Agama Balian atau yang sekarang beberapa kalangan menyamakan dengan agama Kaharingan adalah agama asli penduduk Meratus yang belum tersentuh ajaran agama lain. Pemimpin ritus-ritus keagamaan mereka di sebut seorang Balian. Praktik seorang Balian tampaknya paralel dengan apa yang dikenal dengan ‘Shaman’ atau 'Shamanism’ dalam terminologi kajian agama di Barat.

Noerid Haloei Radam menemukan, makna kata ‘Balian’ bagi orang Meratus cukup luas: Balian pada agama Balian dapat berarti macam-macam. Dia dapat berarti nama atau penamaan dari sesuatu agama, atau orang yang meyakini dan melakukan serta mengajarkan agama tersebut, atau cara atau teknik merawat, memelihara sesuatu secara magis. Dalam pengertian yang terakhir ini, mambaliani padi atau mambaliani si sakit, maka yang bersangkutan itu melakukan pemeliharaan dan perawatan padi, atau usaha pengobatan si sakit secara tradisional (Radam 2001: 230-231).

Adapun balai adalah rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, "memusat" karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang berbentuk panjang (Rumah Panjang).

Menurut Radang ketika orang Meratus ditanya apa agama mereka, mereka kebanyakan cenderung menjawab dengan agama Balian. Dalam konteks politik agama di Indonesia di mana hanya enam agama yang diakui pemerintah, agama Balian termasuk yang tidak atau belum diakui. Menurut Anna L. Tsing (1998: 400), pada tahun 1970-an, sekelompok Balian di perbukitan barat Meratus, mencoba membujuk pemerintah agar memasukkan Balian sebagai agama. Sedangkan di sebelah timur Meratus, kelompok serupa malah berpendapat bahwa agama Balian adalah sama dengan Budhisme yang sudah diakui oleh pemerintah. Kemudian pada tahun 1980-an, orang-orang Meratus mulai menggunakan istilah agama Kaharingan, suatu istilah Kalimantan Tengah untuk agama Suku Ngaju.

Namun menurut penelitian Mujiburahman dkk dalam risetnya (Badingsanak Banjar-Dayak identitas agama dan ekonomi etnisitas di Kalimantan Selatan) Ketika berada di lokasi penelitian (desa Loksado dan Hulu Banyu) dan bercengkrama dengan beberapa penduduk setempat, mereka sekarang umumnya menyebut agamanya dengan Kaharingan. Mereka menduga salah satu yang menyebabkan hal ini adalah hubungan yang semakin mudah dan intens antara orang Meratus dan Ngaju di Kalimantan Tengah. Tapi kenyataannya, menyamakan begitu saja antara orang Meratus dengan Ngaju bukanlah isapan jempol belaka, sebab bahasa mereka jelas berbeda, dan kepercayaan serta ritus-ritus orang Meratus tidaklah sama dengan yang ada dalam Kaharingan. Tetapi bagi sebagian orang Meratus saat ini, mungkin istilah Kaharingan adalah pilihan yang lebih praktis ketimbang agama Balian yang kurang dikenal.[1]

Referensi sunting

  1. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-27. Diakses tanggal 2016-09-12.