Bioskop Majestic

bioskop bersejarah di Bandung

Bioskop Majestic adalah gedung bioskop yang terletak di kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Dibangun pada masa kekuasaan Hindia Belanda, Majestic menjadi salah satu bioskop pertama yang berdiri di Bandung. Gedung bioskop Majestic terletak di Jalan Braga, Bandung. Arsitek yang merancang desain bangunannya adalah Prof Ir Charles Prosper Wolff Schoemaker. Dibangun dengan berbalut gaya art deco yang pada era 1920-an menjadi tren arsitektur, bangunan ini juga dikenal dengan sebutan kaleng biskuit.[1] Schoemaker adalah sosok arsitek kondang yang melahirkan banyak karya di Bandung. Selain bioskop Majestic, ia juga membangun Gedung Asia Afrika, Gedung PLN, Masjid Cipaganti, dan Gereja Katedral.[2]

Saat baru didirikan, bioskop ini tidak dinamakan Majestic melainkan Concordia Bioscoop.Selain Concordia dan Majestic, bioskop ini juga pernah mengalami pergantian nama lagi, yaitu Oriental Bioskop dan Bioskop Dewi saat lepas dari Concordia Bioscoop.[3]

Masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia adalah waktu di mana bioskop Majestic mengalami penurunan pamor. Sejak 1980, kejayaan bioskop ini semakin memudar hingga saat ini bangunannya tak lagi difungsikan sebagai bioskop.[4]

Sejarah sunting

Bioskop Majestic didirikan dengan tujuan untuk mengiringi tumbuhnya kawasan Braga sebagai pusat aktivitas belanja bagi kaum elite Eropa pada pertengahan era 1920-an. Kala itu, pusat belanja yang tidak dilengkapi dengan pusat hiburan dirasa kurang lengkap. Apalagi bioskop memang merupakan tempat hiburan yang paling populer di kalangan orang Belanda.[5] Kawasan Braga tempat berdirinya bioskop Majestic sendiri memang dikenal sebagai kawasan elite yang ditempati para meneer Belanda yang bergerak di bidang usaha perkebunan.[1]

Kemunculan bioskop Majestic sebagai sarana masyarakat untuk menikmati hiburan sinema tidak lepas dari perkembangan industri perfilman yang berkembang pesat sejak ditemukannya sinematograf oleh Lumiere bersaudara asal Prancis. Antusiasme untuk menonton film menjadi semain tinggi, tak terecuali dengan Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda yang terbilang jauh dari Eropa. Meski masih berada di bawah belenggu penjajahan Belanda, industri perfilman ikut bergerak yang ditandai mendominasinya film-film Eropa dan Amerika. Salah satu fakta unik jika Majestic adalah salah satu bioskop yang membukikan jika perfilman Eropa dan Amerika mendominasi sejak era Hindia Belanda adalah sering diputarnya film-film yang diproduksi oleh Metro Goldwyn Mayer (MGM) selama beroperasinya.[6] Orang-orang Belanda yang tinggal di Bandung pun membutuhkan bioskop untuk bisa turut serta menikmati film yang semakin berkembang.[7]

Ramai dan hidupnya ranah hiburan perfilman kala itu sudah terasa bahkan sebelum memasuki gedung bioskop. Di muka gedung biasanya sudah banyak pemusik dan pedagang yang menjajakan dagangannya kepada para pegunjung. Adapun pemusik yang dimaksud adalah semacam grup musik yang mengiringi jalannya film. Para pemusik itu masuk ke bioskop dengan membawa beraneka ragam alat-alat musik seperti biola, gitar, cello, dan tambur.[7] Kelompok pemusik yang berbentuk orkes mini itu disediakan oleh pihak bioskop. Di samping pemusik dan pedagang, ada pula orang yang bertidak sebagai komentator untuk memandu penonton mencerna cerita selama film ditayangkan.[4]

Di balik ramainya bioskop Majestic, ada cara berpromosi yang terbilang unik untuk mengundang pengunjung, yaitu dengan mengandalkan kereta kuda sewaan. Poster film dipasang di kereta kuda itu, selanjutnya yang dilakukan adalah berkeliling kota Bandung sambil menyebarkan selebaran kepada warga yang dijumpai.[1]

