang wanita Jawa. Dalam literatur Eropa, Sultan Bayanullah dikenal sebagai Abu Lais atau Sultan Bolief. Sebelum menikahi seorang wanita Jawa ini, Sultan Bayanullah lebih dahulu menikah dengan Nyaicili Nukila, seorang bangsawan Ternate. Dari istri Nyaicili Nukila inilah ia dikaruniai dua orang anak, masing-masing mereka adalah Kaicili Deyalo dan Kaicili Boheyat (Abu Hayat) yang kelak keduanya menjadi Sultan Ternate. Setelah Sultan Bayanullah tutup usia pada tahun 1522, Nyaicili Nukila menikah lagi dengan Pati Sarangi (seorang sangaji Ambon) yang dikaruniai Kaicili Tabariji yang juga kelak menjadi seorang Sultan Ternate.
 
Berdasarkan laporan Valentijn yang dikutip oleh Ludorico Varthema, dikatakan bahwa ibunda dari Kaicili Khairun ini bukan golongan bangsawan, tapi dari keturunan rakyat biasa. Kaicili Khairun dilahirkan di Ternate pada tahun 1519. Seperti pada umumnya anak-anak bangsawan seusianya saat itu, ia hidup dalam lingkungan Kedaton Ternate. Sehari-hari, Kaicili Khairun hidup bersama ibunda tercintanya di sebuah rumah yang kecil dan sederhana dekat Kedaton Ternate. Di rumah yang mereka tinggal dan menetap itu memiliki halaman yang cukup luas dan terdapat berbagai jenis tanaman pelindung, buah-buahan, kaktus berbunga mekar di malam hari, serta memelihara burung-burung berbulu indah, seperti; cendrawasih, kakatua dan nuri.
 
Dua tahun sebelum Kaicili Khairun diangkat sebagai Sultan Ternate (1535), dari Goa telah tiba di Ternate Dom Tristao de Altaide pada bulan Oktober 1533, dalam rangka memulai sebuah jabatan barunya sebagai Kapten Portugis di Benteng Sao Paolo (Gamlamo-Gamalama), Kelurahan Kastela sekarang. Di sini, Altaide menetapkan dua agenda utamanya, yaitu mengirimkan Kaicili Khairun ke Goa untuk memperoleh pendidikan, serta mempersiapkannya menjadi Sultan Ternate kelak. Ketika usianya belum mencapai 10 tahun, atas desakan Altaide, ia dikirim oleh ayahnya, Sultan Bolief, ke Goa untuk memperoleh pendidikan formal di Kolese Santo Paulus, sebuah lembaga pendidikan Katholik milik Portugis yang dikelola langsung oleh para imam Jesuit. Saat itu, yang menjadi Rektor untuk institusi ini adalah Alfonso de Castro. Jabatan Rektor periode berikutnya setelah de Castro adalah Franciscus Xaverius. Di Kolese Santo Paulus, Kaicili Khairun pernah mempelajari filsafat Barat dan teologi Kristen. Meskipun begitu, sebelum Kaicili ke Goa, ia terlebih dahulu mempelajari teologi Islam dan filsafat Islam di kedaton yang dibimbing langsung oleh ayahnya sendiri, Sultan Bolief. Selain itu, Kapten Altaide dan kemudian Galvao juga pernah memperkenalkan ajaran filsafat Barat kepada Kaicili Khairun di Benteng Gamlamo sebelum ia dikirim ke Goa untuk memulai belajar di sana. Peran dari tokoh-tokoh ini tampaknya sangat menentukan orientasi politik Kaicili Khairun kelak. Bagaimana pengaruh ajaran Islam pada Kaicil Khairun setelah dibimbing langsung oleh ayahnya, dan mengapa Kapten Altaide dan Galvao menginginkan Kaicili Khairun harus belajar di Goa?
 
Sultan Zainal Abidin adalah kakek Kaicili Khairun dan ayah dari Sultan Bolief. Sultan Zainal Abidin pernah belajar Islam secara langsung dari Sunan Giri di Gresik pada tahun 1495. Sekembalinya di Ternate, ia melakukan perubahan struktur Kerajaan Ternate dengan pengaruh Islam. Hal ini kemudian menjadi inspirasi dalam perjuangan Kaicili Khairun ketika menjadi Sultan Ternate. Perubahan itu sebagaimana dikutip dari berbagai sumber adalah sebagai berikut:
 
1. Perubahan gelar dari kolano ke sultan.
 
2. Syariat Islam sebagai ideologi resmi kerajaan.
 
3. Penerapan birokrasi Bobato Dunia (bidang pemerintahan).
 
4. Penerapan birokrasi Bobato Akhirat (bidang keagamaan).
 
5. Sultan sebagai pemimpin agama dan pemimpin kaum Muslim.
 
Dampak dari ajaran Islam dan perubahan struktur di atas secara politik, berimplikasi pada pemikiran Kaicili Khairun. Pemikiran ini dijadikan sebagai dasar pembenaran dalam setiap pengambilan keputusannya ketika ia menjadi seorang sultan kelak. Dengan perubahan ini para sultan Ternate diharapkan memiliki peran ganda dalam menjalankan tugasnya. Sultan tidak hanya berusaha untuk mempertahankan eksistensi kerajaannya, tetapi ia juga harus mempunyai tanggung jawab menyebarkan ajaran Islam dan melindunginya. Artinya, tugas seorang sultan adalah melindungi Islam, dan sebaliknya sultan juga dapat melindungi kerajaannya. Karena prinsip dasar kerajaan seperti inilah, maka Kaicili Khairun ketika menjadi sultan, ia kemudian dianggap oleh Valentijn sebagai seorang yang sangat fanatik terhadap Islam, dalam arti yang negatif.
 
Hal penting yang ditunjukkan Kaicili Khairun setelah mempelajari ajaran Islam adalah dijadikannya sebagai dasar keyakinan dan pemikiran untuk menangkal pergerakan Kristenisasi di pusat kerajaan, serta menekan politik campur-tangan para kapten Portugis dalam suksesi sultan di pusat kerajaan. Khairun terkadang bersikap toleran kepada orang-orang Portugis, namun di sisi lain juga sangat fanatik, terutama kepada bangsawan Ternate yang mengkonversi keyakinan mereka. Sebagai contoh kasus, adik tiri perempuan Kaicili Khairun yang masuk Kristen namanya kemudian diubah sesuai dengan nama baptis, yaitu Dona Catarina dan kemudian ia menikah dengan seorang pedagang Portugis. Kasus konversi tersebut tidak ditentang secara terbuka oleh Kaicili Khairun, akan tetapi dalam suatu kesempatan ketika Kaicili Khairun ikut dalam operasi gabungan yang dilaksanakan Portugis di Ternate, Jailolo dan Bacan, ia tidak saja berbalik untuk membunuh suami Dona, tetapi juga Dona sendiri dibunuh dengan pedang komandonya. Dalam literatur Eropa, masalah yang sama dijelaskan bahwa watak Kaicili Khairun tekadang menunjukkan sikap toleran kepada orang-orang Portugis, tetapi terkadang pula ia menentang konversi keyakinan oleh beberapa orang bangsawan Ternate, Jailolo dan Bacan. Mengenai hal ini, Kapten Antonio Galvao (1537-1540) berpendapat bahwa watak sesungguhnya dari Kaicili Khairun sangat sukar untuk ditebak.
 
Sekembali Kaicili Khairun dari menuntut ilmu di Goa, ia mampu berkomunikasi dengan orang-orang Portugis menggunakan bahasa mereka. Selain itu, ia juga memiliki kemampuan untuk mengadopsi teori protektorat yang umumnya diterapkan oleh negara-negara Eropa ketika itu untuk kepentingan politik di daerah jajahannya. Substansi teori ini terletak pada perubahan kemampuan seorang calon penguasa untuk berpikir maju, khususnya bagaimana ia mengendalikan kekuasaannya bila sewaktu-waktu terjadi gejolak di wilayah ataupun di pusat kerajaan. Sebagai implementasi dari teori protektorat (ilmu ketatanegaraan) yang pernah dipelajari selama di Goa itu, Kaicili Khairun ketika menjadi sultan berhasil mengamati motif gerakan pemisahan ―Jailolo dari Ternate‖ (yang tengah dilancarkan Sultan Katarabumi dari Jailolo bersama sekutunya Spanyol dan Tidore), yang kejadian tersebut dalam pandangan Sultan Khairun dapat dianggap membahayakan Kerajaan Ternate.
 
'''Kepemimpinan'''
 
Kemampuan diplomasi Kaicili Khairun mulai tampak saat ia bertemu Raja Muda Portugis, Lopo Soares, di Goa dalam bulan Februari 1546. Saat itu, ia bersama Lopo Soares membahas masalah status akta hibah atas Ambon, Buru, dan Seram yang pernah disepakati oleh Sultan Tabariji dan Kapten Jordao de Freitas di Malaka. Dalam perundingan itu, Kaicili Khairun menjelaskan kepada Lopo Soares bahwa hibah wilayah Kerajaan Ternate kepada Kapten Freitas itu dilakukan secara sepihak oleh Sultan Tabariji tanpa persetujuan dari para Bobato Dunia Kerajaan Ternate. Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh Jordao de Freitas ini tanpa persetujuan dari Lopo Soares di Goa. Atas kelihaian Kaicili Khairun ketika berdiplomasi dalam perundingan itu, Lopo Soares kemudian menyetujui gugatan Kaicili Khairun dengan menarik Jordao de Freitas sebagai kapten Benteng Gamlamo di Ternate kemudian digantikan dengan Bernaldin de Sousa sebagai kapten benteng yang baru. Demikian halnya dengan Sultan Tabariji, ia diturunkan dari tahta Kerajaan Ternate dan digantikan dengan Kaicil Khairun menjadi Sultan Ternate dalam masa jabatan yang kedua sejak tahun 1546 sampai dengan tahun 1570. Meskipun secara formal dalam perundingan itu telah diputuskan Sultan Tabariji akan diturunkan dari tahta Kerajaan Ternate, tetapi faktanya Sultan Tabariji sudah setahun lebih dahulu wafat di Malaka sebelum pertemuan itu dilaksanakan.
 
Sebelum membicarakan perubahan status Khairun dari kaicili ke Sultan Ternate, terlebih dahulu akan dibicarakan secara ringkas perjalanan Tabariji menuju tahta Kerajaan Ternate tahun 1535 dalam usia sekitar 15 tahun. Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah mengapa Khairun menggantikan Tabariji sebagai sultan, dan bagaimana Tabariji diangkat sebagai seorang sultan. Ketika Tabariji diangkat sebagai sultan dalam tahun itu, terdapat dua permasalahan klasik yang saling bertolak belakang antara satu dan lainnya. Campur tangan Portugis dalam suksesi Kerajaan Ternate, dan peristiwa konversi keyakinan atas Sultan Tabariji dari Islam ke Kristen Katolik ketika ia diasingkan ke Goa. Di sini, Tabariji bertemu dengan seorang bangsawan Portugis, Jordao de Freitas, yang menyarankan kepadanya agar mengkonversi agamanya dari Islam ke Kristen Katolik bila menginginkan jabatannya kembali. Anjuran ini diterima oleh Tabariji yang kemudian mengubah namanya dengan Dom Manuel.
 
