Pulau Jeju: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
k rrt
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-di Abad +pada Abad, -di abad +pada abad, -Di abad +Pada abad, -Di Abad +Pada Abad)
Baris 44:
Menurut catatan sejarah Cina kuno, [[San Guo Zhi]], pada abad ke-3 Masehi, Pulau Jeju adalah sebuah kerajaan independen yang bernama ''Tamra''. Pada saat itu Tamra sudah menjalin hubungan dagang dengan [[Samhan|Tiga Negara Han]] di [[Semenanjung Korea]]. Dari abad ke-5 sampai 9, Tamra juga menjalin hubungan dagang dengan kerajaan [[Goguryeo]], [[Silla]], [[Dinasti Tang]] dan [[Jepang]]. Tahun 1105, Tamra diserap dalam teritori [[Dinasti Goryeo]] pada masa pemerintahan [[Gojong dari Goryeo|Raja Gojong]] (bertahta 1215-1259) dan namanya diganti menjadi Jeju ("daerah"). Dengan masuknya Jeju dalam teritori Goryeo, sumber daya alam Jeju diperas demi memberi upeti kepada istana sehingga beberapa kali rakyat Jeju melakukan pemberontakan. Pada tahun 1270, ''Tiga Polisi Elit'' ([[Sambyeolcho]]) dibantu oleh rakyat Jeju memberontak pada pemerintahan setempat dan penguasa [[Mongol]], namun berhasil dipatahkan.
 
Para penguasa Mongol memilih Jeju sebagai pangkalan untuk menyerbu ke [[Jepang]]. Di pulau ini mereka menternakkan kuda, membuat kapal perang dan mendirikan kuil Buddha bernama [[Beobhwasa]]. Pada periode [[Dinasti Joseon]] (1392-1910), kaum penguasa memandang Jeju sebagai daerah perbatasan. Rakyat di daratan utama umumnya menganggap Jeju sebagai tempat asing dimana narapidana dibuang atau diasingkan. Pada abad ke-17, [[Injo dari Joseon|Raja Injo]] bahkan membuat peraturan bahwa rakyat Jeju dilarang pergi ke daratan utama. Peraturan ini bertahan hampir 200 tahun sampai dihapuskannya dipada abad ke-19. Akibatnya, rakyat Jeju sangat terisolasi dari dunia luar.
 
Pada saat penjajahan Jepang, rakyat Jeju menderita kelaparan dan kemiskinan. Banyak di antara mereka pindah ke [[Osaka]] pada tahun 1923. Selama periode penjajahan, warga Jeju berpartisipasi dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Perlawanan terbesar terjadi antara tahun 1931-1932 di desa-desa nelayan di [[Kecamatan Gujwa]] dan [[Kecamatan Seongsan|Seongsan]] oleh para penyelam wanita ([[haenyeo]]). Pergerakan ini adalah perlawanan terbesar yang pernah dilakukan oleh wanita di Korea. Namun gerakan ini tidak menemui hasil. Setelah penjajahan berakhir, Pulau Jeju berada di bawah pengawasan [[militer]] [[Amerika Serikat]]. Pada peringatan [[Pergerakan 1 Maret 1919]] tahun 1947, terjadi insiden berdarah yang disebabkan oleh penembakan polisi. Warga Jeju merespon insiden itu dengan mengadakan [[demonstrasi]] besar-besaran namun diredam oleh militer Amerika Serikat dengan penangkapan dan pembantaian.