Tubagus Alipan (lahir di Pandeglang, Banten, 1902; tidak diketahui tahun kematiannya atau mungkin masih hidup) merupakan salah satu tokoh masyarakat Banten yang ikut terlibat di dalam pemberontakan PKI pada 1926 melawan Pemerintahan Kolonial Belanda.[1]

Tubagus Alipan

Riwayat Hidup sunting

 
H.O.S. Tjokroaminoto yang menjadi inspirasi Tubagus Alipan

Ia lahir di Pandeglang, Banten pada tahun 1902 dari seorang keluarga pegawai kecil dan menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandse School (HIS) Pandeglang.[2] Pada tahun 1916, ketika Tjokroaminoto datang bekunjung ke Pandeglang, ia terpikat oleh daya tariknya dan mulai tertarik ke dalam dunia politik. “Tjokroaminoto adalah manusia hebat dan menyimbolkan kebangkitan masyarakat Indonesia,” katanya kepada Michael Williams yang mewawancarainya pada tahun 1976.[1] Pada 1917 dia merantau ke Temanggung, Jawa Tengah di mana dia bekerja sebagai buruh pada industri percetakan.[2]

Masuk PKI sunting

Pada 1921, Alipan menjadi anggota PKI sekaligus diserahi tanggungjawab sebagai agen propaganda dan kemudian aktif di Sarekat Dagang di Temanggung.[2] Di Temanggung, ia bertanggung jawab untuk memimpin serikat buruh yang merupakan afiliasi PKI.[2] Adalah Darsono, tokoh Sarekat Islam Semarang dan pemimpin PKI di era awal yang meminta Alipan pulang ke Banten untuk membangun cabang partai di tanah kelahirannya itu.[3]

Alipan pulang ke Banten dengan perasaan yang mengganjal dalam pikirannya. Dia seorang komunis yang merasa bingung masuk lagi ke dalam masyarakat yang masih terkungkung nilai-nilai tradisional. Bahkan saat kawannya yaitu Achmad Bassaif, seorang keturunan Arab-Banten yang fasih berbahasa Arab, memintanya untuk memasang gelar kebangsawanan Banten, Tubagus, Alipan menolak. “Adalah hal aneh bagi saya kembali ke Banten setelah sekian tahun menghilang. Di Jawa pun saya tidak lagi menyandangkan gelar saya karena hal itu sangat feodal dan kolot,” katanya .[3][4]

Membesarkan PKI dan Menyusun Pemberontakan 1926 sunting

Alipan, Bassaif, bersama Puradisastra, seorang Sunda Ciamis beristrikan perempuan dari Menes, Pandeglang, bersama-sama membangun cabang PKI mulai dari kecil. Tiga serangkai inilah yang mengorganisir pertemuan, menggalang pengikut dan menyebarkan agitasi ideologi partai. Mereka bertiga kemudian menjadikan Islam sebagai senjata propaganda.

Dalam propaganda mereka, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang Belanda dan disamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara detail dan banyak mengenai perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan demikian, dalam usaha mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para proganda PKI berusaha tidak menghilangkan pengertian komunisme, tetapi lebih mengedepankan persamaan perjuangan antara Islam dan PKI. Oleh karena itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten bahkan diantara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten.[3][5][6]

Kemungkinan salah satu sebab tertariknya para kyai bergabung dengan PKI yang ditawarkan Tubagus Alipan karena "Politik Obat Cacing". Ketika itu, ada para kyai yang pro terhadap kebijakan Pemerintahan Kolonial Belanda yang memberikan pil kepada para penderita cacingan. Sementara, para kyai yang kontra berpendapat bahwa obat cacing yang diberikan tidak jelas di mata mereka halal haramnya karena tidak mengetahui dari bahan apa dan bagaimana proses pembuatan obat tersebut.[5]

Menarik Dukungan Kalangan Petani dan eks Kesultanan Banten sunting

Selain mendapat dukungan dari para ulama, para petani di Banten pun mendukung gerakan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI. PKI menjanjikan kepada para petani bahwa partainya akan membebaskan petani dari pajak kepal/perorangan (hoofdgeld). Pajak inilah yang membuat resah petani sehingga suatu saat akan meledak menjadi sebuah perlawan jika ada yang mampu menggerakkannya. PKI mampu membaca situasi itu sehingga mendapat dukungan penuh dari para petani Banten.[3]

Alipan kemudian mengikuti anjuran Bassaif untuk menggunakan kembali gelar kebangsawanannya dan kemudian menemukan manfaatnya ketika menggalang solidaritas dengan keluarga keturunan Kesultanan Banten. Alipan bersama Tubagus Hilman, juga seorang propagandis PKI Banten, bertugas menjalin kontak dengan para keluarga keturunan Kesultanan Banten.[1]

