Tragedi Bintaro (film)

film Indonesia tahun 1989

Tragedi Bintaro adalah film Indonesia bergenre drama tragedi yang diproduksi pada tahun 1989 dan disutradarai oleh Buce Malawau. Film ini dibintangi antara lain oleh Roldiah Matulessy, Ferry Octora, dan Lia Chaidir. Film ini diangkat dari kisah nyata seorang korban kecelakaan kereta api Bintaro 1 pada tanggal 19 Oktober 1987.

Tragedi Bintaro
Sampul VCD
SutradaraBuce Malawau
ProduserBucuk Suharto
Ditulis olehMarselli
Berdasarkan
Tragedi Bintaro (1987)
PemeranRoldiah Matulessy
Ferry Octora
Lia Chaidir
Asrul Zulmi
Aspar Paturusi
Nyoman Ayu Lenora
Cynthia Fransiska
Ferry Iskandar
Andi Hermawan
Yoga Pratama
Tino Karno
Penata musikSuka Hardjana
SinematograferWilliam Samara
PenyuntingMaruli Ara
DistributorSafari Sinar Sakti Film
Tanggal rilis
1989
Durasi93 menit
Negara Indonesia
BahasaBahasa Indonesia

Sinopsis sunting

Juned (Fery Octora[1]) tinggal bersama neneknya, Minah (Roldiah Matulessy) dan keempat saudaranya di perkampungan padat Jakarta. Kedua orang tua Juned sudah pisah rumah akibat ketidak cocokan. Nenek Minah mengasuh lima orang cucu sekaligus sehingga nenek minah bekerja apa saja untuk menyambung hidup dari menjadi tukang pijat hingga tukang cuci pakaian meski kadang tidak bersih hasil cuciannya. Kedua orang tuanya meski belum bercerai akan tetapi sudah berpisah. Lena (Lia Chaidir), ibu Juned bekerja di konveksi yang sesekali datang kerumah nenek, sedangkan Bapaknya Efendi (Asrul Zulmy) bekerja di bengkel. Akibat keegoisan kedua orangtuanya, Juned dan saudara-saudaranya menjadi korban.

Adegan dibuka dengan Juned bersama temannya menyusuri rel kereta api sambil membicarakan isu Koran Sinar Harapan yang akan dibredel. Seperti layaknya bocah, anak-anak Fendi biasa bercanda dan berkelahi dengan sesama saudaranya. Mulyadi kakak Juned misalnya sering bersalah paham dengan Juned. Sementara itu, meskipun Juned anak kedua, tetapi ia mempunyai tanggung jawab yang tinggi. Ia berjualan koran. Sedikit demi sedikit Juned menabung hasil penjualan korannya dalam celengan.

Sementara itu, di sekolah Mulyadi tidak boleh masuk kelas karena menunggak uang sekolah selama 4 bulan, melihat itu Juned menyuruh Mulyadi untuk meminta uang pada bapaknya, akan tetapi bapaknya tidak memberinya uang dengan alasan tidak punya uang, bahkan menyuruh Mulyadi untuk tidak datang-datang lagi. Juned yang cerdas akhirnya menemui bapaknya di bengkel untuk meminta uang, tetapi tidak diberi dengan alasan belum gajian, akhirnya Juned ngambek dan lari meninggalkan bapaknya. Bapaknya mengejarnya dan akhirnya memberinya uang, yang ternyata uang itu adalah untuk kakaknya Mulyadi yang belum membayar uang sekolah. Mengetahui itu nenek Minah menjadi kesal pada Juned, karena dianggapnya itu atas suruhan neneknya.

Merasa hidupnya makin susah di Jakarta, Nenek Minah mengajak cucu-cucunya untuk pindah ke desa. Nenek minah akan membawa cucu-cucunya berangkat dahulu sementara ibunya Juned disuruh menyusul kemudian. Sementara itu, di perempatan tempat Juned menjual koran, temannya memberi tahu kalau Bapaknya sedang makan di restoran bersama seorang perempuan. Juned yang bergaya kocak, menghampiri bapaknya dan langsung meminta uang, melihat itu Juned mengira kalau itu pacar bapaknya meski dengan gaya yang kocak, akan tetapi kata-kata yang Juned lontarkan mengena di bapaknya. Begitu sampai di rumah nenek Minah, Juned langsung memberi tahu neneknya kalau ia habis ketemu bapaknya dengan seorang wanita tanpa mengetahui kalau ibunya berada di dalam sedang sakit. Mengetahui ibunya sakit, Juned membuka celengan dan menyuruh neneknya membawa ibunya berobat.

Malamnya Juned pergi ke kontrakkan Bapaknya untuk memberitahu kalau ia dan neneknya akan pindah ke desa sehingga tidak merepotkan bapaknya lagi. Juned juga meminta uang ganti pada Bapaknya karena uang Juned yang ditabungan habis dipakai untuk berobat ibunya, tetapi tidak langsung diganti.

