Ekshibisionisme adalah tindakan memamerkan atau mengekspos, dalam konteks publik atau semi-publik, bagian-bagian tubuh seseorang yang biasanya tertutup - misalnya, payudara, alat kelamin, atau bokong. Praktik ini mungkin timbul dari hasrat atau dorongan untuk mengekspos diri mereka sedemikian rupa kepada kelompok teman-teman, kenalan, atau orang asing untuk hiburan mereka, kepuasan seksual, atau untuk kesenangan berhasil mengejutkan pengamat yang tidak menduganya.[1]

Perempuan eksibisionis di jalanan kota Budapest, tahun 2007

Sejarah sunting

Eksibisionisme publik oleh perempuan telah tercatat sejak zaman klasik, sering dalam konteks kelompok perempuan melakukan ini untuk mempermalukan laki-laki yang menghasut mereka untuk melakukan, beberapa tindakan publik yang dianggap tidak senonoh.[2] Sejarawan Yunani kuno Herodotus memberikan penjelasan tentang perilaku ekshibisionis dari abad kelima SM dalam Historia. Herodotus menulis bahwa:

Ketika orang melakukan perjalanan ke Bubastis untuk menghadiri festival, ini adalah apa yang mereka lakukan. Setiap Baris (para peserta festival) perpawai dan di sana para penonton meluap dengan orang-orang, pria dan wanita, berkerumun, bersama-sama. Beberapa wanita membawa alat musik sistrum, sementara kaum pria membawa musik tiup seperti suling. Sedangkan yang lain, para penonton, pria dan wanita bernyanyi dan bertepuk tangan. Ketika dalam perjalanan pawai mereka sampai di sebuah komunitas - bukan kota tujuan mereka, tetapi di tempat lain – para penonton mengarahkan pawai para bareis ini ke tepi sungai. Beberapa wanita peserta pawai ini terus melakukan apa yang telah saya gambarkan sebelumnya, tetapi yang lain berteriak mencemooh penonton, atau menari, atau berdiri dan menarik pakaian mereka untuk menelanjangi diri mereka sendiri. Setiap komunitas tepi sungai menerima perlakuan seperti ini.[3]

Aspek psikologi sunting

Eksibisionisme pertamakali digambarkan sebagai penyakit jiwa dalam jurnal ilmiah terbitan 1877 karya dokter dan psikolog Prancis Charles Lasègue (1809–1883).[4][5] Ketika perilaku eksibisionisme telah mengganggu kualitas hidup seseorang untuk dapat berfungsi secara normal, maka perilaku ini dianggap kelainan psikologis, dikategorikan ke dalam Diagnostic and Statistical Manual, 4th Edition (kelas 302.4) sebagai menyimpangan seksual yang disebut "Parafilia".[6] Banyak definisi eksibisionisme secara umum mendefinisikannya sebagai "gratifikasi seksual, yang dianggap pelakunya memiliki kualitas di atas tindakan seksual itu sendiri, yang diperoleh dengan aksi seks di muka umum yang berisiko dan/atau memamerkan anggota tubuh. "Selain menelanjangi tubuh, juga dapat mencakup "melakukan hubungan seks di suatu lokasi umum yang mungkin dapat dilihat, atau tertangkap basah oleh orang lain."[7]

Sebuah tim peneliti melakukan riset dengan mengambil sampel responden dari 185 pelaku eksibisionis, dengan pertanyaan: "Bagaimana Anda lebih suka seseorang untuk bereaksi, jika Anda menunjukkan kemaluan Anda kepadanya?" Tanggapan yang paling umum adalah "Ingin melakukan hubungan seksual" (35,1%), diikuti oleh "Tidak ada reaksi yang diperlukan sama sekali" (19,5%), "Untuk menunjukkan kemaluannya mereka juga" (15,1%), "Kekaguman" (14,1% ), dan "Reaksi apapun" (11,9%). Hanya sedikit responden memilih "Kemarahan dan jijik" (3,8%) atau "Rasa takut" (0,5%).[8]

Di beberapa negara, pelaku eksibisionisme dapat terjerat tuntutan hukum, berupa pelanggaran hukum yang disebut eksposur tidak senonoh.

