Teuku Ben Mahmud

pahlawan nasional Indonesia

Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja atau Teuku Ben Mahmud (lahir sekitar tahun 1860) adalah uleebalang Blangpidie yang memimpin perang gerilya melawan Belanda di pesisir barat selatan Aceh hingga tanah Batak pada awal abad ke-20. Teuku Ben Blang Pidië beserta 160 pasukannya turun gunung pada Juli 1908 setelah sebulan sebelumnya Belanda berhasil menyandera keluarga dan beberapa pasukan Teuku Ben. Pada tahun 1911, Teuku Ben Mahmud diinternir menggunakan kapal van doorn ke Maluku.[1] Salah satu cucunya adalah Abdul Gafur.

Teuku Ben Mahmud Setia Raja
Ulèëbalang Nanggroë Blangpidië
Zelfbestuurder n.b. Landschap Blang-Pidië
Masa jabatan
1885–1911
PresidenSultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat
Sebelum
Pendahulu
Teuku Ben Abbas
Teuku Nyak Sawang (de jure)
Pengganti
Teuku Banta Sulaiman
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir1860 (perkiraan)
Kesultanan Aceh Kuta Batee, Blangpidie, Kesultanan Aceh Darussalam
Meninggal1915 (perkiraan)
Belanda Ambon, Hindia Belanda
Orang tuaTeuku Ben Abbas (ayah)
ProfesiUleebalang
Karier militer
PihakKesultanan Aceh Kesultanan Aceh Darussalam
Masa dinas1873-1908
PangkatMayor Jenderal
Pertempuran/perangPerang Aceh dengan Belanda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan Awal sunting

Teuku Bentara Mahmud lahir di Kuta Batee (Blangpidie) sekitar tahun 1860. Ayahnya bernama Teuku Bentara Abbas bin Teuku Bentara Agam yang berasal dari Pidie. Saat masih muda, Teuku Ben Mahmud dikenal dengan sebutan Mahmud Panglima Gumbak atau Anak Bergumbak (Berjambul). Pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud diangkat oleh Sultan Aceh menjadi uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja.

Berdasarkan besluit, Zelfbestuur Landschappen (hulubalang daerah swapraja) Pulau Kayu-Blangpidie sebelumnya adalah Teuku Nyak Sawang yang menandatangani korte verklaring pada tanggal 9 Maret 1874 (sejak saat itu nama Kuta Batee resmi menjadi Blangpidie) dan dikukuhkan pada tanggal 27 Juli 1874. Setelah kematian Teuku Nyak Sawang, uleebalang Pulo Kayee (Pulau Kayu) dijabat oleh Teuku Nyak Cut.

Pada awal abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Kuta Batee antara beberapa pemimpin koloni dari Pidie dan Aceh Besar. Hingga kemudian Tuanku Pangeran Husein bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1836-1869) dapat mendamaikan keduabelah pihak yang bertikai sekaligus memberikan cap seuteungoh kepada Teuku Ben Abbas sebagai uleebalang Blangpidie yang pertama terlepas dari Kenegerian Susoh.

Setelah Teuku Ben Abbas meninggal dunia, kepemimpinan kenegerian Blangpidie dilanjutkan oleh Teuku Ben Mahmud. Saat masa kecil Teuku Ben Mahmud bertindak sebagai pemangku raja, sedangkan pemerintahan dikendalikan oleh Teuku Nyak Sawang gelar Raja Muda Blangpidie, uleebalang Pulau Kayu.

Hubungan antara uleebalang Blangpidie dengan uleebalang Pulau Kayu bermula dari tokoh pendiri kenegerian Pulau Kayu yang bernama Teuku Nyak Syeh yang menikahi Nyak Buleun, cucu tertua dari Tok Gam. Pulau Kayu kala itu menjadi pelabuhan satu-satunya Blangpidie yang bersebelahan langsung dengan Bandar Susoh.

Saat Teuku Ben Mahmud menunjukkan sikap perlawanan terhadap Belanda pada 1873, Teuku Nyak Sawang bertindak atas nama uleebalang Blangpidie menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada tahun 1874.

Teuku Ben Mahmud memiliki empat orang istri yaitu Cut Meurah, Cut Mata Ie, Cut Gadih dan Cut Linggam. Putra pertamanya bersama istri pertama (Cut Meurah binti Teuku Pang Chik) lahir pada tahun 1884 dan diberi nama Teuku Banta Sulaiman.

Pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud ditunjuk oleh Sultan Muhammad Daud Syah sebagai uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja. Namun dianggap tidak sah oleh Belanda. Sedangkan berdasarkan besluit Belanda, uleebalang Blangpidie dijabat Teuku Nyak Sawang gelar Raja Muda Blangpidie.

