Pacu Jalur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 45:
 
==Sejarah==
Sedikit informasi mengenai tanggal pasti dimulainya tradisi budaya ini, tetapi referensi tertulis paling awal untuk ''Pacu Jalur'' secara khusus disebutkan pada [[abad ke-17]] dalam manuskrip lokal. Namun demikian, pada masa yang lebih awal, pada [[abad ke-7]], perlu menjadi perhatian bahwa sejumlah besar utusan pendayung Minangkabau mencapai hilir sungai [[Batang Hari]] (kini bagian dari wilayah modern provinsi [[Jambi]]) dari hulunya di [[Dataran Tinggi Minangkabau]] (kini bagian dari wilayah provinsi [[Sumatera Barat]]) menggunakan perahu atau sampan, peristiwa ini dijelaskan dalam [[Prasasti Kedukan Bukit]] (prasasti yang ditemukan di kisaran daerah [[Palembang]]).
 
{{cquote
Menurut tradisi lisan masyarakat setempat, ''Pacu Jalur'' pada mulanya merupakan sarana transportasi menyusuri sungai Batang Kuantan dari Hulu Kuantan hingga ke Cerenti di muara sungai Batang Kuantan. Karena transportasi darat belum berkembang pada masa itu, jalur tersebut sebenarnya digunakan sebagai sarana transportasi penting bagi penduduk desa, terutama digunakan sebagai sarana pengangkutan hasil bumi, seperti buah-buahan lokal dan tebu, dan berfungsi untuk mengangkut sekitar 40-60 orang per perahu atau sampannya. Pada masa perkembangannya, perahu transportasi berbentuk memanjang ini sengaja dihias dengan unsur budaya setempat yang bisa berupa kepala ular, buaya, harimau dan terkadang ditambah dengan payung MinangkabauMelayu Kuansing (''payuang''). Seiring berjalannya waktu, fungsinya bergeser dari sekadar alat angkut orang menjadi tongkang kerajaan yang megah. Jalur air yang biasa digunakan sebagai jalur transportasi atau pertukaran barang berangsur-angsur berubah menjadi identitas sosiokultural masyarakat MinangkabauMelayu Kuansing untuk menyelenggarakan festival. Apalagi, menurut catatan sejarah yang tertulis, jalur tersebut juga menjadi jalur para bangsawan untuk menyambut tamu-tamu terhormat para raja (dan kemudian sultan) yang hendak berkunjung ke kawasan Rantau Kuantan.
|'''{{Small|Teks prasasti:}}'''<br>"''... maŕlapas dari Mināṅa tāmvan mamāva yaṁ vala dua lakşa daṅan ko śa duaratus cāra di sāmvau ...''"<br>'''{{Small|Terjemahan:}}'''<br>"... berangkat dari Minangkabau membawa bala (pasukan) sebanyak dua laksa (dua puluh ribu) dengan dua ratus upeti di sampan (atau perahu) ..."|source= '''''informasi dari prasasti Kedukan Bukit, dibuat tahun 600-an'''''}}
Menurut tradisi lisan masyarakat setempat, ''Pacu Jalur'' pada mulanya merupakan sarana transportasi menyusuri sungai Batang Kuantan dari Hulu Kuantan hingga ke Cerenti di muara sungai Batang Kuantan. Karena transportasi darat belum berkembang pada masa itu, jalur tersebut sebenarnya digunakan sebagai sarana transportasi penting bagi penduduk desa, terutama digunakan sebagai sarana pengangkutan hasil bumi, seperti buah-buahan lokal dan tebu, dan berfungsi untuk mengangkut sekitar 40-60 orang per perahu atau sampannya. Pada masa perkembangannya, perahu transportasi berbentuk memanjang ini sengaja dihias dengan unsur budaya setempat yang bisa berupa kepala ular, buaya, harimau dan terkadang ditambah dengan payung Minangkabau (''payuang''). Seiring berjalannya waktu, fungsinya bergeser dari sekadar alat angkut orang menjadi tongkang kerajaan yang megah. Jalur air yang biasa digunakan sebagai jalur transportasi atau pertukaran barang berangsur-angsur berubah menjadi identitas sosiokultural masyarakat Minangkabau Kuansing untuk menyelenggarakan festival. Apalagi, menurut catatan sejarah yang tertulis, jalur tersebut juga menjadi jalur para bangsawan untuk menyambut tamu-tamu terhormat para raja (dan kemudian sultan) yang hendak berkunjung ke kawasan Rantau Kuantan.
[[File:KITLV A107 - Toeschouwers op de oever van de Inderagiri (Batang Koeantan) voor een kanorace te Taloek, KITLV 83169.tiff|thumb|left|300px|Festival Pacu Jalur Festival dan para penonton di daerah Taluk, {{circa}} tahun 1900-an awal]]
Pada masa penjajahan Belanda, pacu jalur diperbolehkan dan diadakan untuk memeriahkan perayaan adat; sejak tahun [[1890]] secara spesifik, ''Pacu Jalur'' digunakan sebagai pemeriah untuk memperingati hari lahir Wilhelmina (Ratu Belanda) yang jatuh pada tanggal 31 Agustus setiap tahunnya, dan festival ini biasanya berlangsung hingga tanggal 1 atau 2 September. Perayaan Pacu Jalur dipertandingkan selama 2–3 hari, tergantung jumlah lintasan yang diikuti. Dahulu, sebelum kedatangan penjajah Belanda, ''Pacu Jalur'' sudah diselenggarakan oleh penduduk setempat untuk memperingati hari-hari besar umat Islam, seperti Maulud Nabi, [[Idul Fitri]], atau bahkan untuk merayakan [[Tahun Baru Islam]]. Selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia, festival ini semakin berkembang dan juga digunkan untuk merayakan [[Hari Kemerdekaan Indonesia|hari kemerdekaan Republik Indonesia]].