Beberapa jenis perilaku dapat dimasukkan sebagai suatu bentuk eksibisionisme, di antaranya:

  • Anasirma: mengangkat rok ketika tidak mengenakan celana dalam, dengan tujuan untuk memamerkan alat kelamin.
  • Flashing: membuka secara sementara anggota tubuh yang biasanya tertutup. Pada perempuan misalnya memamerkan secara singkat payudara telanjang dengan gerakan mengangkat dan menurunkan pakaian dan/atau bra secara singkat. Atau juga memamerkan secara singkat alat kelamin laki-laki atau perempuan.
  • Martimaklia: Suatu jenis parafilia yang melibatkan ketertarikan seksual agar orang lain menonton tindakan seksual yang dilakukannya.[9]
  • Mooning: mempertunjukan bokong telanjang dengan cara mendodorkan celana dan celana dalam. Perilaku ini cenderung menjadi berstandar ganda berbasis jender: jika dilakukan oleh laki-laki, perilaku ini lebih sering dianggap lelucon, humor, hinaan atau ejekan, dan tidak ada hubungannya dengan rangsangan seksual; sedangkan jika dilakukan oleh perempuan, hal kebalikannya terjadi, yaitu dianggap rangsangan seksual (atau sedikitnya perhatian seksual) kepada orang sasaran yang ditunjukan.
  • Streaking: aksi berlari telanjang bulat melintasi tempat umum. Tujuannya biasanya bukan bersifat seksual, tetapi nilai ketegangan dan "kejutan", dan dapat dilakukan laki-laki atau perempuan.
  • Kandaulisme: ketika seseorang menelanjangi pasangan seksualnya dengan cara yang eksplisit.
  • Reflektoporn: aksi menelanjangi diri sendiri dan mengambil gambar (foto atau video) dengan menggunakan permukaan memantul, seperti cermin, kemudian mengunggah gambar tersebut ke internet atau forum publik.[10] Contoh perilaku ini termasuk "pantulan laki-laki atau perempuan telanjang yang terpantul pada permukaan ceret, televisi, pemanggang roti, dan bahkan pisau, sendok dan garpu".[11] Contoh ini dimulai dengan tren yang melibatkan seorang pria menjual ceret dalam acara lelang di Australia, dan memamerkan foto ceret dengan pantulan tubuh telanjangnya pada permukaan ceret;[12] contoh lainnya termasuk sebagai berikut,[13][14][15] dan istilah spesifik "reflektoporn" pertama kali dipopulerkan oleh Chris Stevens di Internet Magazine.[16]
  • Skatologia telepon - Beberapa peneliti mengklaim bahwa perilaku ini adalah varian eksibisionisme, meskipun tidak terdapat komponen interaksi fisik secara langsung.[17][18]

Klasifikasi sunting

Secara umum terdapat dua kelompok utama eksibisionisme. Eksibisionisme yang tidak berbahaya, dan eksibisionisme yang berbahaya.

Dalam karya ilmiah Forensik dan Aspek Medik-Legal atas Kejahatan Seksual dan Praktik Seksual yang Tidak Biasa (2009) mengklasifikasikan eksibisionisme sebagai berikut.[5]

Kelas I: Eksibisionis berfantasi

Orang-orang ini berfantasi memamerkan alat kelamin mereka kepada orang-orang yang tidak curiga, tetapi terlalu takut untuk benar-benar melaksanakan fantasi itu. Mereka cenderung untuk tetap bahagia hanya dengan fantasi eksibisionis mereka. Beberapa dari mereka mungkin beralih ke eksibisionisme zoofilik untuk memenuhi fantasi mereka, karena tampaknya ini adalah kegiatan yang lebih aman.

Kelas II: Eksibisionis murni

Orang-orang ini puas dengan hanya memamerkan alat kelamin mereka dari kejauhan dan bermasturbasi. Mereka tidak menyentuh korban mereka atau benar-benar menyakiti mereka dengan cara apapun.

