Tengguli,[1] trengguli atau kayu raja (Cassia fistula) adalah tumbuhan di dalam keluarga Fabaceae, anak suku Caesalpinioidea. Berbunga kuning cerah dan indah, tengguli banyak ditanam sebagai pohon hias dan juga tanaman obat tradisional. Tanaman ini tumbuh secara alami di Asia Selatan dan Asia Tenggara, tetapi kini menyebar luas ke pelbagai negeri tropis. Bunganya merupakan bunga nasional Thailand.

Tengguli
Cassia fistula

Tumbuhan
Warna bungabright yellow (en)
Status konservasi
Risiko rendah
IUCN136142327
Taksonomi
DivisiTracheophyta
SubdivisiSpermatophytes
KladAngiospermae
Kladmesangiosperms
Kladeudicots
Kladcore eudicots
KladSuperrosidae
Kladrosids
Kladfabids
OrdoFabales
FamiliFabaceae
SubfamiliCaesalpinioideae
TribusCassieae
GenusCassia
SpesiesCassia fistula
Linnaeus, 1753

Pengenalan sunting

 
Pelat botani menurut Blanco

Pohon yang menggugurkan daun, tinggi 10 hingga 20 m [2] dengan batang bebas cabang sekitar 5 m. Tajuk melebar menyebar. Pepagan berwarna abu-abu pucat dan halus ketika muda, menjadi cokelat gelap dan kasar ketika menua.[3]

Daun-daun tersusun berseling, majemuk menyirip genap, panjang 30-40 cm. Anak daun 3-8 pasang, bundar telur memanjang, berambut pendek, sisi bawahnya hijau biru 6–20 cm × 3,5–9 cm. Perbungaan berupa tandan terminal yang menggantung, 15–40 cm panjangnya, berbunga banyak, tidak rapat. Bunga-bunga berbau enak; kelopaknya berbagi-5 dalam; mahkota 2-3,5 cm panjangnya, kuning cerah. Tiga tangkai sari yang terbawah berbentuk-S, lebih panjang daripada yang lainnya.[2]

Buah polong bulat torak, 20–45 cm × 1,5 cm, menggantung, hitam dan tidak memecah ketika tua, dalamnya terbagi oleh sekat-sekat menjadi ruang-ruang berbiji-1.[2] Biji pipih kecokelatan, terletak melintang dalam ruang, 25-100 butir per polong, di antarai oleh sekat dan sejenis daging buah yang lengket berwarna cokelat kehitaman.[2][3]

Ekologi dan agihan sunting

 
Ranting dan daun

Tengguli biasa didapati di lingkungan hutan gugur daun tropika[3] dan juga hutan-hutan jati. Pohon ini dilaporkan tahan terhadap naungan menengah, tahan kekeringan, dapat menolerir curah hujan antara 480-2.720 mm pertahun, temperatur tahunan antara 18-29 °C dan pH tanah antara 5,5-8,7.[3]

Pada daerah tropis, tengguli menyebar di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Tengguli juga menyebar di Papua Nugini, Filipina, Thailand, Myanmar, Sri Langka, India dan Pakistan.[4] Di Indonesia, tengguli ditemukan tumbuh secara liar di banyak daerah. Tengguli juga telah diintroduksi ke Australia, Ghana, Mesir, Meksiko, dan Zimbabwe.[butuh rujukan]

Kegunaan sunting

Bahan obat sunting

 
Close up bunga

Tengguli banyak ditanam karena kegunaannya dalam pengobatan, selain karena bunganya yang indah. Polong yang masak dan biji-bizinya digunakan sebagai obat urus-urus (laksativa); begitu pula bunga, daun-daun dan kulit akarnya, meski dengan kekuatan yang lebih rendah.[5] Air rebusan akar tengguli digunakan untuk membersihkan luka dan bisul. Pepagannya digunakan di Jawa dan India untuk mengatasi penyakit kulit, sementara daun-daunnya di Filipina dipakai untuk menyembuhkan sakit kulit akibat jamur. Di India, akarnya dipakai untuk mengobati demam. Tengguli juga digunakan di Panama untuk mengobati kencing manis.[5]

 
Polong yang masak

Dalam pengobatan modern, daging buah tengguli yang kehitam-hitaman kadang kala dipakai sebagai laksativa menengah.[5] Simplisia (bahan obat dasar) dari buah tengguli ini dikenal sebagai Fistulae Fructus (Buah Trengguli),[6] dan setidaknya pada masa lalu, dimasukkan sebagai salah satu simplisia yang wajib tersedia di apotik.[7] Daging buah ini terutama mengandung hidroksimetil antrakinon, yang berkhasiat sebagai pencahar; dan juga gula, pektin, lendir, minyak atsiri yang berbau seperti madu.[6]

