Ibrahim Mohammad Jahfar

Ibrahim bin Mohammad Jaafar adalah Menteri Besar atau Perdana Menteri pertama Brunei, yang menjabat dari 29 September 1959 hingga September 1961. Ia bergelar Pehin Datu Dato Laila Utama Haji Awang yang lahir di Jajahan Mahkota Labuan pada tanggal 27 September 1902 dan meninggal di Bandar Seri Begawan pada 19 Februari 1971.

Latar belakang

sunting

Ibrahim lahir di Jajahan Mahkota Labuan pada hari Jumat, 27 September 1902. Asal usulnya bisa dirunut dari Semenanjung Malaya dan Pulau Lingga Kepulauan Riau. Ayahnya adalah Tengku Mohammad Jaafar bin Tengku Mohammad Saad bin Tengku Besar Wok Daud bin Sultan Abdul Rahman Syah I (Sultan Lingga-Riau-Johor-Pahang / 1812-1832) bin Sultan Mahmud Syah III (Marhum Daik Lingga). pada waktu kecil dia dididik secara informal dari ayahnya dan dia dikenal karena kecerdasannya. Ia juga tertarik membaca sejarah dan sastra, seperti 'Panji Semerang', 'Seri Rama', dan banyak karya sastra lainnya.[1]

Pendidikan

sunting

Pada April 1914, Ibrahim pergi ke Labuan bersama pamannya, Abdul Razak. Di Labuan ia mengenyam pendidikan formal di English School S.P.G. sampai Sekolah Dasar kelas 5. Ia diberi beasiswa sebesar $90.00 oleh seorang saudagar Cina bernama Chee Swee Cheng. Ia kemudian pergi ke Singapura pada Januari 1918, untuk melanjutkan pendidikannya.

Ibrahim pertama kali bekerja sebagai pegawai dan penjaga toko. Kali ini, ia juga mendapat kesempatan untuk belajar Bahasa Inggris dari A.V. Lingga. Enam bulan setelah itu, dia bekerja sebagai penata rias selama enam bulan. Pada Juni 1917, ia pergi ke Brunei, menemani G.E. Cator, British Recidence of Labuan yang dipindahkan ke Brunei. Ia kemudian bekerja sebagai trainee di Kantor Keuangan, dan kemudian sebagai pegawai di Custom Department hingga Januari 1918. Saat melanjutkan pendidikannya, ia bekerja di Singapore Audit Office. Ia kembali ke Brunei pada Desember 1918. Saat kepulangannya, ia bekerja sebagai Asisten Pegawai Kantor Pos hingga Desember 1918. Ia kemudian bekerja di Kantor Residen dan Departemen Pertanahan sebagai pegawai. Pada bulan Maret 1922, ia memimpin delegasi ke Singapura untuk mewakili Brunei dalam Konferensi Borneo Malaya.

Kehidupan pribadi

sunting

Ia menikah dengan Dayang Saadiah binti Awang Mohd Tahir pada 22 Desember 1923. Pernikahannya dikaruniai empat orang putra:

1. Awang Abbas Al Sufri (kemudian dikenal sebagai Pehin Orang Kaya Penggawa), lahir pada 16 Juli 1926. (almarhum)

2. Awang Anuar, lahir 13 Maret 1931 (almarhum)

3. Awang Adinin, lahir 28 Agustus 1932.

4. Awang Isa, lahir 9 Mei 1935. (kemudian dikenal sebagai Pehin Orang Kaya Laila Setia Bakti Diraja).

Keterlibatan politik

sunting

Pada November 1928, ia diangkat sebagai pejabat Administrasi di Kantor Residen. Pada Maret 1930, ia diangkat sebagai Asisten Pemungut Pajak Bumi. Pada bulan Juni 1932 diangkat sebagai Hakim Kelas 2 Distrik Brunei Muara dan tidak lama kemudian menjadi Pejabat Distrik Brunei Muara sampai Januari 1936. Setelah itu, ia terus menjabat sebagai Sekretaris Residen Inggris sampai tahun 1945.

Perang dunia kedua

sunting

Selama Pendudukan Jepang di Brunei pada tahun 1941, ia diangkat sebagai Sekretaris Negara atau kepala pejabat administrasi dari tahun 1941 sampai 1945 dan petugas penghubung antara penduduk setempat dan pemerintah Jepang. Ia diperintahkan untuk memusnahkan semua dokumen yang disimpan di Kantor Keresidenan, termasuk Buku Hibah Tanah. Tanpa takut akan keselamatannya, tidak mematuhi perintah, dia berhasil menyelamatkan semua dokumen. Prestasinya dipuji oleh K.E.H. Kay, seorang perwira tentara Inggris.

Ia juga menangani keselamatan masyarakat Brunei yang dipaksa bekerja oleh Jepang di Labuan, Miri, dan Kuching. Ia juga menjadi tokoh penting dalam pemerintahan, yang dapat diandalkan oleh rakyat. Ia juga melatih beberapa petugas tentang bagaimana menjalankan administrasi dan proses pembuatan UU. Di antara petugas yang dilatihnya adalah Pengiran Muda Omar Ali Saifuddien.

Pemerintah Jepang juga memuji kemampuannya sebagai pemimpin nasional, yang membuatnya mendapatkan tempat khusus dalam pemerintahan Jepang. Dia percaya bahwa hanya Jepang yang bisa membantu Brunei mendapatkan kembali kemerdekaannya. Sayangnya, pengabdiannya di bawah Jepang tidak berlangsung lama. Saat dalam perjalanan untuk menemui Chokan Kakka Koizumi di Buang Tekurok, dia mendengar bahwa Pasukan Sekutu mendarat di Muara. Setelah mendarat, Sekutu memanggilnya untuk membahas beberapa opsi tentang pemulihan pemerintah. Dia membantu Pasukan Sekutu untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas di Brunei. Pada saat ini, masalah kesehatannya mengkhawatirkannya.

Referensi

sunting
  1. ^ "Ibrahim Mohammad Jahfar | Academic Influence". academicinfluence.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-25.