Evie Pottieray

aktivis perempuan asal Indonesia

Georgine Eveline Poetiray (lahir 3 Juli 1918 di Surabaya, meninggal pada 27 Agustus 2016 di Jakarta)atau dikenal dengan Evie Poetiray adalah pejuang kemerdekaan Indonesia dan merupakan pahlawan keturunan Maluku yang berjuang melawan Nazi di Belanda. Selain itu, Evie diberi julukan oleh Soekarno sebagai Henriëtte Roland Holst (penyair dan tokoh komunis).[1]

Kehidupan Awal sunting

Evie Poettiery dilahirkan pada 3 Juli 1918 di Surabaya. Ia merupakan putri dari George Henricus Alfaris Gerard Poetiray yang bekerja di Jawatan Pos, telegram dan telepon.

Pada saat Evie berusia 2 tahun, ayahnya meninggal dunia. Selang 9 tahun setelahnya, Sara Suzanne Huppe yang merupakan ibunya pun meninggal dunia. Evie dan saudari kandungnya, Reny poetiray, tumbuh besar di sebuah panti asuhan di Surabaya.

Pada 1937, Evie berangkat ke Belanda menyusul saudari kandungnya. Selain belajar ilmu analis Kimia disebuah laboratorium di Keizersgracht, Ia juga tergabung dalam organisasi penghimpun muda mudi Indonesia penganut Kristen di Belanda, IJC (Indonesische Christen Jongeren).

Pada tahun 1942, secara diem-diam, adanya ajakan kepada Evie unutk bergabung dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) yang merupakan organisasi politik yang dilarang oleh Nazi semenjak 1940.

Selain itu juga, Evie ikut tergabung dan mengurus Roekoen Peladjar Indonesia (Reopi).

Perjuangan Politik sunting

Awal perjuangan Evie dimulai dengan aktivitas di Perhimpunan Indonesia (PI). Ia mulai membaca baik surat kabar dan majalah illegal yang selanjutnya menggorganisir diskusi-diskusi yang dilarang dan menjadi penghubung antara organisasi PI dan IJC. Selain itu, Evie juga menjadi kurir sekaligus kontributor untuk terbitan-terbitan pers seperti Vrij Nederland (harafia Belanda bebas), Vriej Katheder (harafiah chotbah bebas), de Waaarheid (kebenaran, koran komunis), dan Het Parool.Selain ditugaskan untuk mengambil dan membagikan terbitan-terbitan illegal yang dilarang oleh pemerintah Nazi, Evie juga mecari alamat-alamat persembunyian dan memberikan bantuan.

Sepanjang 1941 sampai dengan 1943, berlokasi di rumahnya, Evie dan M. Siantoeri mengadakan 5 kali pertemuan semua orang Indonesia yang melawan Nazi di Belanda. Dibalik kedok konverensi IJC, mereka memanfaatkan dan mengatur pertemuan itu untuk musyawarah bersama orang-orang Indonesia baik yang non-anggota IJC,buronan Nazi, orang Islam maupun mahasiswa belanda yang aktif melawan Nazi.[2]

Selama musim panas 1943, Evie menghilang dari peredaran dikarenakan adanya perintah untuk menghentikan kegiatannya. Ia pun bersembunyi di loteng yang terletak dibawah atap sebuah rumah yang terletak di Amsterdam Barat menyusul penangkapan dan interogasi seorang tokoh PI. Sepeninggalan Evie, rumahnya pun dimanfaatkan mahasiswa Indonesia sebagai tempat persembunyian bila terjadi penggrebekan.

Pada bulan november 1943 di Doorn (dekat Utrecht, Belanda tengah) PI mengadakan pertemuan rahasia bagi mahasiswa Indonesia dan beberapa orang tokoh politik Belanda. Diantara mahasiswa Indonesia, Evie tak mau ketinggalan untuk ikut serta dan duduk di samping Willem Dres(Politikus Belanda) yang digadang-gadang akan menjabat sebagai Perdana Menteri pada 1950 an .