Mereka dengan mudah diterima selain karena gelar bangsawannya, juga karena keluarga keturunan Kesultanan Banten memiliki riwayat konflik dengan Pemerintah Kolonial yang jauh berakar ke masa lalu mereka. Kesultanan Banten dibubarkan oleh Daendels pada 1808 dan pada 1813, Kesultanan Banten dihapuskan sama sekali oleh Thomas Stamford Raffles.[1] Sekitar 200 keluarga besar kesultanan berhasil digalang oleh mereka. Salah satu tuntutan yang diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah agar mereka mendapatkan uang pensiun.[1]

Persiapan Pemberontakan di Banten sunting

Alipan turut berperan dalam pendiran sebuah organisasi rahasia cikal-bakal basis massa PKI Banten. Michael Williams mencatat nama organisasi itu bernama “Rukun Asli”, sementara menurut buku resmi Pemberontakan November 1926 terbitan Lembaga Sedjarah PKI organisasi itu disebut “Pirukun Pribumi”.[2] Ketika PKI seksi Banten terbentuk resmi pada September 1925, Alipan terpilih menjadi sekretarisnya. Bangunan kantor PKI Banten terletak di Pasar Lama Serang, milik Lee Eng Hock, yang juga anggota PKI. Semenjak berdiri sebagai organisasi yang terbuka, PKI semakin aktif melakukan propaganda dan agitasi.[1][4]

Berdasarkan keputusan konferensi PKI di Prambanan pada 25 Desember 1925, telah diputuskan untuk seluruh cabang PKI mempersiapkan sebuah pemberontakan melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.[7] Menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia, untuk mendukung rencana itu dibentuklah organisasi rahasia DO atau Dictatoriale Organisastie di bawah kepemimpinan Winanta, ketua PKI Batavia.[7] Tugas DO merekrut tentara dan polisi untuk jadi tentara merah, mengumpulkan dana dan perbekalan. Di Banten, Alipan terpilih menjadi anggota komite DO bersama tokoh-tokoh Banten lainnya seperti Haji Achmad Chatib (Kelak Chatib jadi pemimpin pemberontakan yang utama dan memainkan peran sentral dalam revolusi sosial di Banten pada pengujung 1945). Organisasi rahasia tersebut pada akhirnya berhasil merangkul kelompok jawara dan ulama.

Kekecewaan terhadap Sarekat Islam yang gagal jadi tumpuan harapan perubahan membuat PKI mendapatkan tempat hati masyarakat Banten. Berdasarkan laporan Residen Banten De Vries, pada pengujung 1925 anggota PKI di Banten mencapai 1200 orang. Dengan semakin aktifnya PKI, kecurigaan pemerintah kolonial semakin meninggi. Razia demi razia dilakukan. Penangkapan terhadap para pemimpin PKI makin gencar. Tidak seperti dua rekannya, Tubagus Hilman dan Ali Mamak, Alipan luput dari penangkapan. Ia masih leluasa bergerak menjadi propagandis PKI seksi Banten.[5]

Kabur dan Bertemu Tan Malaka sunting

 
Tan Malaka

Ketika pemberontakan pecah pada 12 November 1926, lagi-lagi Alipan berhasil lolos dari kejaran polisi kolonial. Bersama Tje Mamat, ketua subseksi PKI Anyer, mereka melarikan diri ke Palembang, kemudian ke Malaya (kini Singapura). Menurut sejarawan Harry A. Poeze, di Malaya Alipan dan Tje Mamat sempat bertemu dengan Tan Malaka. Kabarnya, Alipan dan Tje Mamat akan pergi ke Moskow tetapi dapat dicegah oleh Tan Malaka. Sejak saat itulah Alipan dan Tje Mamat menjadi simpatisan Tan Malaka dan bergabung dengan Partai Republik Indonesia (Pari). Pari didirikan oleh Tan Malaka karena kecewa dengan keputusan pemimpin PKI yang terburu-buru melakukan pemberontakan.

