Ekspresivisme adalah salah satu aliran dalam seni yang memberikan penekanan pada ekspresi atau ungkapan emosi seniman. Istilah ekspresivisme mencakup banyak hal dalam seni misalnya seni lukis, teater, sastra dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak ada tokoh khusus yang secara mutlak mencetuskan aliran tersebut.

Ekspresivisme muncul beriringan dengan adanya transformasi dalam sistem sosial dan filsafat yang memandang bahwa manusia merupakan makhluk otonom dengan kebebasan dan keutuhannya sebagai individu.[1] Dengan demikian segala sesuatu yang dihasilkan manusia adalah suatu bentuk ungkapan kreatif pribadi tersebut.

Di dalam ekspresivisme tidak ada istilah kebenaran moral karena semua orang berhak mengekspresikan idenya. Nilai-nilai moral tidak dianggap sebagai sesuatu yang objektif melainkan subjektif. Dengan kata lain, ekspresivisme menolak adanya kebenaran mutlak tentang kebenaran moral yang universal. Hal ini memungkinkan kaum realis untuk menghindari teori kesalahan.

Ekspresivisme dalam berbagai bidang seni sunting

Ekspresivisme merupakan ungkapan yang lebih luas merujuk pada setiap bentuk seni. Secara khusus, terdapat istilah ekspresionisme yang merujuk pada gerakan seni rupa yang muncul di abad ke-20 terutama di Jerman. Ekspresionisme tentunya sangat berhubungan erat dengan awal kemunculan ekspresivisme. Perbedaan kedua istilah ini hanya pada cakupan bidang seni saja.

Ekspresionisme pada awal kemunculannya di Jerman di abad ke-19 erat hubungannya dengan kelompok Die Brücke (Jembatan) dan Der Blaue Reiter (Pengendara Biru). Kedua kelompok ini menolak tradisi akademis tetapi menggaungkan ekspresi yang lebih emosional dan pribadi. Di dalam karya seni, penekanan dilakukan dengan adanya pemilihan warna dan bentuk.

Sementara itu dalam bidang sastra, ekspresivisme seringkali disebut sebagai teori pendekatan biografis karena tugas utama seorang kritikus sastra adalah menelaah segala pernyataan pengarang. Tidak diketahui secara pasti kapan ekspresivisme muncul dalam sastra namun dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa tokoh Longinus adalah pelopor teori ini.[2] Longinus sendiri merupakan seorang negarawan dan ahli kritik sastra yang hidup pada abad ke-3 M. Pembahasan tentang ekspresivisme dalam sastra ini tertuang dalam buku Longinus yang berjudul Peri Hypsous.

Selanjutnya dalam bidang teater, ekspresivisme hadir dengan adanya eksplorasi kegelapan dan ketidakstabilan manusia dengan penggunaan simbolisme dan emosi yang intens. Pendekatan yang sering diadopsi dalam pertunjukan teater ekspresif adalah non-naturalistik dengan fokus temanya alienasi.

Di bidang musik, ekspresivisme hadir dengan adanya musisi-musisi yang mengeksplor kekacauan, disonansi, dan emosi yang dalam. Komponis biasanya menggunakan pendekatan eksperimental untuk menciptakan komposisi lagu mereka. Musik dihasilkan dengan cara yang tidak konvensional untuk menciptakan kesan ketidakstabilan.

Referensi sunting

  1. ^ Taum, Yoseph Yapi (1997). Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah. hlm. 20. ISBN 979-429-103-X. 
  2. ^ Teeuw, A (1988). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya - Giri Mukti Pasaka.