Baru pada tahun 1908, Belanda mengembalikan hak Teuku Ben Mahmud sebagai uleebalang Blangpidie setelah ia turun gunung. Keluarga Teuku Nyak Sawang kemudian mengajukan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar negeri Blangpidie dan Pulau Kayu menjadi negeri otonom yang terpisah.

Pengukuhan perjanjian itu dituangkan dalam Akta No.10 tanggal 15 Juni 1901, ketika Teuku Raja Cut menjabat sebagai uleebalang Pulau Kayu. Akan tetapi, akta tersebut tidak sempat dilaksanakan dikarenakan Teuku Raja Cut meninggal, sehingga seterusnya keturunan Teuku Ben Mahmud dianggap sebagai penguasa wilayah tersebut dengan nama Zelfbestuurder Blangpidie.

Seterusnya, Teuku Banta Sulaiman bin Teuki Ben Mahmud menjadi uleebalang Blangpidie dan Teuku Umar bin Teuku Raja Cut menjadi uleebalang cut Pulau Kayu. Adapun Teuku Muhammad Daud bin Teuku Raja Cut menjadi uleebalang cut Guhang dengan gaji 25 Gulden. Gaji ini lebih tinggi daripada gaji uleebalang cut lainnya di Pantai Barat Selatan Aceh.[2]

Perjuangan sunting

Sejak Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada 26 Maret 1873, Teuku Ben Mahmud terus menunjukkan sikap perlawanan menentang keberadaan Belanda di Aceh. Teuku Ben sejak muda selalu mendukung dan membantu upaya perlawanan terhadap Belanda. Bahkan saat remaja, ia secara tegas juga tidak mengakui kekuasaan Belanda di Aceh serta menolak bekerjasama dengan Belanda.

Pada tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang Teuku Larat uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda. Dalam penyerangan itu ditawan juga puteri Teuku Larat yang bernama Cut Intan Suadat, yang kemudian dinikahkan dengan Teuku Banta Sulaiman putra Teuku Ben Mahmud. Penyerangan itu dikenal dengan nama Perang Jambo Awe, dikarenakan penyerangan itu dipimpin panglima Teuku Ben Mahmud bernama Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan.

Pada Tahun 1900, pasukan marsose Belanda berhasil memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi (bivak) marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Setelah Belanda merebut wilayah Blangpidie pada tahun 1900, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya dari Kuala Batee hingga hulu Singkil. Pada tahun 1905, Teuku Ben juga menjalin komunikasi dan membantu perlawanan Sisingamangaraja XII di daerah Dairi.

Teuku Ben Mahmud memimpin gerilya di barat daya Aceh dan menghadapi marsose Belanda dibantu juga oleh pasukan khusus Kesultanan Aceh dari Gayo dan Alas. Pasukan yang membantu Teuku Ben Mahmud terdiri atas beberapa orang Gayo yang terkenal dan gagah berani antara lain Ang Bali dari Cane Toa, Raja Chik Padang, dan Raja Chik Pasir.

Pada 7 April 1901, pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang menyerang markas Belanda di Tapaktuan, sehingga membuat pasukan marsose Belanda yang dipimpin Letnan Helb kocar kacir. Dalam pertempuran tersebut, Teuku Ben Mahmud dibantu oleh panglima-panglima yang gigih dan tangguh antara lain Haji Yahya dari Aluepaku, Sawang, Said Abbdurrahman dari Pasie Raja dan Teuku Cut Ali dari Trumon.

Pada tahun 1905, pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang menyerbu tangsi (bivak) Belanda di Blangpidie. Sebanyak 47 orang dari pasukan Teuku Ben terbunuh dalam peristiwa ini. Gagalnya penyerbuan pasukan Teuku Ben ke bivak Blangpidie disinyalir disebabkan oleh kurangnya persiapan dan taktik serta ketidakseimbangan kekuatan antara pasukan Teuku Ben Mahmud dengan pasukan Belanda.

Di tahun yang sama, pasukan Teuku Ben yang dipimpin Tengku Idris dari Nagan Raya juga menyerang rombongan kontrolil Belanda yang sedang mengutip blestenk (pajak rakyat) di Kuta Buloh, Meukek. Penyerangan ini menewaskan beberapa serdadu Belanda. Aksi tersebut membuat Belanda melakukan sweeping secara ketat, sehingga membuat Tengku Idris dan beberapa pasukan Teuku Ben lainnya tertangkap dan dibuang ke Ternate, Halmahera, Maluku Utara (salah seorang keturunan Tengku Idris di Maluku Utara adalah Mantan Menpora RI Abdul Gafur).

