Telesera

perusahaan asal Indonesia

Telesera (singkatan dari PT Telekomindo Selular Raya) didirikan pada tahun 1990, dengan kepemilikan sahamnya terdiri dari PT Rajawali Wira Bhakti Utama (milik Peter Sondakh) 90% dan Abram Makimawu 10%. Namun perusahaan ini baru beroperasi pada tahun 1996, dengan 100% sahamnya sudah dialihkan ke perusahaan Grup Rajawali lain bernama PT Telekomindo Primabhakti. Perusahaan ini mengoperasikan jaringan seluler berbasis AMPS (berfrekuensi 835-845 dan 880-890 MHz dengan bandwith 20 MHz)[2] di beberapa wilayah yang ditetapkan pemerintah, yaitu di Riau, Batam, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara dan Timor-Timur[3][4][5] menggunakan frekuensi 800 MHz.[6] Namun, pengguna Telesera juga dapat menggunakan layanannya di luar daerah-daerah tersebut berkat kerja sama dengan dua operator AMPS lainnya, Metrosel dan Komselindo.[4]

PT Telekomindo Selular Raya
Telesera
Anak perusahaan
IndustriOperator telekomunikasi seluler
NasibMerger dengan Mobile-8 Telecom
PenerusMobile-8 Telecom
Didirikan1990
Ditutup11 Juni 2007
Kantor
pusat
Graha Telesera
Jl. Patimura No. 69[1]
Denpasar, Indonesia
ProdukAMPS (1996-2003)
PemilikTelekomindo Primabhakti (Rajawali Wira Bhakti Utama) (1990-2001)
Telkom (2001-2003)
Centralindo Pancasakti Cellular (Bimantara Citra/Bhakti Investama) (2003-2004)
Mobile-8 Telecom (2004-2007)
Situs webwww.telesera.co.id di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 12 Oktober 2002)

Bisnisnya bermula di awal 1990-an, ketika PT Telekomindo membangun jaringan AMPS berkapasitas 7.800 pengguna di Palembang, Denpasar dan Samarinda-Balikpapan-Banjarmasin, menggunakan sistem dari Motorola untuk kebutuhan telepon mobil (istilah resminya STKB-N, Sistem Sambungan Telepon Kendaraan Bermotor Nasional).[7][8] Mulai tahun 1993, PT Telekomindo juga mengoperasikan layanan seluler AMPS di daerah-daerah tersebut, lewat kerjasama bagi hasil bersama Telkom.[9] Setelah pendirian Telesera, maka pengoperasian AMPS PT Telekomindo dialihkan pada perusahaan ini.

Bagaimanapun, dikarenakan pasar di wilayah yang diberikan oleh pemerintah padanya tidak terlalu besar, maka Telesera tetap menjadi perusahaan operator AMPS terkecil di Indonesia. Sejak awal berdirinya, Telesera hanya memiliki 6.000-7.000 pelanggan: pada awal 1996 sebanyak 7.500, pada 1997 sebesar 6.705 (walaupun mempunyai kapasitas pelanggan sebesar 11.500), pada April 1999 menjadi 6.792, dan menjadi 7.556 pada akhir 2001.[5][3] Mungkin, karena itulah, perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan AMPS yang tetap mempertahankan sistem bagi hasil yang telah dijalankannya sejak operasionalnya masih berada di bawah PT Telekomindo. Sistem bagi hasil antara keduanya dipatok sebesar 30% untuk Telkom dan 70% untuk Telesera. Keuntungan Telkom pun tidak besar, misalnya pada 1998 hanya mendapat Rp 6,1 miliar dan pada 1999 sebesar Rp 5,7 miliar.[5][10] Untuk menghadapi perubahan pasar, di bulan September 1999, Telesera meluncurkan produk prabayarnya (pertama dari operator AMPS) sebagai pelengkap layanan pascabayar, yang diberi nama Kompak.[11][12]

Seiring waktu, kerjasama bagi hasil antara Telkom dan PT Telekomindo berakhir sehingga seluruh saham dan aset Telesera beralih ke Telkom sejak 5 Desember 2001.[13] Transaksi pengalihan kepemilikan ini, juga melibatkan pertukaran saham dimana Telkom melepaskan sahamnya di Telekomindo Primabhakti. Seluruh transaksi ini memakan biaya lebih dari Rp 200 miliar.[14] Awalnya, setelah Telesera 100% menjadi anak perusahaan Telkom, perusahaan ini sempat direncanakan untuk diubah sistemnya menjadi CDMA. (Rencana ini tidak dilanjutkan karena penjualan Telesera, dan Telkom pada 2003 akan meluncurkan Flexi sebagai layanan CDMA-nya).[5] Ada juga rencana pada pertengahan 2001 untuk menggabungkan Telesera dengan Komselindo dan Metrosel menjadi satu operator nasional bersistem CDMA,[15] yang sayangnya tidak terwujud.

Belakangan, dengan kondisi ekonomi dan program restrukturisasi perusahaan, PT Telkom kemudian memutuskan untuk melepas seluruh saham anak perusahaannya yang menggunakan AMPS, termasuk Telesera.[16] Pada 8 Agustus 2003, penjualan itu akhirnya tercapai ketika PT Centralindo Pancasakti Cellular (yang terafiliasi dengan Bimantara Citra dan Bhakti Investama) dan Telkom sepakat melakukan pertukaran saham dalam transaksi bernilai total Rp 364,8 miliar.[17] Dalam transaksi tersebut, Telkom menjual 100% sahamnya di Telesera kepada PT Centralindo (ditambah 14,20% saham Komselindo dan 20,17% saham Metrosel) dengan harga Rp 185,10 miliar, dan sebagai gantinya, PT Centralindo menyerahkan saham PT Indonusa Telemedia (penyelenggara televisi berlangganan TelkomVision) sebesar 35% dan memberi hak untuk membeli 16,85% sahamnya di Pasifik Satelit Nusantara pada Telkom.[18]

Manajemen Bimantara/Bhakti (via PT Centralindo) yang kemudian menjadi pengelola baru Telesera, sudah berencana untuk membangun operator seluler baru dengan sistem baru (CDMA). Perusahaan baru itu dikenal dengan nama PT Mobile-8 Telecom yang didirikan akhir 2002, dan sebagai persiapan operasionalnya, Bimantara/Bhakti menjadikan perusahaan komunikasi yang telah diakusisinya, yaitu Telesera, Metrosel dan Komselindo menjadi anak perusahaan Mobile-8.[19][18][20] Pada akhirnya, sebagai "penerus" Telesera adalah Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 dengan teknologi berbasis CDMA2000, dan modal awal penggunanya salah satunya berasal dari bekas pelanggan AMPS Telesera (berjumlah 9.083 di bulan Maret 2003).[21] Sejak saat itu, Telesera hanya menjadi anak perusahaan Mobile-8 yang tidak terlalu aktif, yaitu (bersama Metrosel dan Komselindo) menjadi pemegang izin jaringan CDMA yang dioperasikan oleh Mobile-8. Pada akhirnya, Telesera dimerger dengan induknya, Mobile-8 pada 11 Juni 2007.[22] Merger ini mengakibatkan izin Mobile-8, yang sebelumnya salah satunya atas nama Telesera, kini beralih ke Mobile-8.[23]

Lihat pula sunting

Referensi sunting