Gerakan Satu Desa Satu Produk

One Village One Product (OVOP) adalah sebuah gerakan revitalisasi ekonomi regional yang digagas oleh Gubernur Provinsi OITA, Morihiko Hiramatsu. Gerakan OVOP yang dimulai tahun 1979 di Oita, Jepang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat desa di Jepang.[1] Berkat kesuksesan ini, OVOP tidak hanya ditiru oleh perfektur-perfektur selain Oita di Jepang, tetapi diadopsi oleh berbagai negara lainnya, antara lain: Thailand, Malawi, Nepal, dan Indonesia.[2] Di Indonesia, program OVOP mulai diterapkan tahun 2007 berdasarkan Peraturan Kementerian Perindustrian Nomor: 78/M-IND/9/2007.

Dalam gerakan OVOP, para penduduk lokal mengembangkan sebuah produk yang akan menjadi produk khas dan kebanggaan wilayah lokal mereka dan memiliki nilai kompetitif baik di pasar nasional maupun global. Yang dimaksud produk disini, tidak hanya berupa barang tetapi bisa pula berupa jasa. Para penduduk bekerja sama dengan pihak pengusaha lokal dan dengan bantuan asistensi teknis dari pemerintah mengembangkan produk ini, yang kemudian dipasarkan secara lokal, nasional, dan internasional.[3] Meski tema gerakan ini adalah menyebut "One Village, One Product" tetapi dalam kenyataannya produk yang dikembangkan tidak dibatasi hanya satu produk. Satu desa bisa mengembangkan dua produk atau lebih.[4] Terdapat 3 prinsip utama yang mendasari aktivitas pemberdayaan dalam OVOP. Pertama, Local yet Global, merupakan prinsip yang mendasari dalam mengembangkan produk OVOP, dimana produk yang diciptakan tidak hanya harus merefleksikan kebanggaan budaya lokal tetapi juga dapat diterima secara global oleh masyarakat internasional. Dengan begitu, maka pasar dari produk ini dapat dikembangkan tidak hanya pada tingkat lokal atau nasional saja, tetapi hingga internasional. Kedua, Self-reliance and creativity, melalui prinsip ini, gerakan ini juga hendak menekankan kemandirian para aktor lokal dalam mengelola usaha produk mereka. Artinya, para penduduk lokal lah yang secara aktif mengelola secara mandiri usaha mereka ini, sedangkan pemerintah hanya berperan menyediakan asistensi yang dibutuhkan bagi mereka untuk mengembangkan usaha mereka ini. Ketiga, Human resource development, juga harus dikembangkan oleh para aktor lokal yang mengelola gerakan ini, tidak hanya kemandirian saja. Menurut Hiramatsu, pengembangan sumberdaya manusia ini bisa dicapai dalam proses untuk mengembangkan produk OVOP, tetapi di sisi lain produk OVOP yang berkualitas juga hanya bisa diproduksi oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan berkomitmen untuk berkontribusi bagi masyarakat lokal mereka.[5]

Referensi sunting

  1. ^ Schumann, Fred R (Maret 2016). "A Study of One Village One Product (OVOP) and Workforce Development: Lessons for Engaging Rural Communities around the World". University of Guam School of Business and Public Administration: Mangilao. hlm. 5
  2. ^ Fujikura, Ryo. 2015. “One Village One Product: Evaluations And Lessons Learnt From Ovop Aid Projects”. https://www.researchgate.net/publication/275062202_One_village_one_product_evaluations_and_lessons_learnt_from_OVOP_aid_projects Diarsipkan 2017-10-25 di Wayback Machine. diakses tanggal 8 Oktober 2017.
  3. ^ Yamazaki, Jun (November 2010). "A Comparative Analysis of One Village One Product (OVOP) and its Replicability in International Development". Institute of Social Studies: Netherlands. hlm. 8
  4. ^ Yamazaki, Jun (November 2010). "A Comparative Analysis of One Village One Product (OVOP) and its Replicability in International Development". Institute of Social Studies: Netherlands. hlm. 18
  5. ^ Yamazaki, Jun (November 2010). "A Comparative Analysis of One Village One Product (OVOP) and its Replicability in International Development". Institute of Social Studies: Netherlands. hlm. 14-15