Pada Juni 1908, Belanda berhasil menyandera beberapa anggota keluarga dan pasukan Teuku Ben termasuk istri Teuku Ben, Teuku Banta Sulaiman, Teuku Sabi beserta 100 orang pengikutnya. Atas bujukan Kapitein W.B.J.A. Scheepens dan Kapitein H. Colijn, Teuku Ben Mahmud dan 160 orang pasukannya pada Juli 1908 akhirnya terpaksa turun gunung dengan membawa 17 pucuk senjata dan menghentikan gerilyanya dengan syarat Belanda harus melepaskan sandera dan mengembalikan pejuang Aceh yang mereka buang ke luar Aceh.

Meskipun telah turun gunung, Teuku Ben Mahmud tetap diawasi oleh Belanda. Secara diam-diam Teuku Ben masih terus menyemangati pejuang Aceh bahkan sempat memerintahkan untuk membunuh seorang mata-mata Belanda. Karena dianggap masih memiliki pengaruh terhadap perlawanan melawan Belanda, Teuku Ben Mahmud dan beberapa keluarganya akhirnya dibuang ke Ambon, Maluku menggunakan kapal Van Doorn antara tahun 1911-1914. Tidak diketahui secara pasti kondisi Teuku Ben Mahmud dalam pengasingannya di Maluku.

Meskipun perjuangan Teuku Ben Mahmud terhenti setelah ia dibuang ke Maluku. Namun semangat perjuangannya tetap diteruskan oleh Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud dan pasukan nya yang lain. Bahkan disinyalir peristiwa 11 September 1926 atau penyerangan tangsi Belanda di Blangpidie oleh pasukan Teungku Peukan juga dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh semangat perjuangan Teuku Ben Mahmud.

Putra sulung Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman juga diasingkan oleh Belanda dan dibuang ke Peureulak, Aceh Timur antara tahun 1916-1919 lalu dipindahkan ke Kutaraja hingga masuknya Jepang ke Aceh baru ia bisa kembali pulang ke Blangpidie. Saudaranya, Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud turut melakukan perlawanan melawan Belanda hingga masuknya Jepang pada tahun 1942

Sepeninggal Teuku Banta Sulaiman, pada 30 Oktober 1917 kepemimpinan kenegerian Blangpidie selanjutnya diambilalih oleh adiknya, Teuku Rayeuk bin Teuku Ben Mahmud, karena Teuku Sabi bin Teuku Banta Sulaiman masih kecil. Baru pada 11 Oktober 1929, Zelfbestuurder van Blangpidie dijabat oleh Teuku Sabi hingga terjadinya revolusi sosial pasca kemerdekaan Indonesia. Teuku Sabi menikah dengan putri Datuk Nyak Raja (Zelfbestuurder van Susoh). Teuku Sabi tidak memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan kepemimpinannya sebab anak laki-laki mereka satu-satunya bernama Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi meninggal saat masih kecil akibat tenggelam di kolam sekitar kediaman Teuku Sabi.[3]

Saat kematian Teuku Raja Usman bin Teuku Raja Sabi terjadi perdebatan terkait hukum samadiah atau tahlilan. Peristiwa ini berujung pada perdebatan antara murid-murid Abu Syekh Mud termasuk Abuya Muda Waly dengan Teungku Sufi Gle Karong.[4]

Penghargaan sunting

Atas pengabdian dan perjuangannya untuk Kesultanan Aceh semasa perang Aceh melawan Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah menganugerahi Teuku Ben Mahmud gelar Setia Raja. Nama Teuku Ben juga diabadikan sebagai nama jalan di Blangpidie dan Tapaktuan. Selain itu nama Teuku Ben Mahmud juga dijadikan sebagai nama yayasan yang mengelola asrama mahasiswa Blangpidie di Banda Aceh.

Rujukan sunting

  1. ^ "Teuku Ben Mahmud dan Perjuangan Melawan Belanda Salah satu tokoh perlawanan terhadap kolonial Belanda,". 123dok.com. Diakses tanggal 2022-10-12. 
  2. ^ "PENDUDUK DAN PERMUKIMAN DI BLANGPIDIE PADA MASA LALU (1663-1942)". 123dok.com. Diakses tanggal 2022-10-12. 
  3. ^ "Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)". Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (dalam bahasa Inggris). 2015-02-06. Diakses tanggal 2022-10-12. 
  4. ^ Rozal Nawafil, dkk. (2023). Teuku Ben Mahmud Setia Raja. Banda Aceh: Aceh Culture and Education.