Masalah konversi agama oleh Tabariji di Goa diikuti juga dengan diumumkan perubahan status kerajaan Ternate dari sebuah kerajaan Islam yang independen menjadi sebuah kerajaan Kristen bentukan Portugis. Akan tetapi, sebelum usaha tersebut direalisasikan oleh Tabariji, ia kemudian jatuh sakit dan wafat pada 30 Juni 1545 di Malaka. Seiring dengan wafatnya Sultan Tabariji, para Bobato Dunia Kerajaan Ternate kemudian mengangkat Kaicili Khairun sebagai Sultan Ternate yang ke-6. Artinya, pengangkatan Kaicili Khairun sebagai Sultan Ternate pada periode pertama dilakukan oleh Kapten Altaide pada tahun 1535. Sementara itu, untuk pengangkatan Sultan Khairun pada periode kedua dilakukan oleh para Bobato Dunia Kerajaan Ternate pada tahun 1546 hingga ia tutup usia tahun 1570. Namun, status Khairun sebagai sultan Ternate tahap II ini tetap ditentang oleh Kapten Altaide yang dulu pernah mengangkatnya tahun 1535. Bagaimana proses pengangkatan Khairun sebagai Sultan Ternate oleh Kapten Altaide pada tahun itu, akan dibahas lebih lanjut berikut ini.
 
Tahun 1535, bagi Kaicili Khairun adalah periode yang ditandai dengan perasaan duka-cita sekaligus suka-cita. Dalam tahun ini, ibunda tercintanya tutup usia, dan dalam tahun ini pula ia didaulat secara ―paksa‖ oleh pasukan pengawal Portugis untuk menuju tahta Kerajaan Ternate. Sebuah kenyataan sejarah yang unik sedang berproses pada seorang Kaicili Khairun. Saat itu, usianya baru mencapai 15 tahun dan sebenarnya belum sanggup dan siap untuk menghadapi dua tekanan psikologis yang datang dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ia mampu menjalani segala amanat yang diberikan kepadanya.
 
Meskipun Kaicili Khairun baru menginjak usia sekitar 15 tahun saat ia diangkat menjadi sultan, hal penting yang penjadi pertimbangan utama Kapten Altaide untuk itu adalah faktor prestasi akademiknya yang pernah diperolehnya ketika belajar di Goa. Dalam berbagai referensi tercetak dalam bentuk buku telah banyak memberikan informasi kepada kita bagaimana sesungguhnya eksistensi Kaicili Khairun dalam perjuangannya menentang dominasi politik dan ekonomi bangsa Portugis di Maluku. Pada tahun 1535, Kapten Dom Tristao de Altaide mengirimkan sekelompok pasukan pengawal Portugis untuk mengawal Kaicili Khairun ke kedaton untuk upacara pengangkatan Sultan Ternate. Ibunda Kaicili Khairun ketika itu dalam keadaan bingung menghadang mereka di depan pintu gerbang dan menuduh mereka akan menculik puteranya, yang katanya; akan dijadikan boneka Portugis dan kelak akan diracun, dirantai, diasingkan dan dihukum mati. Pasukan pengawal itu memaksa masuk melewati wanita itu dan menemukan Khairun disembunyikan di sebuah kamar di lantai dua. Sewaktu mereka meminta Khairun untuk ikut mereka, sekali lagi ibundanya menghalangi, dan dalam pertengkaran yang terjadi ia jatuh – atau didorong – dari jendela dan meninggal seketika karena luka-luka yang dialaminya. Upacara penobatan terpaksa ditunda, tetapi penguasa muda yang sangat berdukacita itu berhasil diyakinkan oleh pasukan pengawal Portugis bahwa ibundanya itu wafat karena kecelakaan semata. Sultan Khairun dengan lugunya menerima perintah dan melaksanakan semua program yang dipersiapkan Kapten Altaide sebelumnya. Setidaknya ada dua program buatan Kapten Altaide yang nantinya dijalankan oleh Sultan Khairun. Aksi militer terhadap Boheyat yang menutut agar Khairun diturunkan dari tahta kerajaan, serta kegiatan kristenisasi penduduk Muslim di Ternate oleh para pastor yang mendapat sokongan Sultan Khairun. Program ini mengundang reaksi keras dari lingkungan Kedaton Ternate dan seluruh kerajaan di Maluku. Kaicili Boheyat bersama Sultan Jailolo, Katarabumi (Catabruno), bergerilya melalui laut. Mereka menyerang orang-orang Portugis di Ternate dan menghancurkan rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan benteng Gamalama. Pasukan Boheyat dan pasukan Katarabumi juga menyerang orang-orang Portugis di Jailolo dan Bacan. Melalui wakil Kapten Altaide, de Pinto, orang-orang Portugis kemudian membalas serangan itu dengan menyerang pasukan Kerajaan Jailolo (Katarabumi) dan wilayah-wilayah satelit Kerajaan Ternate di utara Pulau Halmahera.
 
Kejadian mengerikan di Jailolo dan tempat-tempat lain di Maluku, tampak bahwa ratusan orang Portugis mati mengenaskan dan juga ribuan penduduk Maluku mengalami nasib yang sama. Para penghuni Benteng Gamlamo lagi-lagi terisolasi dan dihadapkan pada pilihan; dibantai secara massal ataukah mati kelaparan. Peristiwa yang berlangsung pada pertengahan tahun 1536 ini, oleh para sejarawan Eropa dianggap sebagai ―Kidung Senja Portugis‖. Akan tetapi, providensia menyatakannya sebagai awal kebangkitan Portugis, yang sayang, tidak berlangsung lama. Ketika pola pikir Sultan Khairun mulai bijaksana dan cerdik seiring dengan bertambahnya usia, banyak prestasi yang telah dibuatnya justru bertentangan dengan program yang sudah dipersiapkan oleh Portugis untuk dijalankan oleh Sultan Khairun sebagaimana diuraikan sebelumnya. Berikut ini, akan disinggung beberapa penilaian mengenai watak dan pola kepemimpinan Sultan Khairun menurut sudut pandang para penulis Barat. Dalam referensi itu diinformasikan kepada kita bahwa Sultan Khairun mula-mula muncul sebagai anak yang mudah dipengaruhi, lalu sebagai remaja yang nekat, dan kemudian sebagai korban penipuan kapten-kapten Portugis, sebagai pembela orang-orang Muslim Maluku, momok bagi umat Kristen, dan penghianat yang paling bengis.
 
Sultan Khairun berpendapat bahwa dengan mengikuti kemauan kapten Portugis, ia dapat mencapai apa yang ia inginkan dengan cara yang lebih licik pula. Ketika ia diikutsertakan dalam ekspedisi-ekspedisi Portugis yang bertujuan untuk menenteramkan dan menaklukkan suatu wilayah, ia harus memancing dengan mengganggu orang-orang yang baru saja masuk Kristen, seperti di Jailolo dan Bacan yang menurut janji orang Portugis akan mereka lindungi. Dengan cara ini Sultan Khairun akan berhubungan secara langsung dengan kepala-kepala suku di Halmahera (Tobarus) yang notabene adalah orang-orang yang sudah sejak lama berhubungan erat dengan pusat Kerajaan Ternate. Berbagai macam tipu-daya dan persekongkolan antara Sultan Khairun dengan kepala suku-kepala suku (Tobarus) di Halmahera akan menghambat operasi-operasi militer Portugis di wilayah itu. Setiap terjadi suksesi di Kedaton Ternate akan selalu ada campur tangan Portugis. Untuk mengacaukan campur tangan Potugis, maka Sultan Khairun melalui para kepala suku, mereka membuat huru-hara di Jailolo dan di utara Halmahera dengan membunuh dan melukai para pastor dan pedagang Portugis. Cara ini dianggap paling efektif untuk menghambat dan mengacaukan seluruh kebijakan para kapten Portugis mengenai suksesi sultan di Kerajaan Ternate dan monopoli rempah-rempah di kawasan Maluku (utara).
 
'''Khairun Di Mata Kawan dan Lawan'''
 
Gambaran Xaverius mengenai Sultan Khairun sebagai \orang yang toleran kepada Kristen., berbanding terbalik dengan pandangan Valentijn yang melihat Sultan Khairun sebagai \orang yang paling fanatik kepada Islam.. Perbedaan dua pandangan ini dapat diibaratkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi, pedang itu dapat menebas leher bagi para bangsawan di Ternate, Jailolo dan Bacan karena mengkonversi keyakinan mereka dari Islam ke Kristen Katolik, serta pada sisi yang lain pedang itu pula dapat menebas leher orang-orang Portugis karena program konversi agama yang dijalankan oleh para misionaris Katolik itu.
 
Sikap tegas dan keras Sultan Khairun ditujukan kepada kalangan bangsawan di Ternate, Jailolo, Bacan dan penduduk Islam di Halmahera Utara yang mengkonversi agama mereka ke Katolik menjadi perhatian serius Sang Sultan. Operasi gabungan oleh Portugis dan Ternate di Jailolo misalnya, Sultan memanfaatkan kesempatan ini untuk menumpas hal itu. Fakta ini adalah bukti bahwa Sultan memiliki watak yang tegas dan keras sekaligus bersikap toleran dan bijaksana. Sultan Khairun dianggap bersikap keras dan tegas juga tertuju kepada para misionaris Portugis yang berupaya mempengaruhi penduduk Maluku yang telah beragama Islam untuk mengkonversi agama Kristen Katolik. Mengenai hal ini, Sultan Khairun tidak segan-segan untuk membunuh para misionaris itu bila menemukan mereka sedang melaksanakan tugasnya yang terkait hal ini. Namun pada sisi yang lain, dalam hal hubungan dagang Portugis-Ternate, Sultan Khairun bersikap lebih lunak dan toleran kepada para pedagang Portugis. Bahkan kepada misionarispun Sultan Khairun sangat menghormati mereka. Akumulasi ini seringkali disalah-tafsirkan oleh para kapten Benteng Sao Paolo sehingga mereka kerap menangkap dan memenjarakan Sultan Khairun. Pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah mengapa Sultan Khairun mengangkat senjata untuk menyerang dan membunuh pedagang Portugis dan para misionaris Katolik di wilayah ini? dan Bagaimanakah dampak dari ajaran Katolik terhadap penduduk Islam di Maluku Utara yang sudah sejak lama memeluk agama Islam? Akan dibahas berikut ini.
 
Tahun 1546 merupakan awal kelahiran Misi Jesuit di Maluku Utara yang ditandai dengan kehadiran Franciscus Xaverius. Sebelumnya, tahun 1530, Pastor Fernando Lopez melayani kehidupan ruhaniah orang-orang Portugis di dalam benteng maupun sekitar Benteng Sao Paolo. Meskipun tugas itu bersifat khusus kepada orang-orang Portugis, akan tetapi selalu saja terjadi konfrontasi dengan penganut Islam di Ternate dan sekitarnya. Hal ini disebabkan sikap tidak bijaksananya orang-orang Portugis dengan memusuhi dan menghina Sultan maupun orang-orang pribumi. Dalam perkembangan selanjutnya, pusat-pusat kerajaan Islam di Maluku Utara juga menjadi sasaran penting para misionaris Katolik untuk menyebarkan agama mereka di kalangan kedaton, meskipun di kedaton itu sendiri telah menerima Islam sebagai agama resmi sudah sejak lama dan telah melembaga dalam kerajaan dikawasan itu.
 
Xaverius adalah seorang Pastor Katolik yang paling berpengaruh di Goa (India). Di kalangan Kolese Santo Paulus di Goa, Xaverius dikenal sebagai Rektor. Xaveriuslah tokoh misionaris Katolik yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap sukses-tidaknya program Kristenisasi di Dunia Timur, dan wilayah Maluku adalah daerah yang paling utama menjadi perhatian serius Sang Pastor untuk program tersebut. Dalam perjalanannya di bulan Juni 1546 dari Ambon ke Ternate, ia tempuh selama seminggu dengan tujuan yang amat khusus, yakni meng-Kristen-kan Sultan Khairun. Kehadiran Xaverius di Ternate ini disambut baik oleh Sultan Khairun. Keduanya segera menjalin hubungan baik dan saling menghormati. Xaverius menganggap Sultan Khairun sebagai orang yang pikiran dan hatinya sangat terbuka. Sebaliknya, Sultan Khairun menganggap misionaris ini adalah orang Eropa satu-satunya, selain Kapten Galvao, yang ajaran dan wataknya menimbulkan rasa hormat yang tulus dalam dirinya. Kedua tokoh itu bertemu cukup lama dan berbincang-bincang mengenai masalah teologi dan filsafat. Sultan Khairun meminta kepada Xaverius untuk memberikan keterangan tentang perbedaan antara ajaran Kristen dan Islam. Meskipun Sultan Khairun tidak bersedia untuk beralih agama, ia berharap bahwa penganut-penganut dua kepercayaan itu pada suatu hari nanti akan menyatukan kepercayaan mereka dan mengakhiri persaingan.
 
