Tau-tau (dalam Bahasa Toraja berarti orang) adalah patung yang dipahat dari kayu. Patung ini dikenal dalam masyarakat Toraja sebagai personifikasi orang yang telah meninggal.[1] Pembuatan patung ini terikat pada berbagai ketentuan religius: mulai dari memilih dan menebang pohon nangka; manglassak, sebuah ritus untuk menentukan jenis kelamin boneka yang dibuat; disabu, sebuah ritus untuk menahbiskan tau-tau.[1] Pembuatan tau-tau tidak boleh dikerjakan oleh sembarang orang.[1] Sepanjang proses pembuatan ini, diwajibkan bagi yang membuat untuk mengerjakannya dekat dengan jenasah.[1] Patung yang dibuat harus menyerupai orang yang meninggal.[1] Patung ini hanya dapat dibuat bagi para bangsawan atau tana' bulaan, alasannya ialah patung tersebut merupakan representasi dari orang yang meninggal dan oleh karena itu harus disembah menurut statusnya.[1] Melalui patung ini, interaksi dianggap tetap berlangsung karena tau-tau dianggap menampakkan persekutuan yang langgeng antara orang hidup dengan orang mati.[1]

Tau Tau di tebing Lemo, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Bahan pembuatan sunting

Tau-tau terdiri dari bagian tubuh, rambut dan mata. Bagian tubuhnya terbuat dari kayu pohon nangka. Lalu bagian rambutnya dibuat dari serat daun nanas. Sementara bagian matanya dibuat dari bagian tulang dan tanduk kerbau.[2] Bahan tubuh tau-tau dari kayu pohon nangka umumnya hanya digunakan untuk keturunan bangsawan dengan tingkatan yang tinggi. Bahan ini sifatnya lebih tahan lama. Bagi bangsawan yang tingkatannya lebih rendah, bagian tubuh tau-tau hanya dibuat menggunakan bambu atau kayu dari pohon kapuk.[3]

Proses pembuatan sunting

Tau-tau hanya dibuat oleh seorang pemahat khusus yang disebut Topande. Pembuatan tau-tau diawali dengan penebangan kayu yang menjadi bahan pembuatannya. Lalu kayu tersebit dipahat menjadi tau-tau. Sebelum dipahat, Topande meminta kepada salah satu anggota keluarga yang berkerabat dengan orang yang meninggal untuk menceritakan kepribadiannya ketika masih hidup. Selama pemahatan, diadakan penyembelihan hewan dan pemberian sesajian kepada leluhur yang didewakan. Prosesi ini berlangsung hingga pemahatan tau-tau berakhir.[4]

Persembahan yang umum diberikan selama proses penebangan pohon untuk kayu tau-tau adalah seekor babi. Jumlah persembahan yang diberikan dapat mencapai lima ekor babi karena setiap sendi tubuh dari tau-tau harus diberi persembahan. Waktu pengerjaannya juga dapat mencapai 1,5 bulan jika tingkat kerumitan pemahatannya tinggi. Waktunya dapat bertambah hingga 2 bulan jika tau-tau dipahat lengkap dengan pakaiannya.[5] Hasil pahatan tau-tau dibuat semirip mungkin dengan wajah asli dengan orang yang meninggal.[6]

Persimbolan sunting

Rumah adat Banua Layuk sunting

Di rumah adat Banua Layuk yang terletak di Kabupaten Mamasa, terdapat dua tau-tau. Letaknya di bagian depan pintu masuk sebagai ukiran. Satu tau-tau ini mewakili laki-laki dan satunya lagi mewakili perempuan. Keberadaan keduanya merupakan persimbolan bahwa Rumah adat Banua Layuk selalu siap untuk menyelesaikan permasalah kehidupan penduduk di Kabupaten Mamasa dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Kedua tau-tau ini juga dijadikan simbol penolak bala berupa roh-roh jahat yang menggangu ketenangan pemilik rumah.[7]

Ritual kematian sunting

Tau-tau hanya digunakan untuk ritual kematian bagi bangsawan suku Toraja. Kasta kebangsawanan yang dapat menggunakan tau-tau ialah tana'. Kasta ini dibedakan menjadi tana’-bula’an dan tana’ bassi.[8] Penempatan tau-tau harus melalui ritual tertentu terlebih dahulu yang disebut rapasan.[9] Tau-tau ini dibawa beriringan dengan duba-duba hingga ritual Aluk rante akan dimulai.[10] Dalam Aluk Todolo, tau-tau akan diganti dan dibersihkan pakaiannya ketika diadakan ritual Ma'nene.[11]

Perdagangan sunting

Tau-tau telah diperdagangkan oleh penduduk suku Toraja di Rantepao. Perdagangannya sebagai suvenir bagi para turis, dijadikan pajangan, maupun objek penelitian oleh turis asing.[12]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g (Indonesia)Theodorus Kobong. 2008. Injil dan Tongkonan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 53.
  2. ^ Tim Infografik Kompas (2014). Indonesia dalam Infografik. Penerbit Buku Kompas. hlm. 12. ISBN 978-979-709-841-4. 
  3. ^ Nugraha, S. W., dkk. (Maret 2017). Potret Negeriku: Budaya Unik. Jakarta: KIDDO. hlm. 36. ISBN 978-602-424-238-1. 
  4. ^ Bunga Rampai Teologi Kontekstual dan Kearifan Lokal Toraja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2020. hlm. 189. 
  5. ^ Dalidjo, Nurdiansyah (2020). Intarina, ed. Rumah di Tanah Rempah: Penjelajahan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 345. ISBN 978-602-06-3967-3. 
  6. ^ Kusumowidagdo, A., dkk. An Analysis of Sense of Place in Ke'te' Kesu' Shopping Corridor, North Toraja: A Study About Physical and Social Factors of Shopping Corridor in Cultural Village. Penerbit Universitas Ciputra. hlm. 58. 
  7. ^ Ansar (2011). Oesman, Osrifoel, ed. Arsitektur Tradisional Daerah Mamasa. Jakarta: Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. hlm. 177. ISBN 978-602-9052-13-8. 
  8. ^ Tangkelayuk, C. D., Pratiknjo, M., H., dan Mamosey, W. E. (2021). "Makna Simbolik "tau-tau" dalam Ritual Kematian pada Masyarakat Kelurahan Panta'nakan Lolo Kecamatan Kesu' Kabupaten Toraja Utara". Jurnal Holistik. 14 (3): 2–3. ISSN 1979-0481. 
  9. ^ Serdianus (Januari 2022). "Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Upacara Rambu Solo' di Tana Toraja". Educenter: Jurnal Ilmiah Pendidikan. 1 (1): 4. ISSN 2827-7988. 
  10. ^ Anggraeni, A. S., dan Putri, G. A. (2020). "Makna Upacara Adat Pemakaman Rambu Solo' di Tana Toraja". Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya. 3 (1): 75. ISSN 2623-0305. 
  11. ^ Rismayanti dan Nusarastriya, Y. H. (2020). "Upacara Adat Pemakaman Mengenang Leluhur (Ma'nene) di Toraja, Lembang Bululangkan Kecamatan Rinding Allo Toraja Utara". Jurnal Adat dan Budaya. 2 (2): 124. ISSN 2615-6113. 
  12. ^ Pusat Data dan Analisa Tempo (2019). Toraja dan Penghormatan terhadap Jenazah hingga Banyaknya Pencurian Mumi. Tempo Publishing. hlm. 24. ISBN 978-623-262-901-1.