Terdapat banyak hal yang berbeda dari bioskop Majestic yang menjadi primadona pada masa lampau dibandingan dengan bioskop-bioskop yang ada di berbagai daerah di Indonesia saat ini. Saat menonton film, di bioskop Majestic terdapat aturan mengenai pemisahan penonton berdasaran jenis kelamin. Tempat duduk untuk penonton laki-laki dan perempuan dipisah sehingga tidak ada penonton berbeda jenis kelamin yang bisa menonton film sambil berdekatan dan membaut satu sama lain. Meski demikian, pada praktiknya peraturan itu justru kerap tidak dijalankan di mana penonton laki-laki dan perempuan justru bercampur menjadi satu.[4] Hal lain yang membedakan bioskop Majestic sebagai bioskop masa lampau dengan bioskop dewasa ini adalah jam operasionalnya. Jika saat ini bioskop umumnya buka sepanjang hari, lain halnya dengan bioskop Majestic. Untuk menikmati film di sana, orang-orang hanya bisa datang pada pukul 19.30 hingga 21.00. Itulah jam pertunjukan film di bioskop.[7]

Keterbatasan teknologi yang tersedia membuat kenikmatan yang dirasakan penonton juga tidak seperti saat ini. Pada zaman dahulu, bioskop Majestic hanya memiliki proyektor yang mampu memutar satu reel film sepanjang 300 meter dan berdurasi 15 menit. Dengan demikian, jika film yang diputar durasinya satu jam maka perlu ada jeda tiga kali untuk mengganti reel. Selama jeda penggantian reel berlangsung. Penonton akan disuguhi iklan sejenak. Iklan yang ada pun bukan berupa video atau gambar bergerak, melainkan dalam bentuk gambar mati.[7]

Semakin banyaknya film-film Indonesia turut berimbas pada popularitas bioskop Majestic yang semakin meningkat pada dekade 1970-an. Namun kejayaan itu berlangsung tidak terlalu lama. Satu dekade kemudian atau pada era 1980-an, bioskop ini mulai meredup pamornya.[5]Menjamurnya cineplex atau bioskop modern menjadi pemicu redupnya pamor bioskop Majestic. Dari segi film yang ditawarkan kepada penonton pun, bioskop Majestic tidak bisa bersaing. Bahkan kemudian bioskop Majestic hanya mampu menayangkan film-film panas yang sekaligus menandai tumbangnya riwayat bioskop ini.[5]

Pemutaran Loetoeng Kasaroeng sunting

Bioskop Majestic menjadi saksi dari keberhasilan pemutaran Loetoeng Kasaroeng, film Indonesia yang pertama. Film Loetoeng Kasaroeng dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company dengan dua sutradara di balik layarnya, yaitu G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini mengangkat legenda masyarakat Sunda yang sering dibawakan melalui seni pantun.[4] Sebagai film Indonesia pertama, tokoh-tokohnya pun dibintangi oleh aktor dan aktris pribumi, salah satunya adalah anak-anak Bupati Bandung, Wiranatakusumah.[1]

Loetoeng Kasaroeng ditayangkan secara perdana di Bandung pada 31 Desember 1926 atau tepat pada malam tahun baru. Selain Majestic, ada satu bioskop lain di Bandung yang juga menayangkan film ini, yaitu Bioskop Elita. Berbeda nasib dengan Majestic yang bangunannya masih berdiri kokoh hingga sekarang, bangunan Elita kini sudah tidak ada. Saat menayangkan Loetoeng Kasaroeng, bioskop Majestic masih bernama Concordia karena letaknya berada tepat di samping Societeit Concordia yang kini menjadi Gedung Merdeka.[4]

Film Loetoeng Kasaroeng sebenarnya tidak hanya diputar di Bandung melainkan juga kota-kota lain. Namun, berhubung ceritanya yang berbasis pada cerita yang terkenal di Tanah Sunda, maka sambutan penonton di luar Bandung terbilang rendah.

Desain dan arsitektur sunting

Charles Prosper Wolff Schoemaker menerapkan aliran Indo Europeeschen Architectuur Stijl yang mengombinasikan elemen arsitektur tradisional dengan teknik konstruksi modern dari barat. Bagaimana ini diterapkan tampak dari ukiran dan ornamen barong yang terpampang di bagian depan gedung.[4] Selain itu (penanda gaya arstietur stijl), ciri lain terlihat dari adanya garis-garis vertikal dan horizontal pada bangunan.[5]

Bangunan ini didirikan di bawah arahan biro arsitektur Technisch Bureu Soenda.[5] Orang-orang dari golongan pribumi sempat menjuluki bioskop ini sebagai blikken trommel, yang dalam bahasa Belanda artinya kaleng timah atau kaleng biskuit. Sementara itu ruang pemutaran film di bagian dalam gedung dibuat dengan bentuk berundak yang menandakan kelas serta harga tiket yang dijual. Kelas 1 berada di balkon, kelas 2 di bagian bawah belakang, sementara kelas 3 ada di bagian paling depan.[4]

Menurut Adib Baskoro Pratomo dalam tulisannya di Prosiding Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia 2017, Schoemaker mempertahankan gaya arsitektur barat ketimbang mengadaptasi gaya arsitektur lokal secara menyeluruh. Saat itu, orang Belanda memang menggemari bangunan bergaya barat karena beranggapan mereka tidak akan tinggal untuk waktu yang lama di Indonesia.[8]