Kelas III: Eksibisionis kriminal

Pelanggar jenis ini adalak kelompok eksibisionis yang paling banyak. Mereka juga terlibat dalam kejahatan seksual lainnya, terutama pedofilia dan penganiayaan anak. Setelah menemukan seorang anak sebagai korban, perilaku seksual mereka mungkin dimulai dengan eksibisionisme, tetapi dapat berkembang menjadi kejahatan pelecehan seksual dan penganiayaan anak. Hal ini dianggap sangat berbahaya bagi masyarakat dan memerlukan perhatian lebih.

Kelas IV: Eksibisionis ekslusif

Pelaku ini tidak dapat membentuk hubungan romantis normal dengan orang dari kelompok preferensi jender mereka, dan tidak bisa melakukan hubungan seksual yang normal. Bagi mereka, eksibisionisme adalah satu-satunya saluran untuk kepuasan seksual. Penderita eksibisionis tersebut tampaknya tidak dilaporkan dalam literatur sejauh ini, tetapi berdasarkan teori kesetaraan parafilia, dapat diprediksi bahwa jenis seperti ini memang ada dalam masyarakat dan mereka akan dilaporkan suatu saat nanti. Perilaku, mereka terletak di ujung ekstrem dari kontinum parafilia karena mereka tidak dapat membentuk hubungan romantis normal dengan orang lain.

Lihat juga sunting

Referensi sunting

Catatan

  1. ^ Baunach, Dawn Michelle. "Exhibitionism" in Sex and Society. Tarrytown, New York: Marshall Cavendish, 2010. ISBN 978-0-7614-7906-2. p.220
  2. ^ "Origin of the world". Rutgerspress.rutgers.edu. 1977-09-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-20. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  3. ^ Herodotus. The Histories. Trans. R. Waterfield. Oxford: Oxford UP, 1998. Book Two, Chapter 60, Page 119.
  4. ^ Lasègue C. Les Exhibitionistes. L'Union Médicale (Paris), series 3, vol. 23; 1877. Pages 709–714.
  5. ^ a b Aggrawal, Anil (2009). Forensic and Medico-legal Aspects of Sexual Crimes and Unusual Sexual Practices. Boca Raton: CRC Press. ISBN 1-4200-4308-0. 
  6. ^ DSM-IV, American Psychiatric Association 1994
  7. ^ American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Washington, DC: Author.
  8. ^ Freund, K., Watson, R., & Rienzo, D. (1988). The value of self-reports in the study of voyeurism and exhibitionism. Diarsipkan 2008-07-10 di Wayback Machine. Annals of Sex Research, 2, 243–262.
  9. ^ "Psychologist Anywhere Anytime". Psychologist Anywhere Anytime. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  10. ^ "'REFLECTOPORN' HITS AUCTION SITE". The Mirror. 2003-09-09. Diakses tanggal 2007-07-28. 
  11. ^ "Today's media stories from the papers". The Guardian. 2003-09-09. Diakses tanggal 2007-07-28. 
  12. ^ "Urban Legends Reference Pages: Indecent Exposure". Snopes.com. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  13. ^ "Nude eBayer flashes 19in monitor". The Register. 2005-07-01. Diakses tanggal 2007-07-28. 
  14. ^ "eBayer goes for bust in ashtray auction". The Register. 2006-06-19. Diakses tanggal 2007-07-28. 
  15. ^ "eBay in wing-mirror reflectoporn shocker". The Register. 2006-07-14. Diakses tanggal 2007-07-28. 
  16. ^ "Reflectoporn@Everything2.com". Everything2.com. 2003-09-10. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  17. ^ Hirschfeld, M. (1938). Sexual anomalies and perversions: Physical and psychological development, diagnosis and treatment (new and revised ed.). London: Encyclopaedic Press.
  18. ^ Nadler, R. P. (1968). Approach to psychodynamics of obscene telephone calls. New York State Journal of Medicine, 68, 521–526.

Pranala luar sunting