Ameng Sewang

suku bangsa dari Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia


Ameng Sewang merupakan sebutan bagi Suku Laut berada di Pulau Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.[1] Suku Ameng Sewang hidup di perahu dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lainnya. pola kepindahan berlangsung sesuai pergantian musim penangkapan ikan. bila bukan musim tangkap ikan, mereka menetap sementara di sekitar pantai untuk tinggal di perahu atau gubuk terapung.[2]

Ameng Sewang
EtnisSuku Laut
Lokasi asal leluhurPulau Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Suku indukSuku Laut
Populasi500 (1980)[1]
BahasaBahasa Melayu Belitung
AgamaIslam (mayoritas)

Sejarah sunting

Pada tahun 1668 beberapa kapal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) asal Belanda mendarat di Pulau Belitung, Ketika kapal dari VOC berlabuh di pulau belitung, para awak kapal mendapat serangan dari sekelompok orang Ameng Sewang. Caatatan kolonial Belanda mencatat, suku Ameng Sewang pernah mempertahankan Pulau Belitung yang kaya timah itu terhadap pendudukan tentara kongsi dagang Belanda pada abad ke-17. Hal ini menunjukkan bahwa mereka pernah mempunyai kekuatan yang cukup signifikan. Hanya saja, tidak tertera secara jelas dalam catatan VOC tersebut seberapa besar populasi dan seperti apa kekuatan suku bangsa ini dalam mempertahankan Pulau Belitung dari invasi VOC tersebut. Mereka mempertahankan wilayahnya akrena kedatangan VOC, yang akan mengeksplorasi timah di Pulau Belitung, dianggap dapat mengubah atau bahkan merusak tatanan alam kelautan yang menjadi basis sosio-kultural suku bangsa Ameng Sewang.[3]

Pada tahun 1950-an jumlah mereka diperkirakan masih ada ribuan kepala keluarga. Akan tetapi jumlah itu rupanya semakin menciut karena seleksi atau tantangan alam di tengah kehidupan di laut yang keras dibandingkan dengan pengetahuan mereka yang masih sederhana dalam menghadapi tantangan itu. Satu keluarga yang sempat mendapat enam orang anak sudah merasa beruntung andai kata ada dua orang anak yang sempat hidup sampai dewasa. Pada tahun 1980 di empat kecamatan Tanjung pandan, Kecamatan membalong, Kecamatan Manggar, dan Kecamatan Gantung, diperkirakan jumlah mereka hanya 500 jiwa yang tergabung dalam kira-kira 150 kepala keluarga.[4]

Perubahan sosial sunting

Kini anggota masyarakat ini bukanlah sebagai masyarakat yang menetap, tetapi hidup di atas perahu dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau kecil lainnya di sekitar pulau Belitung. Di sekitar Pulau Belitung ini ada sekitar 120 pulau kecil. Kepindahan mereka berlangsung menurut musim penangkapan ikan. Bila bukan musim ikan mereka menetap buat sementara di sekitar pantai; di sana mereka tinggal dalam perahu atau dalam gubuk-gubuk sementara yang mereka buat sendiri.[1]

Mata pencaharian pokok mereka adalah menangkap ikan dan mencari hasil laut lainnya. Alat penangkapan ikan yang digunakan masih sederhana, misalnya pancing dan tombak. Dengan cara dan alat sederhana itu mereka dengan mudah dapat memenuhi kebutuhannya. Mereka yang masih sering disebut sebagai kelompok “masyarakat terasing” itu sudah mengenal minuman bir, dan jenis minuman keras lainnya. Sejak masa-masa yang lalu mereka memang sudah terbiasa minum tuak nira kelapa. Kebiasaan merokok menjadi kegemaran umum masyarakat ini yang rata-rata sudah memulainya sejak umur yan relatif muda.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K Melalatoa, J. 1995. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 34-35
  2. ^ Pramono, D. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  3. ^ Ameng Sewang Diarsipkan 2015-03-27 di Wayback Machine. diakses 28 April 2015
  4. ^ mengenal suku bangsa laut Diarsipkan 2014-11-06 di Wayback Machine. diakses 28 April 2015