Pada bulan-bulan terakhir Perang Dunia II, para mahasiswa Indonesia di Leiden membentuk satuan Indonesia di Nederlandse Binnenlandse Strijdkrachten (NBS). NBS sendiri dibentuk ada September 1944. Berisi berbagai kelompok bersenjata, NBS didirikan untuk memandu pasukan Sekutu dan menjaga ketertiban wilayah yang ditinggalkan Jerman.[1]

Pada Januari 1945, seorang anggota satuan NBS Indonesia bernama Irawan Soejono yang juga seorang mahasiswa yang bekerja unutk majalah illegal, dibunuh tentara Jerman di Leiden. Evie, Elly Soumokil serta satu orang teman perempuan lainnya dan ketiga teman laki-lakinya bergegas dengan sepeda ke Leiden. "Kami duduk dibonceng di sepeda yang tidak berban. Salah satu dari perempuan itu, Elly Soumokil, punya bayi berumur tiga bulan, tapi dia harus dan ingin ikut ke Leiden. Dia titip anaknya itu ke sepupunya di Wilhelmina Gasthuis di Amsterdam dan dia pergi ke Leiden," ujar Evie dalam ketika diwawancarai jurnalis Herman Keppy pada 2008. Dan untuk menghormati perjuangannya. satuan NBS Indonesia menamai diri mereka "Irawan Brigade".[3]

Pada Mei 1945, PI menerbitkan manifesto dua halaman berjudul "Verklaring van de Perhimpunan Indonesia aan het Nederlandse Volk!" alias "Deklarasi Perhimpoenan Indonesia kepada Rakyat Belanda".PI Selain merayakan kemenangan Sekutu dan capaian perjuangan anti-Nazi di Belanda, pamflet PI tersebut juga menceritakan kiprah mereka selama Belanda dikuasai Nazi. Dalam pamflet PI juga dijelaskan mengenai bantuan orang-orang Indonesia dengan menyediakan bantuan terhadap orang-orang yang bersembunyi, menerbitkan surat kabar illegal, membentuk kelompok bersenjata sendiri sampai ikut kerja bawah tanah guna melawan Nazi.

Dalam deklarasi itu, PI juga menegaskan pandangannya agar Indonesia dan Belanda punya relasi baru berlandaskan kerja sama dan kesetaraan. PI menuntut "Indonesia yang merdeka dan demokratis, karena hanya dalam hal itu terpampang sebuah jaminan bahwa rakyat Indonesia akan memiliki pembangunan politik, ekonomi, dan sosial di tangan mereka". Hal ini bertujuan untuk memposisikan orang Indonesia sebagai rekan yang setara dan demokratis dalam resistensi melawan Nazi serta diharapakan agar pemerintahan Belanda membalas jasa dengan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Tapi, Belanda tidak mengakuinya dan malah melancarkan agresi militer. PI bersama Partai Komunis Belanda (CPN) menentang kebijakan Belanda itu.

Pada Februari 1946, CPN menyelenggarakan demonstrasi di Amsterdam. Tokoh Sosial Demokrat Alderman Hufo de Dreu meminta Evie untuk berorasi mewakili PI.

Evie menegaskan kata-kata yang tak diantisipasi de Dreu sebelumnya. “Rakyat Belanda, apakah kalian siap mengakui hak menentukan nasib sendiri rakyat Indonesia?” ujar Evie dalam pidatonya di Markthallen, Amsterdam, 2 Februari 1946.[3]

Evie pun dikenal sebagai orator ulung sejak ikut berdemokrasi menuntut pengakulan proklamasi Indonesia dalam sebuah demonstrasi Bersama partai komunis.

Kehidupan Setelah Merdeka sunting

Pada 1946, Evie kembali ke tanah air dan menikah dengan Marangin Siantoeri yang merupakan rekan dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI).[4]

Kematian sunting

Evie Poetiray meninggal di Jakarta, pada Sabtu 27 Agustus 2016 di usia 98 tahun di kediamannya.[3]

Referensi sunting

  1. ^ a b "Kisah Evie Poetiray, Perempuan Maluku yang Melawan Nazi di Belanda". tirto.id. Diakses tanggal 2021-03-14. 
  2. ^ Poeze, Harry A (2008). Di Negeri Penjajah:Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-q950. Jakarta: KGP (Kepustakaan Populer Gramedia). hlm. 316. ISBN 978-979-91-0749-7. 
  3. ^ a b c gatholotjo (2016-09-01). ""Seorang pahlawan telah tiada: Evy Siantoeri-Poetiray: Soerabaja 3 djuli 1918 – Jakarta 27 agustus 2016" oleh Herman Keppy". Gatholotjo. Diakses tanggal 2021-03-14. 
  4. ^ co, Magdalene (2020). Perempuan Nusantara Di Tepi Sejarah. Jakarta: Pt Elex Media Komputindo. hlm. 29. ISBN 978-623-00-2063-6.