Sekali waktu, Efendi mengajak anak-anaknya untuk berlibur ke Dunia Fantasi dan bermain-main, tetapi tanpa kehadiran Juned. Begitu pulang dari jalan-jalan, Efendi membagi-bagikan hadiah pada anak-anaknya, juga uang untuk nenek. Hadiah Efendi untuk Juned tidak jadi diberikan karena Juned belum pulang sehingga hadiah itu dibawa pulang kembali oleh Efendi untuk disimpan dan diberikan langsung pada Juned.

Persiapan nenek Minah untuk pulang kedesa dari hari kehari selalu dipersiapkan. Demikian juga Juned yang selalu cerita pada Memet, temannya sesama penjual koran. Menurut rencana, ibunya akan pulang belakangan sedangkan nenek Minah pulang duluan membawa cucunya. Anak-anak memakai hadiah yang diberikan bapaknya untuk pulang, kecuali Juned yang hadiahnya belum diberikan sehingga Juned uring-uringan. Mulyadi berusaha menenangkannya.

Begitu Subuh tiba, nenek Minah bersiap-siap untuk ke stasiun setelah sebelumnya berpamitan pada pak haji pemilik kontrakan. Efendi menyusul kerumah kontrakan Nenek Minah dan hanya bertemu dengan Pak Haji karena nenek dan anak-anak sudah berangkat ke stasiun. Akhirnya dengan memacu mobilnya, Efendi menyusul ke stasiun. Sementara di gerbong kereta Juned masih uring-uringan karena belum diberi hadiah oleh bapaknya. Juned menunggu-nunggu bapaknya yang tidak datang-datang hingga akhirnya dengan setengah terpaksa Juned naik kereta.

Begitu kereta berjalan pelan, Efendi telah sampai di stasiun dan langsung mengejar di mana anak-anaknya berada untuk memberikan hadiah Juned lewat jendela. Akan tetapi kereta yang telah berjalan dan besarnya bungkusan yang diberikan tidak bisa masuk lewat jendela, akhirnya Juned pun tidak menerima hadiah tersebut. Juned menangis karena hadiah itu tidak bisa ia terima.

Di tengah perjalanan pada km ±18.75 dari arah yang berlawanan, muncul kereta lain yang sarat dengan penumpang pada rel yang sama. Akhirnya terjadilah tabrakan maut antara dua kereta yang menyebabkan timbulnya korban jiwa. Juned yang terjepit berteriak memanggil neneknya, sedangkan Mulyadi berusaha memanggil-manggil bapaknya. Seluruh keluarga nenek Minah tewas dalam kecelakaan maut tersebut, hanya tersisa Juned. Tangisan dan teriakan histeris mewarnai kecelakaan maut tersebut, darah dimana-mana.

Sementara itu Efendi akhirnya mengetahui kecelakaan itu setelah ditelepon dan langsung ke rumah sakit untuk melihat jasad keluarganya. Keberadaan Juned yang terjepit akhirnya dapat dikeluarkan, dan di rumah sakit kedua orang tua Juned akhirnya dipersatukan olehnya. Juned menyuruh kedua orangtuanya untuk berbaikan.

Di akhir kisah, muncullah Juned yang sebenarnya di rel kereta api dengan memakai penyangga kaki, karena kaki yang kiri harus diamputasi. Juned adalah salah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro. “Sayalah Juned salah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro, saya berterima kasih karena kisah kami sekeluarga diangkat kelayar putih lewat film ini, moga-moga ada hikmahnya bagi kita semua” demikian kata-kata Juned yang asli di akhir kisah.

Pemeran sunting

Penghargaan sunting

Tahun Penghargaan Kategori Penerima Hasil
1989 Festival Film Indonesia 1989 Film Terbaik Tragedi Bintaro Menang
Sutradara Terbaik Buce Malawau Menang
Pemeran Pendukung Pria Terbaik Asrul Zulmi Menang
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Lia Chaidir Nominasi
Pemeran Cilik Terbaik Ferry Octora Menang
Skenario Terbaik Marselli Nominasi
Cerita Asli Terbaik Marselli Nominasi
Penyuntingan Terbaik Maruli Ara Nominasi
Tata Musik Terbaik Suka Hardjana Nominasi
Tata Suara Terbaik Kemal Redha Nominasi
Tata Sinematografi Terbaik William Samara Nominasi
Tata Artistik Terbaik Rogoes Soemarco Nominasi
Piala Kartini Pemeran Cilik Terbaik Ferry Octora Menang

Sumber:[1] Diarsipkan 2013-12-24 di Wayback Machine.

Referensi sunting

  1. ^ "Tragedi Bintaro (1989)". filmindonesia.or.id. Diakses tanggal 2023-01-31. 

Pranala luar sunting