Hadji Boeijasin atau Hadjie Boeyasin adalah salah seorang pahlawan Perang Banjar yang berjuang pada masa kesultanan Banjar. Beliau berjuang bersama Demang Lehman dan Kiai Langlang Buana. Beliau terkenal sebagai pahlawan muda yang dijuluki oleh pihak Belanda sebagai “Berandal Licin”, karena pergerakan beliau yang sangat susah ditebak dan beliau pada saat melakukan penyerangan suka membakar tangsi-tangsi Belanda.

Nama lengkap beliau adalah Haji Muhammad Jasin. lahir di desa Sabuhur (Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) pada tahun 1837. Nama aslinya Muhammad Yasin. Masa kecil dan remaja dilalui dengan belajar agama dan taat beribadah. Muhammad Yasin berangkat haji dalam usia muda, dan karena itulah, pada waktu berjuang namanya disebut Haji Buyasin. Sementara orang mengatakan bahwa dia juga penghulu, ahli agama, jadi untuk sezamannya prestasinya cukup menonjol. Karena masih muda, sudah naik haji, tahu ilmu agama, dan berasal dari keluarga kaya (sebab tidak mungkin haji kalau tidak kaya). Ketika ia muncul dalam barisan perjuangan bersama Demang Lehman dan Pangeran Antasari, ia baru berusia kira-kira 20 tahun. Jadi nyatanya ia masih muda sekali. Tetapi Demang Lehman telah melihat adanya sifat-sifat kepahlawanan yang dimiliki oleh Hadji Boeijasin yang masih sangat muda itu.

Hadji Boeijasin sebagai pemimpin perlawanan di daerah Tanah Laut ini mempunyai pengikut yang cukup banyak dan teratur. Keistimewaan Haji Boejasin adalah dalam setiap pertarungan melawan Belanda, ia tidak membiarkan anak buahnya saja yang maju ke depan, tetapi malah ia sendiri yang berjuang paling depan.

Pada suatu hari beliau pernah menyusup ke dalam markas Belanda di Martapura. Di sana ia mengamuk dan banyak membunuh musuh-musuhnya, kemudian berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda. Selanjutnya ia bertempur pula di Cempaka, Sungai Paring, Gunung Landak dan Tabanio.

Hadji Boeijasin Mempunyai benteng yang cukup ampuh di suatu tempat yang bernama Telaga, letaknya antara Sabuhur dan Batu Tungku. Pada tanggal 27 Juli 1859, benteng Telaga ini pernah dikepung oleh Belanda dengan kekuatan yang besar. Tetapi sayangnya disekitar benteng itu telah dipasang jebakan, ketika pasukan Belanda mulai beraksi maka jadilah mereka umpan yang empuk bagi jebakan-jebakan yang mematikan tadi.

Peristiwa “Benteng Tabanio” dalam bulan Agustus 1859 juga membuktikan keberaniannya. Benteng Tabanio yang diduduki Belanda berhasil direbut olehnya bersama Demang Lehman dan Kiai Langlang Buana. Ketika Belanda datang kembali dengan bantuan kapal perang Bone untuk merebut Benteng tabanio, Hadji Boeijasin melawannya dengan gigih juga, sehingga serangan yang kedua oleh Belanda ini juga Gagal. Empat bulan kemudaian tepatnya pada bulan Desember 1859 Benteng Haji Buyasin di Takisung diserang secara besar – besaran dan dapat di hancurkan. Haji Buyasin menyingkir ke daerah Pleihari yang akhirnya sampai ke daerah Bati – Bati,

Pertempuran-pertempuran selanjutnya sejak tahun 1860-1864 terus-menerus terjadi di Pelaihari, Bati-bati, Tabanio, Satui, Maluka, Tambak Linik, Salingsing, Liang Anggang, Awang Bangkal, Tiwingan dll. Haji Boejasin melakukan taktik gerilya, yaitu menyerang secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Bahkan karena saking sulitnya Belanda menangkap Haji Bujasin, sampai-sampai Belanda mengeluarkan sayembara dengan harga kepal Hadjie bujasin sebesar f. 1.000,- (Staat Der Opstandelingen Op Wien Premien Of Hoofdgelden Zijn Gesteld (Daftar Nama Pemberontak Yang Dikenai Premi atau Harga Kepala)

Peristiwa bulan Mei 1864 yang terjadi di Tambak Linik dan Salingsing (pedalaman Bati-bati) dialami bersama istri dan 9 orang pengikutnya. Mereka terkurung dalam kepungam musuh selama 10 hari lamanya, sampai-sampai mereka kehabisan bekal makanan, pada saat itu mereka hanya makan umbut-umbut muda dan buah-buahan hutan. Musuh telah menjepit mereka di Pelaihari, Martapura dan Banyu Hirang dengan115 orang serdadu, dan ditambah lagi pasukan pengkhianat yang membela Belanda daripada rakyat kurang lebih 50 orang. Namun berkat ketabahan, keuletan dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa akhirnya mereka dapat meloloskan diri dari pihak musuh. Akan tetapi pada saat mereka sampai di rumah mereka di Sabuhur, mereka telah mendapati rumah mereka yang hangus dibakar Belanda. Tetapi hal ini tidak menyustkan semangatnya untuk terus berjuang dan berjuang.

