Sufisme

gerakan Islam bercabang dari Sunni
(Dialihkan dari Tasawwuf)

Sufisme (Arab: صوفية, translit: ṣufiyyah) atau tasawuf (Arab: تصوف, translit: taṣawwuf) adalah gerakan Islam yang mengajarkan ilmu cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (berbagai aliran atau jalan dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau gabungan dari beberapa tradisi[butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Sufisme merupakan sebuah konsep dalam Islam, yang didefinisikan oleh para ahli sebagai bagian batin, dimensi mistis Islam; yang lain berpendapat bahwa sufisme adalah filosofi perenial yang telah ada sebelum kehadiran agama, ekspresi yang berkembang bersama agama Islam.[1]


Etimologi

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Ada juga yang berpendapat bahwa sufi berasal dari kata saf, yakni barisan dalam sholat. Suatu teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti "kemurnian". Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.[2] Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.

Definisi Sufisme

Banyak ulama jaman dahulu dan sarjana modern mencoba memberikan definisi tentang tasawuf atau sufisme. Buya Hamka, salah satu ulama nasional, mendefinisikan tasawuf sebagai "kehendak memperbaiki budi dan men-shifa'-kan (membersihkan) batin,"[3] yang mana hal ini mudah dipahami karena tasawuf identik dengan tazkiyatun-nafs (pembersihan jiwa). Annemarie Schimmel memberikan definisi tasawuf yang lebih ringkas, yakni "dimensi mistik dalam Islam."[4] Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, bahwa sufisme merupakan "dimensi batin (esoteris) Islam yang memiliki dasar di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi."[5]

Sementara itu ulama-ulama masa awal juga memberikan beragam pengertian atau definisi. Dimyati Sajari mengidentifikasi bahwa hingga abad ke-3 Hijriah, sebagaimana disitir oleh Ibrahim Basyuni dalam Nasy'at at-Tashawwuf al-Islami, sudah terdapat empat puluh definisi.[6] Beberapa definisi dari ulama-ulama terkemuka dirangkum oleh Abu Nashr al-Thusi (w. 377 H/988 M) di dalam kitab Al-Luma' sebagai berikut:[6][7]

  • Muhammad bin Ali al-Qashshab: tasawuf adalah akhlak mulia, yang tampak jelas pada zaman yang mulia, yang berasal dari orang mulia, beserta kaum yang mulia.
  • Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/911 M): tasawuf adalah hendaknya engkau bersama Allah tanpa menyertakan yang selain-Nya.
  • Ruwaim bin Ahmad (w. 303 H/915 M): tasawuf adalah mengarahkan diri bersama Allah atas apa yang dikehendaki-Nya.
  • Sumnun bin Hamzat: tasawuf adalah hendaknya engkau merasa tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu.
  • Abu Muhamad al-Jariri (w. 311 H/921 M): tasawuf adalah masuk ke dalam setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang hina.
  • Amr bin Utsman al-Makki: tasawuf adalah hendaknya seorang hamba melakukan sesuatu yang utama di suatu waktu tertentu.
  • Ali bin Abdul Rahman al-Qannad: tasawuf adalah menempuh maqam-maqam (tahapan-tahapan) dan mempertahankannya dengan melanggengkan berkomunikasi dengan Allah.

Berbagai pengertian dan definisi tentang tasawuf pun bermunculan, namun terdapat benang merah yang menghubungkannya, yaitu akhlak, sebagaimana dinukil Al-Hujwiri yang mengaitkan tasawuf dengan akhlak.[8] Terkait hal ini, Abu Hasan al-Nuri mengatakan bahwa tasawuf itu bukan bentuk dan bukan pulai ilmu, melainkan akhlak, atau dalam kalimat berbeda Abu Muhammad Murta'isy mengatakan at-tashawwuf husnul-khuluq (tasawuf adalah penghalusan akhlak).[6]

Sejarah Sufisme

Meskipun secara esensi dipraktikan sejak awal mula Islam, namun terminologi tasawuf—sebagaimana fiqh dan kalam—tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Istilah ini baru dikenal ketika Abu Hasyim al-Kufi (w. 160 H/776 M) mencantumkan kata al-Sufi di belakang namanya,[9] namun bukan berarti dia adalah sufi pertama karena sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh sufi terkenal seperti Hasan al-Basri (w. 110 H/728 M). Sebelum istilah tasawuf dikenal di masa awal, menurut Reynold A. Nicholson sebagaimana dikutip Dimyati Sajari, bentuk-bentuk tasawuf pada mulanya adalah gerakan kejuhudan (asketis) yang merupakan bentuk tertua dari sufisme.[6][10]

Hasan al-Bashri (w. 110 H/728 M), seorang tabi'in yang hidup di abad ke-8 Hijriah, merupakan murid dari Huzaifah bin al-Yaman yang merupakan sahabat sekaligus kepercayaan Nabi Muhammad saw dengan julukan Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah). Hasan al-Bashri, yang sangat terkenal dengan kehidupannya yang sederhana dan zuhud, membuatnya didaulat dikenal sebagai tokoh awal sufisme.[11] Namun, hidup sederhana dan zuhud bukanlah hal asing di masa itu, karena Nabi Muhammad saw dan para sahabat adalah tokoh-tokoh awal yang menjalani kehidupan seperti demikian. Bahkan di masa-masa sebelum Islam, Muhammad muda kerap berkhalwat di Gua Hira untuk mensucikan dirinya dan menjauh dari masyarakat jahiliyah.