Setelah pertemuan resmi antara Sultan Khairun dan Franciscus Xaverius, Antonio Vas yang juga seorang pastor Benteng Sao Paolo (Benteng Gamlamo) melakukan pembaptisan terhadap Sultan Bacan dan istrinya pada tanggal 1 Juli 1557. Pembaptisan atas Sultan Bacan dan istrinya ini diikuti juga oleh banyak kerabat dari Kedaton Kesultanan Bacan. Upacara ini telah mendapat dukungan dari Sultan Khairun. Sementara itu, berdasarkan laporan Pater Pedro Mascarenhas, menginformasikan bahwa pada tanggal 30 November 1562, seorang pemimpin kampung terkemuka di Tidore bernama Bangua (sepupu Sultan Tidore ketika itu) dibaptis oleh Mascarenhas sendiri di Ternate sebagai seorang penganut Kristen Katolik. Akan tetapi, ketika informasi Bangua yang telah mengkonversi agama sampai ke telinga Sultan Khairun, ia pun menjadi jengkel dan marah yang sangat hebat karena bagi Khairun, Bangua adalah seorang sahabat terdekatnya yang sangat penting dan juga sebagai mitra setianya ketika membantunya dalam melakukan penyerangan terhadap misionaris Katolik dan para pedagang Portugis di Jailolo, Halmahera Utara dan Bacan.
 
Pada tahun 1546, terkait dengan Misi Jesuit di Halmahera Utara, Alfonso de Castro (kolega Xaverius di Goa) melaporkan bahwa ketika Kapten Benteng Sao Paolo, Gonsalo Pereyra Marramaque dalam suatu kesempatan melakukan perjalanannya ke Ambon dalam rangka menertibkan kerusuhan di sana, pasukan yang dikendalikan Sultan Khairun (termasuk Bangua dan orang-orang Tobarus) memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang penduduk di Halmahera Utara yang mengkonversi agama mereka ke Kristen Katolik. Serbuan pasukan Sultan Khairun dengan kekuatan 30 perahu kora-kora itu juga dibantu oleh penduduk dari Bocanora, Sabubo dan penduduk Pulau Doi.Dalam serbuan itu, penduduk di Desa Pune menjadi target utama pasukan Khairun dan menewaskan penduduk setempat sekitar 300 orang yang baru saja memeluk Kristen Katolik. Terkait dengan hal ini, Pater Nicolau Nunes dalam laporannya menyebutkan bahwa selama 20 tahun (ketika ia bertugas di Ternate sebagai misionaris Jesuit), baru pertama kali ini ia menyaksikan peristiwa pembunuhan seperti itu. Menurutnya, peristiwa ini tidak hanya menimpa orang-orang dewasa saja, tetapi juga wanita dan anak-anak menjadi korban keganasan pasukan Sultan Khairun. Serangan pasukan di Halmahera Utara yang menewaskan sekitar 300 orang Kristen Katolik di Desa Pune itu, dalam pandangan Portugis dalangnya adalah Sultan Khairun sendiri. Disebutkan lebih lanjut bahwa ketika informasi mengenai peristiwa pembunuhan itu sampai di Ternate, Sultan Khairun berpura-pura ikut prihatin atas kejadian itu dan mengirimkan bantuan pasukan kora-kora ke Halmahera Utara untuk mengecek dan mencari tahu 30 perahu perusuh itu untuk ditumpasnya. Namun, dalam pencarian terhadap orang-orang yang dianggap penjahat itu tidak ditemukan, dan akhinya mereka kembali ke Ternate. Peristiwa ini tentu saja menambah kejengkelan Kapten Lopez de Masquita atas ulah Sultan Khairun. Hari-hari selanjutnya pikiran Masquita selalu dihantui dengan upaya bagaimana membunuh Sultan Khairun. Meskipun begitu, peristiwa ini tidak bisa dilihat secara tunggal semata, akan tetapi harus dilihat secara akumulatif dari bebagai persoalan. Artinya, kehadiran bangsa Portugis di Maluku Utara bersama dengan para misionarisnya telah melakukan campur-tangan dalam setiap suksesi sultan dan memaksakan kehendak mereka kepada kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara agar mengikuti tata nilai (agama) dan haluan politik mereka (lihat teori 3G). Oleh karena itu, mengapa Sultan Khairun harus berjuang untuk menentang bangsa Portugis dan kemudian ia dibunuh secara keji oleh Kapten Lopes de Masquita melalui Antonio Pimental di dalam benteng Sao Paolo (benteng Gamlamo) tanggal 28 Februari 1570.
 
Menurut laporan misionaris Katolik di Ternate bahwa pada tahun 1534 di Galela Halmahera Utara, terdapat salah seorang pedagang Portugis, Goncalo Veloso, pernah berkunjung ke sana untuk melakukan kontak dagang dengan penduduk setempat dan pimpinan Desa Mamojo (Mamuya). Di sini, Veloso memaksakan ajaran Katolik kepada Kolano Mamojo (Kepala Desa Mamuya). Peristiwa ini menunjukkan bahwa bangsa Portugis maupun para misionarisnya dalam menjalankan tugasnya di Maluku Utara, selalu memaksakan Dalam serbuan itu, penduduk di Desa Pune menjadi target utama pasukan Khairun dan menewaskan penduduk setempat sekitar 300 orang yang baru saja memeluk Kristen Katolik. Terkait dengan hal ini, Pater Nicolau Nunes dalam laporannya menyebutkan bahwa selama 20 tahun (ketika ia bertugas di Ternate sebagai misionaris Jesuit), baru pertama kali ini ia menyaksikan peristiwa pembunuhan seperti itu. Menurutnya, peristiwa ini tidak hanya menimpa orang-orang dewasa saja, tetapi juga wanita dan anak-anak menjadi korban keganasan pasukan Sultan Khairun. Serangan pasukan di Halmahera Utara yang menewaskan sekitar 300 orang Kristen Katolik di Desa Pune itu, dalam pandangan Portugis dalangnya adalah Sultan Khairun sendiri. Disebutkan lebih lanjut bahwa ketika informasi mengenai peristiwa pembunuhan itu sampai di Ternate, Sultan Khairun berpura-pura ikut prihatin atas kejadian itu dan mengirimkan bantuan pasukan kora-kora ke Halmahera Utara untuk mengecek dan mencari tahu 30 perahu perusuh itu untuk ditumpasnya. Namun, dalam pencarian terhadap orang-orang yang dianggap penjahat itu tidak ditemukan, dan akhinya mereka kembali ke Ternate. Peristiwa ini tentu saja menambah kejengkelan Kapten Lopez de Masquita atas ulah Sultan Khairun. Hari-hari selanjutnya pikiran Masquita selalu dihantui dengan upaya bagaimana membunuh Sultan Khairun. Meskipun begitu, peristiwa ini tidak bisa dilihat secara tunggal semata, akan tetapi harus dilihat secara akumulatif dari bebagai persoalan. Artinya, kehadiran bangsa Portugis di Maluku Utara bersama dengan para misionarisnya telah melakukan campur-tangan dalam setiap suksesi sultan dan memaksakan kehendak mereka kepada kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara agar mengikuti tata nilai (agama) dan haluan politik mereka (lihat teori 3G). Oleh karena itu, mengapa Sultan Khairun harus berjuang untuk menentang bangsa Portugis dan kemudian ia dibunuh secara keji oleh Kapten Lopes de Masquita melalui Antonio Pimental di dalam benteng Sao Paolo (benteng Gamlamo) tanggal 28 Februari 1570.
 
Menurut laporan misionaris Katolik di Ternate bahwa pada tahun 1534 di Galela Halmahera Utara, terdapat salah seorang pedagang Portugis, Goncalo Veloso, pernah berkunjung ke sana untuk melakukan kontak dagang dengan penduduk setempat dan pimpinan Desa Mamojo (Mamuya). Di sini, Veloso memaksakan ajaran Katolik kepada Kolano Mamojo (Kepala Desa Mamuya). Peristiwa ini menunjukkan bahwa bangsa Portugis maupun para misionarisnya dalam menjalankan tugasnya di Maluku Utara, selalu memaksakan kehendak mereka kepada penduduk lokal yang sebelumnya menganut agama Islam agar mengkonversi agama Kristen Katolik. Lebih lanjut diberitakan bahwa wilayah Halmahera Utara merupakan pusat pemasok beras, sagu dan daging ke Ternate, Tidore dan Bacan. Dalam banyak kasus di Jailolo dan Halmahera Utara, orang-orang Portugis di Ternate juga berupaya melakukan penyerangan terhadap penduduk di Jailolo dan Halmahera Utara untuk tujuan monopoli terhadap bahan pangan tersebut guna memenuhi kebutuhan mereka di dalam Benteng Sao Paolo di Ternate. Demikian halnya dengan kasus Antonio Vas, Pastor Benteng Sao Paolo, ia dibunuh oleh penduduk lokal Halmahera Utara yang juga disebabkan oleh memaksakan agamanya sendiri yang Katolik kepada mereka yang sudah sejak lama menjadi penganut agama Islam.
 
Kapten Altaide dalam laporannya menyebutkan bahwa penduduk Kristen Katolik di Halmahera Utara pernah membantunya dalam berperang melawan orang-orang Muslim di wilayah itu dalam rangka membangun Portugis Baru di Kepulauan Maluku. Meskipun begitu, Leonard Y. Andaya (sejarawan Universitas Hawaii) memiliki yang agak berbeda dengan Valentijn, Xaverius, Galvao, de Castro hingga Altaide seperti yang telah diuraikan di atas. Andaya lebih lanjut mengatakan bahwa kebesaran Sultan Khairun sebagaimana ditunjukannya dalam perjuangan itu adalah karena ia dikenal sebagai seorang pembela Islam yang sangat kuat.
 