Setelah kejadian itu menyusul kejadian di Asam-asam dan Batu Tungku. Di sini Hadji Boeijasin berhadapan dengan pasukan Bugis dari Pagatan (Kalimantan tenggara). Mereka itu adalah kaum yang memihak dan dibantu olah Belanda. Namun kali inipun Haji Boeijasin berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Bahkan ketika pertempuran Pematang Damar, November 1865 pundaknya yang penuh darah karena peluru yang menembusnya, Haji Boeijasin masih dapat meloloskan diri dan bertempur kembali di Gunung Anjal.

Perlawanannnya yang terakhir adalah ketika ia menjelajah ke Tanah Dusun sungai Lintuni di Kal-Teng, ia bertemu Pembakal Bonang yang telah lama mencarinya. Pelurupun menembus kulit tubuhnya, darahpun tumpah di Bumi Pertiwi dan saat itulah ia menghembuskan nafas terakhirnya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Januari 1866. Haji Buyasin gugur sebagai pahlawan dan sekaligus mujahid. meninggal dalam usia muda, 29 tahun. Jenazah Haji Buyasin yang pernah menguasai dan memimpin Benteng Tabanio di serahkan kepada Belanda di Banjarmasin oleh Pangeran Soeria Winata Bupati Martapura. Kemudian oleh masyarakat di makamkan di lokasi makam Mesjid Jami Lama di tepi Sungai Martapura, Pasar Lama.

Bidang PSK ( Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan : sekarang ) telah melakukan Survei di lokasi ini, tetapi tidak menemukan Makam Haji Buyasin di antara makam – makam yang ada. Mungkin hal ini di sebabkan adanya kerusakan tanah akibat erosi Sungai Martapura. Lokasi makam – makam di tempat ini mengalami perubahan yaitu menyempit banyak makam – makam yang runtuh dan hilang yang semula berada di tanah sekarang lenyap ke tengah sungai martapura. Masjid Jami Banjarmasin sendiri telah lama di pindahkan lebih ke tengah yang sekarang ini berada di pinggir jalan Mesjid. Kelurahan Mesjid Jami / Surgi Mufti Kecamatan Banjar Utara Banjarmasin ( Dahulu lebih di kenal dengan Kampung Masigit ).

Sumber: https://tanahlautonline.blogspot.com Diarsipkan 2023-06-26 di Wayback Machine. [1][2][3][4]

Pemakaman sunting

Setelah tertembak dan mwninggal, mayatnya dibawa Pangeran Soeria Winata, Bupati Martapura ke Banjarmasin untuk diserahkan kepada pemerintah Belanda. Kemudian jasad yang telah kaku itu dikebumikan di dekat Masjid [Jami] Lama Banjarmasin pada tanggal 27 Januari 1866. Sayangnya, orang-orang sekarang kehilangan jejak di mana kuburan Haji Buyasin berada, sebab di situ banyak kuburan tua tanpa identitas, yang mungkin salah satunya adalah kuburan pahlawan muda Kalimantan ini.

Namnya diabadikan sebagai nama RSUD Hadji Boejasin di Pelaihari Kabupaten Tanah Laut.

Pranala luar sunting


Catatan kaki sunting

  1. ^ Verzameling der merkwaardigste vonnissen gewezen door de Krijgsraden te velde in de Zuid- en Ooster-afdeeling van Borneo gedurende de jaren 1859-1864: bijdrage tot de geschiedenis van den opstand in het Rijk van Bandjermasin (dalam bahasa Belanda). Ter-Landsdrukkerij. 1865. hlm. 53. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-09-06. 
  2. ^ "Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen". Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 14. Batavia. 1864. hlm. 391. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-09-06. 
  3. ^ "Netherlands. Departement van Zaken Oversee". Verslag van bestuur en staat van Nederlandsch-Indië. 1. Netherlands: Departement van Zaken Oversee. 1869. hlm. 19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-09-06. 
  4. ^ Maaten, Klaas (1896). Indische oorlogen: een boek ten dienste van den jongen (dalam bahasa Belanda). Ter-Landsdrukkerij. hlm. 95. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-17. Diakses tanggal 2023-06-17. 

Lihat pula sunting