Apa yang dilakukan Schoemaker dalam rancangannya sebenarnya bertentangan dengan prinsip yang ia pegang. Menurut Schoemaker, tradisi bangunan pribumi di Jawa tidak ada yang dapat menjadi contoh bagi bangunan modern meski di sisi lain ada beberapa contoh bagus dari bangunan di luar pulau Jawa. Maka dari itu, Schoemaker beralasan bahwa adanya ornamen Batara Kala yang ditempatkan di atas gedung adalah sebuah kesalahan.[8]

Schoemaker mendesain gedung bioskop Majestic dengan penyesuaian terhadap iklim tropis Indonesia. Dibuatnya beberapa bukaan di bagian atas membuat aliran udara bisa bergerak guna menyesuaikan suhu di dalam ruangan. Ada juga kanopi kecil sebagai pencegah masuknya percikan air hujan. Sementara itu banyak jendela yang dibuat oleh Schoemaker, padahal ini adalah hal yang tidak lazim bagi bangunan bioskop.[8]

Kondisi saat ini sunting

Setelah sempat terbengkalai, Gedung bioskop Majestic direvitalisasi pada tahun 2002 dan mengalami perubahan fungsi menjadi Asia Africa Cultural Centre (AACC). Namun penggunaan gedung AACC dihentikan menyusul kasus meninggalnya 11 penonton dalam Tragedi AACC 2008.[1]

Aktivitas di gedung tersebut praktis menjadi mati suri setelah insiden tersebut. Setelahnya, gedung pernah dijadikan kantor meski hanya sementara karena dianggap tidak sesuai penggunaannya. Revitalisasi pun kembali dilakukan yang kali ini membuat gedung berfungsi sebagai kafe dengan nama Cafe Majestic di bawah pengelolaan Dinas Budaya dan Pariwisata kota Bandung.[1] Beranjak ke pertengahan tahun 2013, gedung bekas bioskop Majestic resmi berubah lagi menjadi tempat karaoke dengan nama New Majestic. Bagian dalam gedung ikut dirombak untuk memberikan servis kepada para pelanggan karaoke.[9]

Pengelolaannya gedung kemudian diambil oleh PD Jasa dan Kepariwisataan pada 2017, aktivitas di gedung ini hidup lagi dengan nama baru, De Majestic. Dengan mengusung konsep gedung pertunjukan, bangunan ini banyak dipakai untuk pagelaran kesenian Sunda hingga sempat digadang-gadang menjadi broadway-nya kota Bandung yang sekarang di kelola oleh Yayasan Mestika Wanodja Indonesia. Selain itu, gedung ini juga terbuka untuk dipakai kegiatan lain seperti lokakarya hingga acara pernikahan.[4]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f Sumandoyo, Arbi. Winarno, Hery H, ed. "Bioskop Majestic,". Merdeka.com. Diakses tanggal 2019-04-08. 
  2. ^ "Berita Bioskop Majestic Bandung Saksi Bisu Kelahiran "Loetoeng Kasaroeng[pranala nonaktif permanen]". https://fokusjabar.com/[pranala nonaktif permanen]. Diakses tanggal 2019-04-09.
  3. ^ "Bioskop Majestic/New Majestic". Info Pikiran Rakyat. 2016-04-19. Diakses tanggal 2019-04-09. 
  4. ^ a b c d e f g h digital, pikiran rakyat. "Gedung Majestic, Saksi Bisu Pemutaran Film Loetoeng Kasaroeng". Pikiran Rakyat. Diakses tanggal 2019-04-08. 
  5. ^ a b c d e "Bioskop Majestic/New Majestic". Info Pikiran Rakyat. 2016-04-19. Diakses tanggal 2019-04-08. 
  6. ^ Travelblog.id, Editor (2019-03-12). "Gedung Majestic, Gedung Bioskop Elite Di Kawasan Braga Bandung". Travel Blog Indonesia. Diakses tanggal 2019-05-07. [pranala nonaktif permanen]
  7. ^ a b c d Galih, Bayu (ed.). "Bioskop Concordia Bandung, Saksi Saat Film Indonesia Kali Pertama Diputar". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-04-08. 
  8. ^ a b c Adin Baskoro Pratomo, (2017), Gaya Arsitektur Bioskop Majestic di Bandung, Prosiding Seminar Heritage Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia 2017, Hal. 78-80.
  9. ^ Okezone. "Bioskop Pertama di Indonesia Kini Jadi Tempat Karaoke Dangdut: Okezone News". https://news.okezone.com/. Diakses tanggal 2019-04-09.