Secara historis, pencitraan Portugis mengenai sikap dan watak Sultan Khairun yang santun dan toleran adalah suatu kekeliruan belaka. Di balik itu semua, pengiriman Kaicili Khairun oleh Altaide ke Goa untuk alasan pendidikan, ternyata menciptakan suatu bangunan pemikiran tersendiri bagi Kaicili Khairun yang bertujuan untuk menanamkan citra jelek dengan memusuhi dan anti kepada agamanya sendiri, Islam. Hal tersebut dapat dicermati dari amanat Kaum Salibis Eropa sebagaimana termanifestasi dalam teori 3G (Gold, Gospel, and Glory), bahwa bangsa Iberia (Andalusia; Portugis dan Spanyol) diharapkan mampu mewujudkan impian mereka atas dominasi Kerajaan Moro (Islam) di Kepulauan Maluku. Artinya, dalam rangka untuk menguasai perdagangan cengkeh di kepulauan ini, maka peran penting bangsa Portugis adalah untuk melenyapkan kekuasaan Islam atas dominasi mereka dalam perdagangan cengkeh di wilayah itu. Dalam literatur Spanyol, Kerajaan Maluku sering disebut sebagai Moro atau orang Moro yang dapat dimaknai sebagai Kerajaan Islam. Istilah Moro yang kemudian dikenal di Maluku sekarang, pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Eropa ketika mereka datang di Maluku pada abad ke-16. Sesuai laporan Pigafetta tahun 1521, bahwa ketika bangsa Spanyol tiba pertama kali di Tidore dengan kapal Victoria dan Trinidad yang bertujuan untuk membeli cengkeh di pulau ini, seseorang yang mula-mula menyambut kedatangan Spanyol dan naik ke atas kapal Victoria adalah Sultan Tidore, Al-Mansur. Lebih lanjut dikatakan oleh Pigafetta bahwa Al-Mansur adalah seorang Moro. Informasi sebagaimana disampaikan oleh Pigafetta ini dapat disimpulkan bahwa Al-Mansur adalah seorang Muslim atau seorang yang beragama Islam. Kata Moro, adalah sebutan dari orang-orang Iberia (Andalusia) kepada pasukan Islam Maroko yang pernah menginvasi wilayah itu melalui Maroko (Afrika Utara) pada 19 Juli 711 yang dipimpin oleh Thariq Ibn Ziyad. Istilah Moro di Eropa, memiliki konotasi pada ajaran Islam, kerajaan Islam, dan orang Islam. Rentetan peristiwa ini merupakan bagian dari upaya Kaum Salibis Eropa untuk menaklukan Kerajaan Islam, memaksa penduduk Muslim untuk mengkonversi agama mereka ke Kristen Katolik di wilayah manapun mereka temui, termasuk Kerajaan Islam dan orang Islam di Kepulauan Maluku. Di belahan Dunia-Timur, sebutan Moro tidak hanya terdapat di Kepulauan Maluku saja, tetapi juga istilah ini terdapat di wilayah Filipina Selatan yang dikonotasikan kepada para pejuang Front Pembebasan Nasional Islam-Moro (MNLF) yang dipimpin oleh Nur Misuari. Di wilayah ini terdapat dua Kerajaan Islam, yaitu Mangindanao dan Sulu yang pada masa lalu pernah memiliki jaringan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku. Wilayah Filipina Selatan juga pernah digunakan oleh Spanyol sebagai pusat untuk mengontrol jaringan perdagangan rempah-rempah (cengkeh) di Kepulauan Maluku.
 
Namun sayangnya, impian bangsa Iberia itu telah menjadi isapan jempol belaka seiring peristiwa pada 28 Februari 1570. Perjuangan Sultan Khairun yang sesungguhnya adalah melindungi kemakmuran kerajaan di balik kebesaran ideologi. Bagi Sultan Khairun; Islam, Cengkeh, dan Kerajaan adalah satu kesatuan trilogi kerajaannya (triaspolitika-Maluku) yang sudah sejak lama membentuk karakter orang-orang Maluku seperti yang digambarkan oleh Andaya sebagai Dunia-Maluku. Dunianya orang-orang Maluku yang jauh berbeda dengan Dunia-Eropa. Dengan cengkeh, agama Islam dan Kerajaan (Kesultanan) telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat di wilayah Kepulauan Maluku yang dapat dijadikan oleh penduduk setempat sebagai ideologi dan karakter mereka hingga kini. Karena cengkeh itu pulalah, banyak anak yatim, janda dan air mata menjadi kenangan pahit di kawasan ini.
 
'''Wafatnya Sultan Khairun'''
 
Konflik Sultan Khairun dengan Portugis mencapai puncaknya ketika Raja Muda di Goa mengangkat Lopes de Masquita sebagai kapten baru benteng Sao Paolo di Ternate (sekarang Kelurahan Kastela). Sebagai seorang kapten baru dalam benteng itu, Masquita segera merancang strategi untuk bisa menyingkirkan Sultan Khairun. Mengawali rencananya, Masquita membuat suatu gerakan provokasi di Ternate dengan mengumumkan bahwa pasukan Sultan Khairun menyerbu Misi Jesuit dan orang-orang Katolik lokal di Ternate dan Jailolo, membunuh dan memaksa mereka untuk murtad dari Katolik. Sultan Khairun dengan tegas membantah provokasi dari Masquita tersebut. Untuk menangkal isu Masquita, Sultan Khairun memberi jaminan bahwa wilayahnya dinyatakan aman bagi semua orang-orang Portugis. Merasa tidak mampu menyingkirkan Sultan Khairun dengan isu yang dibuatnya itu, maka Masquita kemudian merancang sebuah skenario baru untuk melenyapkan Sultan Khairun. Untuk menyakinkan Sultan Khairun akan itikad baiknya, maka pada tanggal 26 Februari 1570, Kapten Masquita mengusulkan kepada Sultan Khairun bahwa perjanjian perdamaian yang pernah dibuat oleh mereka berdua tahun 1569 agar diperbarui kembali.
 
Tanpa merasa curiga, Sultan Khairun kemudian menerima usulan dari Masquita. Keduanya kemudian bersumpah dengan memegang kitab sucinya masing-masing. Sultan Khairun merasa yakin dengan sumpah itu karena Masquita telah bersumpah dengan memegang Kitab Injil sebagai kitab sucinya. Setelah berhasil menyakinkan Sultan Khairun akan maksud baiknya, maka Masquita segera melanjutkan langkah berikutnya untuk menyingkirkan Sultan Khairun. Untuk merayakan hasil perundingan itu Masquita mengundang Sultan Khairun dan para bobatonya menghadiri jamuan makan malam yang dilaksanakan di dalam Benteng Gamlamo. Pada tanggal 28 Februari 1570, ketika Sultan Khairun dan rombongannya tiba di depan gerbang benteng, salah seorang dari pasukan pengawal Portugis mengatakan bahwa Sultan Khairun diminta oleh Masquita untuk memasuki ruang utama benteng seorang diri, dan rombongan yang lainnya diminta untuk menunggu di depan gerbang benteng. Saat Sultan Khairun melangkah masuk seorang diri ke dalam ruang utama itulah, secara tiba-tiba Antonio Pimental, salah seorang pasukan pengawal berpangkat sersan yang juga kemenakan Masquita menusuk Sultan Khairun dengan sebilah keris berulang kali hingga Sultan terjatuh ke lantai dan meninggal dunia seketika. Sang Sultan wafat secara mengenaskan dan dibiarkan tergeletak di lantai benteng. Mayat Sultan Khairun malam itu juga dibawa dengan sebuah kapal dan ditenggelamkan di tengah laut.
 
Setelah kematian Sultan Khairun, tanpa menunggu waktu yang terlalu lama, para Bobato Dunia Kerajaan Ternate melantik Kaicili Babullah menjadi Sultan Ternate untuk menggantikan ayahnya, Sultan Khairun. Dalam pidato penobatannya, Sultan Babullah bersumpah untuk menuntut balas atas kematian ayahnya. Babullah akan berjuang hingga orang-orang Portugis meninggalkan Ternate untuk selama-lamanya. Strategi awal Sultan Babullah dalam rangka untuk mengusir orang-orang Portugis, diawali dengan cara mengepung benteng Sao Paolo secara sistematis dari tiga penjuru. Tindakan Sultan Babullah ini justru mendapat simpati dan dukungan dari seluruh kerajaan di Kepulauan Maluku. Mulai dari utara hingga di bagian selatan kepulauan ini, terutama para Gimalaha dan Sangaji, memberikan bantuan pasukan untuk ikut dalam penyerangan terhadap orang-orang Portugis dikawasan itu. Dalam pengepungan benteng itu, Sultan Babullah masih memberikan kelonggaran kepada para penghuni benteng dengan mengijinkan mereka untuk keluar dan mencari bahan makan di siang hari. Akan tetapi, ketika Portugis berupaya untuk menghubungi Malaka dan Goa untuk mengirimkan bantuan makanan dan pasukan, pengepungan kemudian diperketat kembali. Selama tiga tahun pengepungan, hampir tidak ada pelayaran kapal-kapal secara reguler, terutama kapal milik orang-orang Portugis yang masuk di perairan Kepulauan Maluku.
 
Pada penghujung tahun 1575, Sultan Babullah menerima informasi bahwa ada beberapa kapal Portugis di Peraian bagian timur Manado sedang menuju ke Ternate. Informasi ini telah menimbulkan kehawatiran Sultan Babullah kalau kapal-kapal itu akan membawa pasukan pengawal Portugis dari Malaka ataupun Goa yang akan menyerang Ternate. Sultan Babullah kemudian memerintahkan pasukannya untuk menyerang benteng Sao Paolo di Gamlamo. Namun, sebelum benteng itu diserbu oleh pasukan Sultan Babullah, kapten benteng Sao Paolo terakhir, yaitu Nuno Pareira de Lacerda menawarkan perdamaian dengan Sultan Babullah. Penawaran perdamaian yang diajukan oleh de Lacerda kepada Sultan Babullah, tetapi hanya ditanggapi oleh Babullah bahwa orang-orang Maluku kini telah bersatu untuk melawan orang-orang Portugis. Atas jawaban Sultan Babullah seperti itu membuat de Lacerda kemudian menyetujui untuk mengakhiri perang dengan Ternate dan menyerah tanpa syarat kepada Sultan Babullah. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1575. Tiga hari kemudian, sebuah kapal Portugis yang tiba di Ternate dari Malaka, diperintahkan oleh Sultan Babullah untuk mengangkut seluruh orang-orang Portugis maupun penganut Kristen Katolik lokal untuk meninggalkan Ternate menuju Ambon dan selanjutnya mereka ke Malaka.
 
Setelah pengusiran orang-orang Portugis keluar dari Ternate itu, Sultan Babullah mengirimkan sepucuk surat kepada Raja Portugis di Lisabon untuk meminta keadilan dan pertanggung-jawaban de Lacerda atas kematian ayahnya. Kepada de Lacerda yang akan meninggalkan Ternate, Sultan Babullah mengatakan bahwa ia akan memelihara benteng Sao Paolo untuk Raja Portugis, dan mengizinkan seorang kapten dengan 12 orang anggota pasukan pengawal untuk menangani kepentingan Portugis yang mendesak di Ternate. Akan tetapi, 13 orang Portugis yang tersisa di benteng Sao Paolo itu ada yang berkeinginan bergabung dengan rekan-rekan mereka untuk berlayar meninggalkan Ternate menuju Ambon. Dalam pelayaran ke Ambon itu ada sebagian diantara mereka singgah dan menetap di pulau ini, dan sebagiannya lagi meneruskan perjalanan mereka menuju Malaka. Meskipun begitu, ada beberapa orang Portugis memilih untuk tinggal dan menetap di Ternate karena di antara mereka itu ada yang menikah dengan perempuan lokal setempat. Sebagian dari mereka juga memilih untuk tinggal dan menetap di Tidore dalam rangka melanjutkan perdagangan cengkeh dengan penduduk dipulau itu. Benteng Sao Paolo di Gamlamo Ternate yang semula dibiarkan kosong itu kemudian digunakan oleh Sultan Babullah dan kemudian Sultan Said sebagai kedaton resmi mereka hingga benteng itu diambil alih dan diduduki oleh bangsa Spanyol pada tahun 1606. Sinyalemen para sejarawan Eropa mengenai Kidung Senja Portugis di Kepulauan Maluku ternyata terbukti kebenarannya. *
 
1957-1964: Fase Perjuangan Ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, terbukalah kran kebebasan bagi anak bangsa Indonesia. Kebebasan untuk menentukan bentuk negara sendiri terlepas dari bayang-bayang para penjajah, dan kebebasan untuk mengatur diri dan mensejahterakan rakyat banyak, termasuk dalam pendidikan. Setelah Indonesia Merdeka, pendidikan yang awalnya terbatas hanya di kalangan tertentu dalam masyarakat kolonial, kini mengalami perkembangan signifikan. Seiring-sejalan dengan kemerdekaan itu, geliat untuk menciptakan kebebasan dan peningkatan kualitas pendidikan juga berkembang di Maluku Utara. Di Kota Ternate misalnya, pada tahun 1955 telah berdiri SMA Negeri dan SGA, dan tahun 1956 berdiri Yayasan Pendidikan Islam yang membina SD, SMP dan SMA Islam, menyusul SMA Katolik. Seiring dengan itu juga, cikal-bakal pendirian universitas juga terlahir di Kota Ternate. Menurut Adnan Amal, salah seorang pendiri Unkhair, latar belakang berdirinya Unkhair karena perjuangan politik untuk memperjuangkan terbentuknya Provinsi Maluku Utara. Jadi, bukan semata-mata pendidikan. Itu yang penting kita ketahui. Waktu itu belum ada universitas swasta di negeri ini, apalagi universitas di ibukota kabupaten. ―Untuk di Indonesia Timur barangkali hanya Ternate.‖ Berdirinya Unkhair adalah sebagai dukungan kepada terbentuknya provinsi. Drs. H. Rivai Umar, M.Si, dalam bukunya Memoriku Dari Mahasiswa Hingga Menjadi Rektor Universitas Khairun, menulis setidaknya ada tiga tujuan utama didirikannya Unkhair: pertama, untuk memberi kesempatan kepada para lulusan SLTA yang mempunyai kualifikasi akademik yang baik dan mau melanjutkan studi ke perguruan tinggi, terutama mereka memiliki keterbatasan keuangan; kedua, mempersiapkan tenaga Sarjana Muda dan Sarjana yang mampu mengelola pendidikan, pemerintahan, dan pembangunan di Maluku Utara, dan ketiga, sebagai salah satu institusi pelengkap bagi perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara.
 