Bahan penyamak sunting

 
Polong yang dibuka, memperlihatkan daging buah yang kehitaman dan bijinya

Pepagan tengguli juga menghasilkan zat penyamak (tanin), yang dalam penggunaannya di perusahaan penyamakan kulit biasanya dicampur dengan pepagan pilang (Acacia leucophloea). Tanin dan bahan-bahan lain dari pepagan tengguli dapat membentuk asam, sehingga dapat menyamak dengan cepat. Hasilnya adalah kulit dengan mutu yang baik berwarna kuning muda; sebagai bahan pembuatan sepatu, atau pakaian kuda.[8] Kadar tanin pada pepagan tengguli ini berkisar antara 12-18%.[9]

Kayu sunting

Tengguli menghasilkan kayu perkakas yang bermutu baik, awet dan kuat; meskipun jarang yang panjang ukurannya. Kayu ini padat, berat dan keras; kuning pucat hingga kemerah-merahan pada yang tua, kayu terasnya kelabu kehitam-hitaman. Disebutkan bahwa serat-serat kayu tengguli ini kasar atau agak kasar; kekuatannya termasuk kelas kuat II dan kelas awet II.[8]

Sifat-sifat ini sedikit banyak mirip dengan kayu trengguli wanggang (C. javanica) yang berkerabat. Trengguli wanggang, atau juga disebut bobondelan, menghasilkan kayu berbobot ringan hingga berat, dengan densitas berkisar antara 400–875 kg/m³; keras dan kuat, kayu terasnya berwarna kekuningan, kemerahan, hingga jingga-cokelat pucat bila lama kena udara. Kayu ini dapat dikeringkan dengan hasil baik, dengan hanya sedikit susut tanpa mengalami kerusakan yang berarti.[10]

Nama-nama lain sunting

Di tanah air, tumbuhan ini dikenal dengan banyak nama:

Nama-nama mancanegara, antara lain:

Jenis serupa sunting

Trengguli wanggang (C. javanica), juga dikenal sebagai bobondelan, memiliki buah dan perawakan pohon yang serupa. Perbedaan yang menyolok adalah pada bunganya yang memiliki mahkota merah tua hingga merah keputihan (C. fistula berwarna kuning), dan kelopak merah tua atau cokelat merah (C. fistula: hijau). Buah trengguli wanggang tidak memiliki daging buah yang cokelat kehitaman dan lengket, tetapi daging buah itu serupa gabus yang kering. Daun penumpu pada C. javanica berbentuk setengah bulan sabit, sedangkan pada C. fistula serupa paku.[2]

Trivia sunting

Nama warna tengguli (cokelat merah tua) dipakai dengan merujuk pada warna daging buah tengguli ini.

Referensi sunting

  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia: tengguli
  2. ^ a b c d e van Steenis, C.G.G.J. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Hal. 224-25.
  3. ^ a b c d ICRAF Agroforestry Tree Database: Cassia fistula L. Diarsipkan 2014-02-26 di Wayback Machine.
  4. ^ Gunawan, H., dkk. (2019). Partomiharjo, Tukirin, ed. 100 Spesies Pohon Nusantara: Target Konservasi Ex Situ Taman Keanekaragaman Hayati (PDF). Bogor: IPB Press. hlm. 64. ISBN 978-602-440-771-1. 
  5. ^ a b c Toruan-Purba, A.V.. 1999. Cassia L. in Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara, & R.H.M.J. Lemmens (Eds.) Plant Resources of South-East Asia 12(1) - Medicinal and poisonous plants 1: 181-85. Prosea Foundation, Bogor.
  6. ^ a b Sutrisno, R.B. 1974. Ihtisar Farmakognosi: 171. Jakarta: Pharmascience Pacific.
  7. ^ Sutrisno, R.B. op cit.: 47
  8. ^ a b Heyne, K.. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II: 918-20. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. (versi berbahasa Belanda -1916- 2:244)
  9. ^ R.H.M.J. Lemmens & N. Wulijarni-Soetjipto. (Eds.) 1999. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 3 - Tumbuh-tumbuhan penghasil pewarna dan tanin: 17. Balai Pustaka - Jakarta dan Prosea Indonesia - Bogor.
  10. ^ Utomo, B.I.. 1999. Cassia L. in Sosef, M.S.M., L.T. Hong, & S. Prawirohatmodjo (Eds.) Plant Resources of South-East Asia 5(3) - Timber trees: Lesser known timber. 144-46. Prosea Foundation, Bogor.

Pranala luar sunting