Selama masa persembunyiannya di Malaya, Alipan bekerja serabutan dan kemudian diterima bekerja pada sebuah percetakan. “Bapak dulu kerja di percetakan Al-Qur'an di Singapura,” kata Uki. Selain bekerja, Alipan juga belajar bahasa Mandarin dan memperlancar kemampuan bahasa Inggrisnya. “Bapak dulu kalau ke pasar ketemu orang Tionghoa dia pakai bahasa Mandarin. Bahasa Inggris dan Belandanya juga lancar,” kata Muslihat, salah satu anak Tubagus Alipan.[1]

Kembali ke Indonesia sunting

Anak-anak Alipan tak tahu kapan Alipan pulang ke Indonesia. Menurut Uki, ayahnya aktif di dalam berbagai kegiatan tak lama setelah Indonesia merdeka. Els Ensering dalam tulisannya “Banten in Time of Revolution” yang dimuat dalam jurnal Archipel Vol. 50/1995 menulis kedatangan Alipan dan Tje Mamat ke Indonesia diperkirakan pertengahan tahun 1930-an. Kemudian, pada dekade 1940-an mereka mendirikan organisasi bawah tanah dan menjalin kontak rahasia dengan para jawara dan buruh-buruh di Batavia.

Tak ada catatan mengenai keikutsertaan Alipan di dalam Dewan Rakjat yang dibentuk oleh Tje Mamat, sahabatnya selama pelarian ke Malaya itu. Menurut sejarawan Universitas Indonesia Suharto di dalam disertasinya yang berjudul Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Dampaknya, dewan rakjat yang menggerakan revolusi sosial di Banten tersebut berhasil dibubarkan oleh pemerintah pada Januari 1946. Kendati memiliki hubungan dekat dengan Tje Mamat, KH Achmad Chatib tetap pada posisinya sebagai residen Banten.

Suharto menulis sempat tersiar kabar bahwa Kesultanan Banten bakal dihidupkan kembali dengan menobatkan Chatib sebagai sultannya. Namun hal itu dicegah dengan kunjungan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Banten. Dalam kunjungan tersebut, Hatta melakukan beberapa perbaikan sistem tata pemerintahan. Pada 4 Maret 1947, Majelis Ulama Banten berkongres dan menyatakan kepada pemerintah pusat agar menempatkan pegawai-pegawai yang dicintai rakyatnya dan sesuai dengan situasi di Banten. Alipan kemudian diterima bekerja di jawatan pengairan (kini termasuk Dinas Pengairan Departemen Pekerjaan Umum), di Pandeglang.[1]

Menjadi PNS dan Simpatisan PSI Sutan Sjahrir sunting

Selain jadi pegawai negeri, Alipan pun aktif mengembangkan koperasi dan pendidikan. Yang menarik, usai masa revolusi, Alipan justru menjadi simpatisan Sutan Sjahrir dan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tubagus Said, 86 tahun, mantan pengurus PKI cabang Pandeglang, kolega dekat Alipan pernah melihat ada lambang partai PSI di rumah Alipan. “Waktu itu dia memang jadi anggota PSI,” kata Said saat ditemui di rumahnya di Pandeglang.

Pada tahun 1964, Presiden Sukarno menerbitkan UU No. 5, perpres yang mengangkat para pelaku pemberontakan PKI 1926 sebagai perintis kemerdekaan. Menurut Uki, saat keputusan itu terbit, Achmad Chatib menyambangi Alipan dan memintanya untuk mengajukan permohonan tunjangan perintis kemerdekaan. Chatib siap memberi jaminannya. “Tapi bapak tidak mau. Ngapain dobel-dobel katanya. Saya mah kerja udah, dapat gaji. Peristiwa itu (pemberontakan 1926, red.) dulu memang sudah jadi tugas perjuangan saya, saya mah cuma menjalankannya saja,” pungkas Uki mengutip kata-kata ayahnya.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i "Tubagus Alipan, Tokoh Kecil dalam Sejarah Besar". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  2. ^ a b c d e 1949-, Williams, Michael C. (Michael Charles), (2010). Sickle and crescent : the Communist revolt of 1926 in Banten (edisi ke-1st Equinox ed). Jakarta: Equinox Pub. ISBN 9786028397537. OCLC 630309668. 
  3. ^ a b c d "PEMBERONTAKAN PKI 1926 DI KABUPATEN LEBAK* * * * - nimusinstitute". sites.google.com. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  4. ^ a b Arit dan bulan sabit: Pemberontakan komunis 1926 di Banten | Perpustakaan FIS. 
  5. ^ a b c Hits, Banten Hits | Tangerang. "Kyai-kyai 'Merah' di Banten dan Pemberontakannya - Situs Berita Banten". www.tangeranghits.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-01. Diakses tanggal 2017-11-27. 
  6. ^ Bermara, Gerri (2015-10-11). "Kiai-kiai 'Merah' di Banten dan Pemberontakannya". bantenhits (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-14. 
  7. ^ a b "Meletusnya Pemberontakan Kaoem Merah". Jejak Islam untuk Bangsa (dalam bahasa Inggris). 2016-09-28. Diakses tanggal 2017-11-27. 

Buku terkait sunting

  • Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 Di Banten, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003. Unduh (Bebaskan Buku!)