Percakapan Dr. Saiful Bahri Ruray dengan tokoh Unkhair<ref>1 Percakapan Dr. Saiful Bahri Ruray dengan H. Said Ammarie (alm), Abdul Hamid Hasan (alm), H.M. Jusuf Abdulrahman (alm), H. Adnan Amal, SH, H. Jakub Karim, H. Adam Joisangadji (alm), dan Djumati Hamid, BSc (alm). </ref> menjelaskan bahwa embrio pendirian Unkhair tercatat sejak 1957, seiring dengan awal perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara, seperti yang diungkapkan Adnan Amal dan Rivai Umar. ―Periode ini dapat dikatakan sebagai fase awal gagasan penbentukan sebuah perguruan tinggi di Maluku Utara, sebagai jawaban atas pernyataan Dr. Johanes Leimena, Wakil Perdana Menteri I pada masa Soekarno, atas kekosongan intelektual lokal Maluku Utara,‖ tulis Ruray dalam testimoninya berjudul Unkhair: Sebuah Kesaksian Sejarah di Tengah Gejolak. Pada saat itu Maluku Utara dinyatakan belum layak menjadi sebuah provinsi karena tidak ada intelektual lokal, lanjut Ruray lagi.
 
Menanggapi pernyataan Leimena, beberapa tokoh generasi Abdul Hamid Hasan dkk, kemudian berkumpul di kediaman Sultan Iskandar Muhammad Djabir Syah di kawasan Cikini Jakarta (sekarang menjadi Taman Ismail Marzuki), membicarakan rencana berdirinya Unkhair. Namun, awal gagasan ini tidak sempat terwujud karena meletusnya pemberontakan Permesta dan para pejuang yang berasal dari daerah ini seperti A.M. Kamaluddin yang popular dikenal sebagai Om Sau, Abdul Hamid Hasan, Muhammad Dano Masud, Munazer Azis, Kasim Purbaya, Abdul Wahab Kasim dan lain-lainnya dijebloskan di penjara Pulau Nusakambangan.
 
Pada bulan November 1963, berlangsung pertemuan tokoh masyarakat dengan Pemerintah Daerah Maluku Utara bertempat di Gedung DPR (sekarang ex-kantor Gubernur Malut, Jl. Pahlawan Revolusi) membahas pentingnya perguruan tinggi di Maluku Utara. Hasil pertemuan itu kemudian dituangkan dalam sebuah proposal yang secara singkat berisi pentingnya sebuah Universitas di Maluku Utara untuk memperoleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlatih, baik dan cerdas. Proposal singkat tersebut kemudian dibacakan oleh tiga orang pendiri Unkhair: Adnan Amal, Abdul Samad Latif dan Abdul Karim Safar. Pertemuan itu dihadiri oleh beberapa Muspida yang hadir: Baharuddin Lopa (Kajari Malut), Yusup Tamba (dari Kepolisian), Letkol Suwignyo (Komandan Kodim), dan menyepakati suatu hal: Unkhair akan diresmikan pada bulan Agustus tahun depan (1964).
 
―Sebelum rapat dengan DPR, diadakan diskusi dengan Bupati MS Djahir.‖ Bupati MS Djahir sangat peduli pada pendidikan. Ia awalnya adalah pendidik dan aktivis Taman Siswa sebelum terjadinya perang kemerdekaan. Dalam pembicaraan tersebut, Bupati setuju untuk didirikan Unkhair. Kemudian atas bantuan Muspida, Kepala Kejaksaan Baharuddin Lopa, Komandan Kodim Suwignyo, dan Kepala Kepolisian Mursaha. Atas bantuan mereka diadakanlah rapat di ruang sidang DPR (waktu itu DPR belum punya gedung) yang dihadiri sekitar 40 orang dari berbagai tokoh masyarakat. ―Semua yang hadir adalah pejuang-pejuang provinsi.‖
 
Dalam pertemuan itu, Adnan Amal berbicara lebih awal sebagai konseptor pembentukan Unkhair. ―Bahwa Maluku Utara kekurangan kader. Jadi, dalam rangka perjuangan politik untuk mendirikan provinsi, kita harus lebih dulu memiliki kader-kader. Waktu kepala-kepala jawatan adalah orang luar, tidak ada dari pribumi lokal. Kalau provinsi Maluku Utara terbentuk, maka membutuhkan banyak sekali tenaga yang akan memimpin provinsi ini.‖ Masalah waktu itu, rata-rata ―buta‖ (tidak berkuliah) semua, kecuali Baharuddin Lopa yang pernah belajar di Universitas Hasanuddin, Makassar. Setelah Amal selesai berbicara, AK Safar (Pak Dul) menyokong ide tersebut, dan Idrus Hasan juga mendukung gagasan tersebut bahwa ―sudah pantas Malut punya universitas.‖ Waktu itu nama universitas belum ada. Nama Universitas Khairun dibuat kemudian. Pada prinsipnya semua yang hadir dalam forum tersebut setuju dibentuknya universitas. Ketuanya MS Djahir, Adnan Amal sebagai sekretaris, dan pengurus lengkapnya berasal dari Muspida sebagai panitia pembentukan universitas. AK. Safar dan Idrus Hasan pun membantu, sedangkan dr. Tan Tua sebagai badan pemeriksa Yayasan Pembina Universitas Khairun. ASA Latif juga hadir waktu itu. Setelah rapat, Adnan Amal mengirim telegram ke Profesor Yasin di Manado. ―Saya bilang, Pak Yasin Anda sudah dimasukkan sebagai salah seorang pendiri universitas. Harap hubungi Unsrat untuk mencari tenaga-tenaga yang bisa membantu Unkhair ini, sebab tenaga lokal di sini belum cukup.‖ Tenaga lokal saat itu ada Adnan Amal, A Hau (orang Cina), Idrus Hasan, AK Safar, dr. Saleh.
 
Setelah itu, Adnan Amal mendapat tugas dari MS Djahir untuk bekerja menyiapkan bangku-bangku kuliah. ―Saya hubungi tukang kayu kakak-adek untuk menyiapkan dua ratus kursi kuliah yang pakai tangan agak lebar sehingga mahasiswa bisa menulis,‖ kata Adnan Amal. Kemudian, dibuat juga bendera tiap fakultas. Waktu itu, Adnan Amal, Idrus Hasan dan AK Safar rapat untuk memikirkan fakultas apa saja yang akan didirikan. Kemudian disepakati pembentukan fakultas IKIP (dekannya Idrus Hasan), Hukum (dekannya Ju Hau), dan Ekonomi (dekannya AK Safar).
 
Universitas ini dipimpin oleh suatu presidium yang terdiri dari Ketua Pengadilan Negeri (Rompis), Kepala Kejaksaaan (Baharuddin Lopa), Komandan Kodim (Suwignyo), dan Kepala Kepolisian (Mursaha). ―Atas anjuran Lopa, ia sarankan agar semua pegawai negeri yang punya ijazah SMA agar daftar kuliah, sebab jika dihitung-hitung waktu itu masih sedikit yang kuliah.‖ Bahkan semua camat juga disuruh kuliah, dan Bupati memberikan kemudahan waktu dan fasilitas untuk berkuliah. Di awal perkuliahan ada sekitar dua ratus orang yang menjadi mahasiswa. *
 
'''1964-1978: Fase Pendirian dan Tantangan'''
 
Dr. Saiful Bahri Ruray, dalam catatannya menulis bahwa gagasan pendirian sebuah universitas di Kabupaten Maluku Utara sempat mati suri hingga kemudian dibangkitkan pada periode kedua, tahun 1964. Inisiatif ini dibangkitkan kembali oleh dr. Saleh Sahib, M. Adnan Amal, Baharuddin Lopa, A.H. Drakel, dkk. Periode ini juga merupakan fase kedua perjuangan mewujudkan Provinsi Maluku Utara yang sempat dilaksanakan Mubesra (Musyawarah Besar Rakyat Maluku Utara) diketuai oleh A.R.Nachrawy dan sebagai sekretaris adalah M. Adnan Amal. Gerakan ini turut dimotori oleh Dakomib (Dana Kopra Maluku.Irian Barat) dan Koperasi Mutibar (Maluku Utara.Irian Barat) sekaligus sebagai dukungan terhadap upaya Presiden Soekarno mengembalikan Provinsi Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi dengan mencetuskan Trikora pada 1961 di Yogyakarta.
 
Para petani kelapa melalui Dakomib ini, berhasil mengumpulkan 1000 ton kopra untuk dana revolusi. Penyerahan sumbangan kepada Bung Karno ini diwakili oleh delegasi Maluku Utara dipimpin Letda TNI Jacoub Mansur, BA, Djumati Hamid dkk. \Dari keterangan H. Jakub Karim, pengurus aktif Dakomib diperoleh data bahwa Pulau Morotai dan Loloda menyumbangkan 200 ton kopra, wilayah Halmahera lainnya 300 ton kopra, sedangkan Kepulauan Sula 500 ton kopra,. tulis Ruray. Peristiwa ini menunjukkan tingginya derajat keikhlasan dan pengorbanan rakyat Maluku Utara bagi perjuangan revolusi.
 
Unkhair pada akhirnya berdiri dengan didukung penuh dari TNI dan POLRI sebagaimana dukungan mereka terhadap perjuangan Provinsi Maluku Utara. Tercatat Kombes Mursaha (Kapolres Maluku Utara) dan Kolonel Suwignyo (Dandim 1501 Maluku Utara) termasuk tokoh yang berperan dalam hal ini. Kolonel Suwignyo didaulat sebagai Ketua Presidium Unkhair pertama kalinya. Universitas ini pun sempat dipertanyakan karena belum memiliki rekomendasi dukungan guru besar.
 
Setelah melewati perjuangan berat akhirnya pada 15 Agustus 1964 Unkhair didirikan dengan dan telah memulai kegiatan belajar-mengajar. Status Unkhair secara legal-formal terdaftar satu tahun kemudian (1965) sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Nomor 100/B/SWT/1965 tanggal 15 Februari 1965.
 
Para tokoh pendiri Unkhair adalah sebagai berikut:
 
1. M.S. Djahir (Bupati Maluku Utara)
 
2. Baharuddin Lopa (Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Utara)
 
3. Adnan Amal (Hakim Pengadilan Negeri Ternate)
 
4. Mursaha (Kepala Kepolisian Resort Maluku Utara)
 
5. Yasin Muhammad (Dosen IKIP Manado)
 
6. A.K. Safar (Kepala SMA Negeri Ternate)
 
7. Abdul Samad Abdul Latif (Kepala SGA Negeri Ternate)
 
8. Idrus Hasan (mahasiswa IKIP Manado)
 
9. Ibrahim Abbas (mahasiswa IKIP Manado)
 
10. Said Ammarie (Kepala DAKOMIB Maluku Utara)
 
11. Jasin Bopeng (KPS Ternate)
 
12. Karel Tan (Kepala Dinas Kesehatan Maluku Utara)
 
13. Letnan Kolonel Suwignyo (Komandan Kodim 1501 Maluku Utara tahun 1964)
 
14. Muhammad Hanafi (Pegawai Bagian Umum Kantor Bupati Maluku Utara)
 
15. Muhammad Nasir (Pegawai Bagian Umum Kantor Bupati Maluku Utara).
 
Pada awal pendiriannya, Unkhair merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang bermitra dengan Universitas Sam Ratulangi di Manado. Selanjutnya, ketika masuk dalam wilayah kerja Kopertis wilayah IX di Ujung Pandang, maka mitra kerja Unkhair adalah Universitas Hasanuddin dan IKIP Ujung Pandang. Setelah terbentuk Kopertis XII Maluku-Irian Jaya, Unkhair bermitra dengan Universitas Pattimura di Ambon. Sejak awal berdiri, Unkhair berperan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pembangunan daerah di Maluku Utara, serta kemitraan dengan berbagai lembaga lainnya. Peningkatan kualitas SDM menjadi hal penting yang diperjuangkan ketika itu, bahkan hingga saat ini dan ke depannya.
 
Atas upaya H. Said Ammarie, seorang tokoh Dakomib, yang melakukan lobi dengan Prof. dr. RD. Kandouw, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado kelahiran Pulau Bacan, agar bersedia menjadi guru besar yang menjamin berdirinya Unkhair. Nama Prof. Kandouw sekarang diabadikan sebagai nama RSUD di Manado. Pada fase kedua ini Unkhair telah melahirkan sarjana muda pada FH dan FIK dengan tim penguji dari Universitas Sam Ratulangi Manado sebagai wujud dukungan.
 
Di masa-masa awal, Unkhair menyelenggarakan kuliah di ruang kelas yang berpindah-pindah dari gedung pemerintah Kabupaten Maluku Utara hingga gedung sekolah SMA Islam (SMAI) Ternate. Dapat dikatakan bahwa dengan segala keterbatasannya saat itu, sesungguhnya Unkhair adalah sebuah „icon‟ perjuangan Maluku Utara, mahasiswanya saat itu adalah kebanggaan Maluku Utara sebagai cikal bakal sumber daya manusia lokal.
 
'''Tiga Aspek Pendirian'''
 
Menurut Adnan Amal, ada empat kekuatan sehingga Unkhair dapat didirikan, yaitu: kesabaran, keikhlasan, kepercayaan dan ketulusan hati. Pendirian tersebut bermula dari idealisme, bukan karena uang. Akhirnya, bermula dari ketulusan hati dan idealisme itulah Unkhair berdiri dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pendirian Unkhair menurut Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, tidak hanya mendirikan, akan tetapi juga harus dibangkitkan dan dimajukan untuk hari ini dan akan datang.
 
Di awal-awal pendirian itu, Unkhair memang sempat tidak mendapatkan respon dari Provinsi Maluku, karena ada kekhawatiran Kabupaten Maluku Utara yang beribukota di Ternate akan berpisah dengan Provinsi Maluku yang beribukota di Ambon. Akan tetapi, empat kekuatan tadi, menurut Adnan Amal, menjadi penguat dan inspirasi untuk tetap berjuang walau dengan sumber daya yang terbatas mendirikan universitas dan percepatan terbentuknya Provinsi Maluku Utara. Dalam konteks ini, maka ide pendirian Provinsi Maluku Utara telah lama digaungkan, namun baru terealisasi pada tahun 1999.
 
Setidaknya, ada tiga aspek yang melatarbelakangi terbentuknya Unkhair.
 
'''1. Aspek Ekonomi'''
 
Untuk memberikan kesempatan kepada para lulusan SMA dan sederajat yang secara ekonomi tidak dapat melanjutkan pendidikan ke luar Kota Ternate, karena terbatasnya pendapatan orang tua. Menurut Said Ammarie, Kepala Dakomib (Dana Kopra Maluku-Irian Barat) Kabupaten Maluku Utara, tujuan berdirinya Unkhair adalah ―agar masyarakat yang memiliki pendapatan rendah (ekonomi lemah) yang berkeinginan besar untuk menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi bisa terwujud. Hal ini diinginkan agar tidak terjadi pengangguran yang berawal dari masyarakat berpendapatan minim (ekonomi lemah). Karena salah satu faktor terjadinya penganguran adalah para orang tua yang memiliki pendapatan ekonomi, minim yang tidak bisa melanjutkan studi anaknya, untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena harus keluar dari Maluku Utara.‖
 
'''2. Aspek Politik'''
 
Mendukung masyarakat dan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. Kebutuhan universitas dirasakan pada akhir tahun 1950-an ketika berbagai elemen masyarakat Maluku Utara tercetus ide untuk memekarkan diri dari Provinsi Maluku yang beribukota di Ambon. ―Unkhair didirikan bukan semata-mata pendidikan, tapi politik untuk pendirian provinsi Maluku Utara,‖ kata Adnan Amal, sebagai dukungan terbentuknya provinsi.
 
'''3. Aspek Sumber daya Manusia (SDM)'''
 
Menurut Adnan Amal, Unkhair terbentuk karena ingin mempersiapkan lulusan perguruan tinggi yang mampu mengelola pembangunan, dan pemerintahan dalam jumlah cukup dan kualitas yang memadai. Untuk mempersiapkan terbentuknya provinsi, maka kader-kader (atau SDM) mumpuni diperlukan untuk itu. Dalam kondisi waktu itu yang cuma tamatan SMA, maka dibutuhkanlah pendirian universitas.
 
'''Perihal Nama "Khairun"'''
 
Menurut Adnan Amal, di tahun 1963 ketika ide pendirian kampus direncanakan, muncul beberapa nama. Namun forum tersebut memilih nama Universitas Khairun yang diambil dari salah satu nama Sultan di Kesultanan Ternate. Pemilihan nama Khairun yang merupakan usulan Adnan Amal itu, berdasarkan pada beberapa hal: (1) Khairun adalah sultan yang memiliki intelektualitas tinggi. Ia pernah belajar di Goa dan bisa berkomunikasi dalam bahasa Portugis dan Spanyol, (2) Khairun secara bahasa berarti ‗baik‘ dalam Bahasa Arab. Ini menjadi inspirasi kebaikan bagi masyarakat dan universitas ke depannya. Pemilihan nama Universitas Khairun (tanpa kata ‗sultan‘) memungkinkan karena di beberapa nama kampus juga ada yang menggunakan kata ‗sultan‘, juga ada yang tidak, seperti Universitas Hasanuddin (tanpa kata ‗sultan‘).
 
'''Periode Presidium (1964-1977)'''
 
Pada periode ini, sebagai perguruan tinggi baru, Unkhair menjalin bermitra dengan Universitas Sam Ratulangi di Manado. Selanjutnya ketika Unkhair masuk dalam wilayah kerja Kopertis wilayah IX di Ujung Pandang, maka mitra kerjanya pun berpindah ke Universitas Hasanuddin dan IKIP Ujung Pandang (kini: Universitas Negeri Makassar), dan ketika terbentuk Kopertis wilayah XII Maluku-Irian Jaya, Unkhair bermitra dengan Universitas Pattimura di Ambon. Kemitraan ini berguna bagi Unkhair dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kurikulum konsorsium nasional.
 
Tahun 1964 adalah tahun bersejarah pendirian Unkhair. Ketika diresmikan secara formal pada 15 Agustus 1964 di Stadion Ternate jam 10.00 WIT, Prof. Yasin Muhammad dari Universitas Sam Ratulangi menyampaikan orasi betapa pentingnya sebuah universitas di Maluku Utara sehingga ia dengan menumpang kapal Nosemo (Kapal Pelayaran Maluku-Sulawesi) menyempatkan hadir dalam peresmian tersebut. Satu hari telah peresmian itu, 16 Agustus 1964, proses perkuliahan secara formal pun dimulai. Adnan Amal menyebut hari pertama perkuliahan formal itu dengan ibarat ‖bayi yang baru dilahirkan yang akan mencari jati dirinya.‖ Seiring berjalannya waktu, Unkhair pun membuka berbagai fakultas.
 
Karena belum memiliki gedung tetap, maka perkuliahan di masa-masa awal itu diadakan menumpang di berbagai tempat. Pernah diadakan di gedung SMEA (Takoma) dan gedung DPR (sekarang ex-kantor Gubernur). Memulai perkuliahan formal pada 16 Agustus 1964 itu, maka satu tahun selanjutnya Unkhair melakukan proses penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 1965-1966.
 
Waktu penerimaan mahasiswa di tahun 1965, Unkhair tidak memungut biaya pendaftaran. Selain bertujuan agar mempercepat lulusan SMA dan sederajat menempuh pendidikan tinggi, ini juga bertujuan agar kepercayaan Kopertis bahwa Unkhair bersungguh-sungguh benar-benar terbukti. Jika dipungut biaya, dalam kondisi masyarakat yang tidak mampu, bisa jadi akan menyulitkan orang tua calon mahasiswa.
 
Dengan mudahnya masuk Unkhair itu, setidaknya di mata Kopertis, Unkhair (yang baru dibuka itu) serius menjalankan proses perkuliahan, dan itu menjadi bahan evaluasi positif bagi Unkhair ke depannya.
 
Ketika sudah berjalan proses perkuliahan, Unkhair merasa perlu mengembangkan fakultas eksakta. Maka, Unkhair mengirimkan Adnan Amal, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris sekaligus Pembantu Rektor II ke kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menjalin kerjasama dan dukungan dalam pendirian fakultas eksakta di Unkhair. Alhasil, pertemuan tersebut menjadi cikal-bakal dibukanya Fakultas Pertanian.
 
Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Unkhair terdaftar sebanyak 250 orang yang tersebar di tiga fakultas. Menurut Adnan Amal (2011), angka 250 orang itu belum terlalu banyak karena waktu itu SMA dan sederajat di kota Ternate masih sedikit, serta belum adanya penambahan fakultas dan jurusan. Dua tahun kemudian, perkembangan Unkhair mulai terlihat dengan dibukanya satu fakultas lagi, yaitu Fakultas Pertanian. Dibukanya fakultas tersebut bertujuan agar Unkhair lebih maju-berkembang yang mengarah pada prospek ilmu pasti.
 
Jumlah Mahasiswa Unkhair tahun 1964-1977
{| class="wikitable"
!'''Tahun Akademik'''
!'''Jumlah Mahasiswa'''
!'''Total'''
|-
|1964-1965
1966-1967
 
1968-1969
 
1970-1971
 
1972-1973
 
1974-1975
 
1976-1977
|250
257
 
360
 
350
 
370
 
250
 
200
|250
257
 
360
 
350
 
370
 
250
 
200
|}
Sumber: Adnan Amal
 
Tahun 1966-1967 Fakultas Pertanian dibuka, kemudian diikuti dengan penerimaan mahasiswa tahun Akademik 1968-1969, jumlah mahasiswa makin meningkat menjadi 360 mahasiswa. Peningkatan ini disebabkan sudah terjadi proses penerimaan dari beberapa SMA dan sederajat di Ternate dan di luar Ternate, seperti SMA I Ternate, SMA I Sanana, SMA I Tobelo, dan SMA I Labuha. Pada tahun 1968-1973 perkembangan mahasiswa semakin tinggi disebabkan prospek Unkhair semakin efektif dengan berbagai sosialisasi seperti membuka jaringan informasi ke seluruh daerah Kabupaten Maluku Utara baik melalui radio maupun instruksi langsung dari Baharuddin Lopa, SH (Kajari Malut waktu itu) yang mewakili Muspida menghimbau agar pegawai dan guru-guru yang masih berstatus penddidikan SMA dan sederajat melanjutkan kuliah di Unkhair. Dari perjuangan inilah, akhirnya Unkhair terus berkembang dan di tahun 1973 jumlah mahasiswa yang masuk bertambah menjadi 370.
 
Perkembangan tersebut tidak hanya terjadi di tingkat mahasiswa, akan tetapi juga dosen. Perkembangan dosen semakin meningkat. Waktu itu, dosen Unkhair terdiri dari dosen biasa, yang meliputi dosen tetap yayasan berbadan hukum dan dosen Kopertis yang di perbantukan, dosen luar biasa, dan dosen tamu seperti Prof. Kandow dan Prof. Yasin Muhammad dari Manado yang memberi kuliah di Unkhair. Di zaman itu, gaji di Unkhair juga masih sulit, namun dengan semangat ‗pahlawan tanpa tanda jasa‘, akhirnya itu bisa diatasi dengan saling-membantu sama lain.
 
Jumlah Dosen Unkhair tahun 1964-1977
{| class="wikitable"
!No
!Nama Dosen
!Fakultas
!Gaji/Bln
|-
|1.
2.
 
3.
 
4.
 
5.
 
6.
 
7.
 
8.
 
9.
|Adnan Amal
Dul Safar
 
Uchu Hau
 
Abdul Samad Latif
 
Drs. Mursaha
 
Baharuddin Lopa SH
 
Ibrahim Abas
 
Idrus Hasan
 
AK Safar
|Hukum
IKIP
 
Hukum
 
IKIP
 
Pancasila Ikip
 
Hukum
 
IKIP
 
IKIP
 
IKIP/Ekonomi
|200 Rupiah
200 Rupiah
 
200 Rupiah
 
200 Rupiah
 
200 Rupiah
 
200 Rupiah
 
200 Rupiah
 
200 Rupiah
 
200 Rupiah
|}
 
Jumlah Dosen Terbang (Guru Besar)
 
yang diperbantukan ke Unkhair tahun 1964-1977
{| class="wikitable"
!No
!Nama Dosen
!Fakultas
!Universitas
!Gaji/Bln
|-
|1.
2.
 
3.
 
4.
|Prof. Kandow
Prof. Sutan Muhammad Syah
 
Prof. Marks
 
Prof. Yasin Muhammad
|Ekonomi
Hukum
 
Psikologi
 
IKIP
|Unsrat Manado
Unima Manado
 
Makassar
 
Unsrat Manado
|300 Rupiah
300 Rupiah
 
300 Rupiah
 
300 Rupiah
|}
Sumber: Adnan Amal
 
Dalam perkembangannya, Periode Presidium (1974-1977) mengalami kevakuman, salah satunya karena pejabat presidium berpindah tugas dari Ternate. Jurusan Pertanian akhirnya ditutup, dan ini mengakibatkan pasang-surut bagi Unkhair yang berimplikasi pada penurunnya peminat Unkhair ketika itu. Pada tahun 1972, Unkhair mengalami masa-masa sulit, atau yang diistilahkan sebagai ‗kemacetan akademik‘, namun sebagaimana macet di jalan raya—tak ada macet permanen, selama ‗pengendara‘ tetap menjalankan mesinnya. Akhirnya, kemacetan itu berhasil diatasi dengan pengaktifan kembali proses akademik pada tahun-tahun berikutnya.
 
'''Berdirinya Yayasan Pembina Pendidikan Khairun (YPPKH)'''
 
Sebagai PTS, Unkhair berada di bawah yayasan. Sejak beroperasi secara formal pada 1964, akte Yayasan Unkhair telah mengalami perubahan sebanyak lima kali, namun perubahan-perubahan tersebut tidak mengakibatkan perubahan pendidikan di lingkungan Unkhair. Perubahan akte tersebut, sebagai dikutip dari Proposal Penegerian Unkhair, adalah sebagai berikut:
 
1. Akte Residen Muskita nomor 2 tahun 1964
 
2. Akte perubahan 64 tahun 1964
 
3. Akte perubahan Hengki Zougira di Ternate, 31 Oktober 1977
 
4. Akte perubahan dengan nomor 66 tahun 1984
 
5. Akte perubahan Hengki Zougira di Ternate, tanggal 10 Agustus 1989 nomor 45
 
6. Akte Faruk Alwi di Ternate, tanggal 30 juni 1998 nomor 16
 
Dalam Akte Residen Muskita nomor 2 tahun 1964, para Pendiri Yayasan Pembina Pendidikan Khairun tercatat sebagai berikut:
 
1. Sultan Muhammad Djabir Syah
 
2. M. S. Djahir
 
3. Baharuddin Lopa, SH.
 
4. Adnan Amal, S.H
 
5. Jakub Mansur, BA
 
6. Drs. N.A.K. Djafar
 
7. Said Ammarie
 
8. Abdul Samad Abdul Latif, BA
 
9. Drs. A. K. Djafar
 
10. A. R. Bachmid
 
11. Usman Djama
 
12. Nurdin Iskandar Alam
 
13. Abdul Kadir Ahmad
 
14. Muhammad Hanafi
 
15. Drs. M. Zen Simatahu
 
16. Kolonel (Purn) Soewignyo
 
Sedangkan Badan Pengurus Yayasan Pembina Pendidikan Khairun sesuai Akte Residen Muskita nomor 2 tahun 1964 adalah sebagai berikut:
 
1. Sultan Muhammad Djabir Syah (Pegawai Tinggi Depdagri 1964)
 
2. M.S. Djahir (Bupati Maluku Utara)
 
3. Baharuddin Lopa (Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Utara),
 
4. Adnan Amal (Hakim Pengadilan Negeri Ternate)
 
5. A.K. Safar (Kepala SMA Negeri Ternate)
 
6. Soewignyo
 
7. A. K. Achmad
 
8. Drs. M Djen Simatahu
 
9. Muhammad Hanafi.
 
Setelah akte pertama ini terbit, kemudian terjadi perubahan akte kedua di tahun yang sama (1964). Pada tahun 1977, akte kembali diubah dengan susunan Badan Pengurus sebagai berikut:
 
1. A. R. Nada : Ketua
 
2. Drs. N. A. K. Djafar : Wakil ketua
 
3. Ibrahim Saleh : Sekretaris
 
4. Ibrahim Konoras : Bendahara
 
Pada tahun 1984 diadakan pula Perubahan Akte dengan nomor 66 dengan susunan Badan Pengurus sebagai berikut:
 
1. A. S. Abdul Latif : Ketua
 
2. Drs N. A. K. Djafar : Wakil ketua
 
3. Drs. Abdullah Abubakar : Sekrertaris
 
4. Drs. Abdullah Do Umar : Bendahara
 
Di masa-masa awal, hanya ada tiga fakultas di lingkungan Unkhair, yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pertanian. Selanjutnya pada 1977, beberapa jurusan (Civic Hukum, Ilmu pasti, dan Bahasa Indonesia) dalam FKIP. Maka di tahun 1977 itu, Unkhair telah memiliki tiga fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). FKIP kemudian dikhususkan lagi dalam beberapa jurusan dengan program sarjana muda, yaitu:
 
1. Jurusan Ilmu Pendidikan
 
2. Jurusan Bahasa Indonesia
 
3. Jurusan Bahasa Inggris
 
4. Jurusan Ilmu Pasti
 
5. Jurusan Civic Hukum
 
6. Jurusan Ekonomi.
 
Pada tahun 1984 terjadi perubahan akte lagi, dan terbit Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 22 Mei 1986 Nomor 392/0/1986 dengan perubahan program studi di lingkungan Unkhair sebagai berikut:
 
1. Fakultas Hukum dengan jurusan Keperdataan dan Kepidanaan (jenjang S1)
 
2. Fakultas Ekonomi dengan jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dengan (jenjang S1)
 
3. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan:
 
- Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan (jenjang S1)
 
- Jurusan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (jenjang S1)
 
- Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (jenjang S1)
 
- Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (jenjang DIII)
 
- Jurusan Pendidikan Matematika (jenjang DIII).
 
Pada tahun 1989, terjadi perubahan akta yayasan dengan susunan Badan Pengurus sebagai berikut:
 
1. Abdul Samad Abdul Latif : Ketua
 
2. Drs. A. B. Andili : Wakil Ketua
 
3. Drs. Jusuf Abdulrahman : Wakil Ketua
 
4. Drs. Syarifuddin DA Mustafa : Wakil Ketua
 
5. Drs. Jusuf Abaiyo : Wakil Ketua
 
6. Drs. Abdullah Abubakar : Sekretaris
 
7. Drs. Abdullah Do Umar : Bendahara
 
Pada tahun 1991, sesuai dengan SK Mendikbud No.0382/0/1991 tanggal 27 Juni 1991, ditambah dua Program Studi di lingkungan Unkhair, yaitu:
 
1. Program studi Pendidikan Biologi (jenjang S1)
 
2. Program studi Pendidikan Fisika (jenjang S1).
 
Pada tahun 1992, sesuai dengan SK Mendikbud Nomor 0174/0/1992 tanggal 28 Maret 1992, terjadi pula perubahan program pendidikan dari DIII ke S1 untuk Program Studi Pendidikan Matematika dan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Di tahun 1992 itu juga, Fakultas Ekonomi menambah satu jurusan, yaitu Jurusan Manajemen Perusahaan sesuai SK Dirjen DIKTI Nomor. 399/Dikti/Kep/1992 tanggal 19 Aggustus 1992 dan pada tahun yang sama itu juga dibuka juga Fakultas Pertanian dengan Jurusan Budidaya Pertanian dan Manejemen Sumberdaya Perikanan sesuai SK Dirjen Dikti Nomor. 417/Dikti/Kep/1992 tanggal 26 Agustus 1992.
 
Dalam fase ini, terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Satu persatu program studi pun berdiri. Pada tahun 1993, sesuai dengan SK Dirjen Dikti Nomor 51/Dikti/Kep/1993 tanggal 29 Januari 1993, kembali ditetapkan dalam status TERDAFTAR untuk beberapa fakultas sebagai berikut:
 
1. Fakultas Hukum Program Studi Hukum Keperdataan dan Program Studi Hukum kepidanaan.
 
2. Fakultas Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan.
 
3. Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial Program Studi PMP-KN, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
 
Terjadinya perubahan akte selama beberapa kali itu merupakan bagian dari dinamika perkembangan di lingkungan Unkhair. Dinamika itu terlihat dari berkembangnya program studi dan terjadinya perubahan susunan pengurus Yayasan Pembina Pendidikan Khairun. Tugas yayasan Unkhair, sebagaimana dikutip dari Statuta Unkhair 1993, adalah sebagai berikut:
 
1. Membuat/menentukan kebijaksanaan lembaga.
 
2. Menetapkan segenap pengembangan fakultas atau program pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan daerah sesudah mendapatkan persetujuan menteri /Dirjen Dikti.
 
3. Memilih dan mengangkat Rektor atas usulan senat Unkhair dengan memperhatikan ketentuan lain yang berlaku dalam lingkungan Unkhair.
 
4. Mengesahkan usulan Rektor Unkhair tentang perencanaan anggaran, tenaga dan sarana untuk setiap tahun anggaran.
 
5. Menetapkan personalia dan struktur organisasi Unkhair atas usul Rektor dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 
6. Mengusahakan bantuan dari pihak luar.
 
7. Mengangkat tenaga edukatif tetap, tenaga administrasi yang di perlukan oleh Unkhair atau usul Rektor.
 
8. Menetapkan ketentuan gaji dan keuangan tenaga tetap Yayasan dengan memperhatikan usul Rektor.
 
Selain itu, dalam pembinaannya terhadap Unkhair Yayasan Pembina melakukan usaha-usaha sebagai berikut:
 
1. Mengusahakan bantuan dalam dan luar negeri.
 
2. Mengusahakan lahan kampus, bangunan/ruang perkuliahan serta sarana dan prasarana lainnya.
 
3. Menyelengarahkan pendidikan mulai dari tingkat dasar, tingkat menegah dan pendidikan tinggi.
 
4. Usaha-usaha lain seperti perkebunan, koperasi dan perikanan.
 
Di tahun 1998, akte yayasan kembali diubah sejak tanggal 30 juli 1998. Susunan Badan Pengurus Yayasan adalah sebagai berikut:
 
Ketua : Drs. H. M. Jusuf Abdulrahman
 
Wakil Ketua : Drs. H. Abdul Bahar Andili
 
Wakil ketua : Drs. H. Sjarifudin Do Ahmad Mustafa
 
Sekretaris : Drs. Abdullah Abubakar
 
Wakil sekretaris : Abdul Hamid Hasan
 
Bendahara : Abdullah Do Umar
 
Wakil Bendahara : Hasnah Taher
 
'''Masa Kritis Yayasan'''
 
Pada tahun 1974-1977, Yayasan Unkhair mengalami masa-masa kritis. Di tahun ini H. Jusuf Abdulrahman diperhadapkan pada pilihan-pilihan. Pada posisi beliau sebagai PNS pada waktu itu harus mempertaruhkan diri ke Kopertis VII (waktu itu) agar Yayasan Unkhair tidak ditutup. Untuk mempertahankan Unkhair, maka harus ada tenaga yang mengorbankan diri untuk membina dan tetap mempertahankan eksistensi Yayasan Unkhair. Sebab, para tenaga yang mengabdi pada waktu itu, tidak lagi mau melaksanakan tugas pengajaran karena tidak ada uang untuk pembiayaan.
 
Prinsipnya pada fase ini Yayasan Unkhair menghadapi masa sedih, karena mahasiswa juga ikut mencari uang guna memberikan gaji para dosennya. Dengan berbagai upaya tersebut pada akhirnya memberikan secercah harapan tentang eksistensi Yayasan Unkhair yang sudah diambang tutup. Upaya ini dilakukan dengan begitu kuat saat itu, adalah merupakan konsekuensi dari cukup tegasnya aturan yang diberlakukan, yakni jika sebuah daerah yang telah membuka universitas swasta maupun negeri dan kemudian ditutup maka sampai kapanpun daerah tersebut tidak akan bisa mendirikan lagi sebuah universitas. Inilah inti kekhawatiran para pendiri Yayasan Unkhair pada waktu.
 
Di atas dasar semangat dan dalam kekhawatiran mendalam tersebut Unkhair mulai menapaki jalan untuk menunjukkan eksistensinya di tengah berbagai keterbatasan yang dimiliki. Sebagai langkah konkrit untuk mendukung proses pembelajaran dan aktivitas Yayasan Unkhair pada waktu itu, maka pembiayaan dilakukan oleh Muspida untuk pertama kalinya, sebab Muspida waktu itu adalah dewan penyantun, presidium universitas, dan juga menjadi rektor. Di masa-masa sulit itu, Yayasan unkhair mulai menunjukkan kiprahnya dengan terus bergerak ke arah yang perlahan mulai membaik. *{{0}}'''1978-1998: Fase Kebangkitan'''
 
'''Periode Rektor Abdul Samad Abdul Latif, BA (1977-1980)'''
 
Seiring dengan perubahan kepemimpinan Unkhair dari presidium ke Rektor, maka terjadi beberapa penyesuaian. Abdul Samad Abdul Latif (disingkat: ASA. Latif) menjadi Rektor pertama pada periode 1977-198. Dalam periode ini, Unkhair mengalami perubahan pengembangan sesuai dengan visi dan misi, namun dalam perkembangannya sistem yang diterapkan masih terfokus pada program periode presidium, sebab pada masa kepemimpinan Rektor ASA Latif merupakan suatu periode lanjutan dari periode sebelumnya.
 
Di tahun 1977, masa kepemimpinan Rektor ASA Latif, terjadi perubahan akta dengan nomor 66 Tahun 1977. Unkhair mencoba memperbaki manajemen keuangan, peningkatan jurusan dan penambahan jumlah mahasiswa. Saat itu, secara internal Unkhair sedang menghadapi masalah-masalah ke dalam yang semua itu membuat Unkhair mengalami krisis yang sangat berdampak buruk dan hampir ditutup yang disebabkan tidak ada dosen yang secara akademis, tidak jelas pembiayaan honor sebesar Rp.5000 perbulan. ―Mahasiswa menurun jumlahnya karena kurang ada minat mahasiswa untuk masuk, ditambah dengan tidak adanya kampus tetap, programnya baru sarjana muda,‖ kata Fachri Ammarie.
 
Pada tahun 1978, Unkhair mengalami pasang surut dan dinyatakan collaps, artinya dihentikan oleh Kopertis Makassar. Pada masa kevakuman (hampir ditutup tetapi tidak jadi ditutup) terdengar kabarnya oleh salah satu pendiri Unkhair Baharuddin Lopa SH. Lopa segera menghubungi panitia yang didatangkan dari Kopertis yaitu Hi Ridwan Saleh Matayang dan Sekretarisnya Kamaludin Saleh, kordinator Kopertis Maluku, Sulawesi dan Irian Jaya. Untuk memperbaiki keadaan pada saat itu bersama-sama ingin disampaikan beberapa kata yang isinya ‖tentang betapa perlu perguruan tinggi di Maluku Utara yang tidak boleh ditutup hal ini dikarenakan kalau ditutup bagaimana dengan orang tua yang tidak mampuh menyekolahkan anaknya keluar di Pulau Jawa.‖ Dari hasil pembicaran tersebut kemudian dipertimbangkan, dan Unkhair segera membuat laporan lanjutan dan memperbaikinya. ―Dalam masa vakum itu Unkhair tidak membuat laporan tiga bulan sampai enam bulan,‖ kata Dr. Gufran Ali Ibrahim.
 
Dari hasil pembuatan laporan tersebut kemudian terlepaslah masa kevakuman tersebut. Kemudian Unkhair mulai memperbaiki masalah-masalah yang terjadi. Disamping itu juga walaupun masa kevakumannya sudah selesai tetapi belum selesai betul jika di contohkan seperti orang sakit yang baru sembuh tetapi masih membutuhkan pengobatan lanjutan. Akhirnya Unkhair mulai bangkit kembali dengan mengantikan Rektor lama kepada Rektor baru dr. Saleh Sahib dan periode Drs. HM. Jusuf Abdulrahman.
 
'''Periode Rektor dr. Saleh Sahib, MPH (1980-1983)'''
 
Dr. Rivai Umar, M.Si dalam bukunya Memoriku, menulis bahwa akibat terbatasnya akumulasi anggaran yang bersumber dari masyarakat, mahasiswa, dan pemerintah maka pihak Rektor maupun Yayasan pada dua kali periode kepemimpinan sebelumnya (pada masa kepemimpinan ASA Latif tahun 1977-1980 dan dr. Saleh Shahib, MPH tahun 1980-1983) belum bisa membangun kampus kecuali dalam proses pembebasan dan penyediaan lahan untuk pembangunan Kampus I di Kelurahan Akehuda.
 
Dengan hambatan akumulasi pembiayaan seperti itulah maka pihak Yayasan tak sanggup untuk mempercepat penyediaan fasilitas pendidikan sesuai standar yang diperlukan. Namun pada sisi lain tuntutan mahasiswa untuk memanfaatkan fasilitas pendidikan yang lebih standar terus dilakukan melalui aksi protes atau aksi demo dengan frekuensi yang semakin sering dilakukan. Unkhair dipimpin oleh dua Rektor yaitu: ASA Latif, BA, kemudian digantikan oleh dr. Saleh Sahib, MPH. Pada periode ini Unkhair belum punya kampus sendiri sehingga perkuliahan dilakukan dengan menggunakan sejumlah gedung sekolah dan kantor yang ada di Kota Ternate. Penggunaan fasilitas sekolah dan perkantoran seperti ini dimungkinkan karena jam kerja kantor pemerintah dan jam belajar masing-masing sekolah berakhir pada pukul 14.00 WIT dan Pukul 13.00 WIT. Karena itu jadwal kuliah di Unkhair dimulai pada pukul 14.00 WIT untuk menggunakan ruang-ruang kelas yang kosong di SMEA, SPG, SKKP, juga ruang Kantor Kecamatan Kotapraja Ternate. Pada dasarnya periode ini merupakan periode yang masih fokus pada upaya menata Unkhair yang vakum perkuliahannya sejak tahun 1974 sedangkan dari sudut penyediaan fasilitas kampus baru sampai pada tahap mencari lokasi kampus yang paling cocok.
 
Periode Rektor Saleh Sahib mengalami perkembangan secara perlahan setelah sebelumnya sempat vakum. Memang, mengembalikan sesuatu yang sudah vakum, macet, membutuhkan kekuatan dan strategi tertentu, dan itu tidak bisa dilakukan secara cepat, tetap harus mempertimbangkan berbagai faktor lainnya. Pada posisi ini, dr. Saleh Sahib mencoba untuk mempertahankan eksistensi Unkhair namun tetap berusaha mensosialisasikan perkuliahan kepada lulusan SMA di Maluku Utara.
 
Salah satu kegiatan besar yang dilakukan Unkhair masa Rektor Saleh Sahib adalah International Workshop pada 1980. Waktu itu, tawaran untuk mengadakan kegiatan ini diajukan kepada Universitas Pattimura, akan tetapi Unpatti tidak sanggup, maka ditawarkan kepada Unkhair. Unkhair pun bersedia, maka kegiatan pun diadakan di Ternate. Dalam workshop tersebut, seorang profesor dari luar negeri mengatakan bahwa “Halmahera is a sleeping giant” (Halmahera adalah raksasa yang sedang tertidur). Sejak lama, Halmahera (dan Maluku secara umum) telah menjadi incaran bangsa-bangsa asing untuk memonopoli rempah-rempah dan menjualnya dengan harga mahal di pasar dunia. Saat ini, di berbagai tempat di Halmahera juga ditemukan potensi emas, nikel, batu mulia (batu bacan) dan seterusnya yang semakin membuktikan bahwa Halmahera adalah ―raksasa‖ (besar dan karya dalam sumber daya alam), namun pada kenyataannya belum dikelola secara baik oleh masyarakat setempat.
 
Dalam periode Rektor Saleh Sahib, beberapa tokoh yang aktif mengelola kampus—menyebut beberapa di antaranya—adalah Pembantu Rektor (Yusuf, Bahar Andili, dan Fachri Ammarie), dr. Tan Tua (kepala Rumah Sakit di depan benteng Fort Oranye), Yasin Muhammad, Ahmad Hanafi (Ko Mad), Amin Hanafi (Ko Min) yang membantu pencarian dana untuk keberlangsungan aktivitas belajar-mengajar Unkhair.
 
Di masa itu juga, Unkhair juga dibantu oleh tenaga pendidik/peneliti dari LIPI, Unsrat Manado, dan Unhas Makassar. Kendala paling besarnya adalah pada pendanaan, karena ketika mahasiswa ujian, maka perlu mendatangkan dosen, dan kedatangan dosen membutuhkan pendanaan yang cukup. Namun, kendala dana ini bisa diatasi dengan jalinan kemitraan dengan berbagai pihak.
 
Dalam periode ini, dr. Saleh Sahib sempat memimpin Unkhair selama tiga tahun (bukan empat tahun seperti biasanya jabatan Rektor), kemudian dilanjutkan oleh Drs. HM. Jusuf Abdulrahman sejak 1983 hingga 1998.
 
'''Jumlah Mahasiswa Unkhair tahun 1981-1984'''
{| class="wikitable"
!No
!Tahun Ajaran
!Jumlah Mahasiswa
!Total
|-
|1
2
|1981/1982
1983/1984
|225
245
|225
245
|-
|
|
|
|
|-
|
|
|
|
|}
 
{{DEFAULTSORT:Khairun}}
{{indo-perti-stub}}