Tokoh sufi lainnya yang hidup sejaman dengan Abu Hasyim al-Kufi adalah Ibrahim bin Adham (w. 165 H/782 M). Kisah pertobatan Ibrahim bin Adham sangatlah terkenal dan menjadi legenda sufi, dari seorang Pangeran Balkh menjadi seorang yang hidupnya sangat zuhud. Sebagaimana diceritakan oleh Abu Nuaim, Ibrahim bin Adham sangat menekankan pentingnya uzlah dan tafakur.

Seiring dengan munculnya berbagai cabang ilmu dalam Islam di abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, maka berkembang pula Ilmu Tasawuf. Berbagai ajaran tentang tasawuf pun bermunculan, namun akhlak adalah benang merah dari semua ajaran yang ada,[6] dan hal ini dapat dipahami sebagai akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada sesama, dan akhlak kepada Allah. Hal ini dikembangkan dari tiga pilar agama dalam Islam, yakni iman-islam-ihsan; di mana yang terkahir, ihsan, merupakan landasan sekaligus tujuan dari praktik sufisme yang ingin dicapai ketika seorang sufi berserah diri seutuhnya kepada Allah.[12]

Pertentangan

Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah,[13] sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa asal usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad saw.

Ada juga pendapat lain yang menyebutkan tasawuf muncul karena faktor politik, ketika terjadi pertikaian antar umat Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang berlanjut terus hingga beberapa abad kemudian. Lalu munculah gerakan tasawuf sebagai perlawanan atas pertikaian yang ada, yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah, dan kemudian diikuti oleh figur-figur lain seperti Sufyan ats-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[14]

Sufisme Berasal dari Islam

  • Asal usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [15]
  • Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.].[16]
  • Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana tersebut dalam hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).
  • Tasawuf adalah penafsiran bathin (psikologis) dari ayat-ayat Quran seperti: Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (Quran, 29:41). Dalam Tasawuf, yang dimaksud pelindung dalam ayat ini juga termasuk pelindung secara psikologis, sebagaimana kita ketahui manusia banyak menggantungkan keberhargaan dirinya kepada dunia (seperti harta, jabatan, pasangan, teman, dan lain-lain). Dalam Tasawuf, keberhargaan diri hanya boleh digantungkan kepada Allah. Karena jika memang mereka percaya Allah adalah yang paling kuat dan berharga, maka menggantungkan kepada selain Allah adalah taghut (sesembahan). Inilah kenapa dalam tareqahnya, seorang Sufi (penempuh Tasawuf) harus bisa menjadikan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatan dan penghargaan dirinya. Dalam istilah lain, Tasawuf adalah ajaran untuk mencapai Tauhid secara bathin (psikologis).
  • Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha, dan lain-lain sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis (bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran penyempurna sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu. Adanya sisi bathin dalam ajaran-ajaran yang sebelumnya ada malahan memperkuat status Tasawuf karena tentunya harus ada garis merah antara agama-agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-ajaran tersebut dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa kebenaran yang mirip dengan Tasawuf sebagai sisi bathin (psikologis) dari ajaran Islam.

Sufisme Pengaruh di Luar Islam

  • Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof. Dr. P. Van De Woestijne).
  • (Sufisme) yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
  • Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persia yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Prof. Dr. H. Abubakar Aceh).
  • Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam, (2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980).[17]
  • Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan ataupun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para sahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc).[18]

Tokoh-Tokoh Sufi

Tokoh Sufi Dunia

Beberapa sufi yang terkenal antara lain:

Tokoh Sufi Indonesia

Tokoh-tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia diantaranya adalah: Syekh Hasan Genggong, Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Al-Fasuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Singkili, dan Syekh Yusuf Al-Makasari.[19]

Contoh ajaran

Berikut contoh paham Sufi atau paham tasauf:

Empat tingkatan spiritual

 
Empat tingkatan kedalaman beragama

Syari'at dalam perspektif paham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari keempat tingkatan spiritual tersebut.

Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.

Paham kesatuan wujud

Paham kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke-3 Hijriah. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Ibnu Arabi, Mansur al Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini ditolak oleh Al Ghazali dan Ibnu Taymiah.

Ketika tidak ada gerak bagimu untuk dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [1] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempuna tauhidmu. Hal itu, karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu mempertimbangkan pandanganmu didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah sempurna tauhidmu. Karena hamba selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut para muwahhidiin muhaqqiqiin para petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya dapat beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin muhaqqiqiin (para petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud dirinya yang majazi dan rusak dengan sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhan-nya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan dirinya dengan anugerah-NYA dan menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempurnalah tauhidnya. [2]

Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya daripada pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.

Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini.

Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, tampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [3] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [4]

Sufisme dan ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan yang pada zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.[20]

Kesenian sufi

 
Tairan memutar Dervish adalah salah satu kesenian Sufi yang terkenal

Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli.

Di Cirebon, kesenian yang berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung, Terbang, Genjring Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis Kesenian yang beredar di Cirebon terkait dengan perkembangan paham tasawuf tersebut.

Beberapa buku yang telah di tulis oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon menguatkan anggapan ini. Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis oleh Rokhmin Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi Kesenian Cirebon yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten Cirebon yang salah satu anggota penyusunnya adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media kesenian sangat cocok untuk berdakwah pada saat itu Mertasinga 2004.

Jika seni dan kesenian dijadikan sebagai media dakwah, maka sangat munfisme/tasawuf yang selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya. [5]

tasawuf itu sulit didefinisikan agar dapat dipahami dengan mudah

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Seyyed Hossein Nasr, 'Sufism', lihat: http://dialoguetalk.org/seyyed-hossein-nasr/sufism/
  2. ^ Shaykh Muhammad Hisham Kabbani, The Naqshbandi Sufi Tradition Guidebook of Daily Practices and Devotions, 2004, hlm. 83.
  3. ^ Hamka (2015). Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit. ISBN 978-602-8997-98-0. 
  4. ^ Schimmel, Annemarie (1986). Dimensi-Dimensi Mistik dalam Islam. Diterjemahkan oleh Djoko Damono, Sapardi. Jakarta: Pustaka Firdaus. 
  5. ^ Nasr, Seyyed Hossein (2020). Tasawuf Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: IRCiSoD. ISBN 9786027696976. 
  6. ^ a b c d e Sajari, Dimyati (2015). "Keotentikan Ajaran Tasawuf". Dialog Journal. 38 (2): 145–156. doi:10.47655/dialog.v38i2.40. 
  7. ^ as-Sarraj, Abu Nashr (2009). Al-Luma'. Surabaya: Risalah Gusti. 
  8. ^ Al-Hujwiri, Ali Ibnu Utsman (2015). Kasyful Mahjub. Bandung: PT. Mizan Pustaka. ISBN 978-979-433-876-6. 
  9. ^ Syukur, HM. Amin (1999). Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 7–8. ISBN 979-907-572-6. 
  10. ^ Nicholson, Reynold A (1963). The Mystics of Islam. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. 
  11. ^ Nashr, Seyyed Hossein (2008). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition. San Francisco: HarperOne. hlm. 168. ISBN 978-0061625992. 
  12. ^ Chittick, William C. (2007). Sufism: A Beginner's Guide. Oneworld Publications. ISBN 978-1851685479. 
  13. ^ Hakikat tasawuf oleh Qardhawi
  14. ^ Solihin, M. Anwar, M Rosyid. Akhlak Tasawuf (Bandung: Nuansa 2005) hlm. 177
  15. ^ Place of Tasawwuf in Traditional Islam
  16. ^ "Islamic Spirituality, the forgotten revolution". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-07-17. Diakses tanggal 2009-06-07. 
  17. ^ Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan, MH. Amien Jaiz, PT Alma'arif - 1980 Bandung
  18. ^ "Hakikat Tasawuf dan Sufi". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-02. Diakses tanggal 2007-03-08. 
  19. ^ Anwar, Rosihan. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia 2009) hlm. 225
  20. ^ Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002) hlm.23

Bacaan tambahan

  • Abun-Nasr, Jamil. Muslim Communities of Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic Religious Life. London, Hurst, 2007.
  • Al-Badawi, Mostafa. Sufi Sage of Arabia. Louisville: Fons Vitae, 2005.
  • Algan, Refik & Camille Adams Helminski, translators, Rumi's Sun: The Teachings of Shams of Tabriz, (Sandpoint, ID:Morning Light Press, 2008) ISBN 978-1-59675-020-3
  • Ali-Shah, Omar. The Rules or Secrets of the Naqshbandi Order, Tractus Publishers, 1992, ISBN 978-2-909347-09-7.
  • Angha, Nader. "Sufism: A Bridge Between Religions". MTO Shahmaghsoudi Publications, 2002, ISBN 0-910735-55-7
  • Angha, Nader. "Sufism: The Lecture Series". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1997, ISBN 978-0-910735-74-2.
  • Angha, Nader. "Peace". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1994, ISBN 978-0-910735-99-5.
  • Aractingi, Jean-Marc and Christian Lochon, Secrets initiatiques en Islam et rituels maçonniques-Ismaéliens, Druzes, Alaouites,Confréries soufies; éd. L'Harmattan, Paris, 2008 (ISBN 978-2-296-06536-9).
  • Arberry, A.J.. Mystical Poems of Rumi, Vols. 1&2. Chicago: Univ. Chicago Press, 1991.
  • Austin, R.W.J.. Sufis of Andalusia, Gloustershire: Beshara Publications, 1988.
  • Azeemi,Khwaja Shamsuddin. Muraqaba: Art and Science of Sufi Meditation, Houston:Plato Publishing,Inc., 2005, ISBN 0-9758875-4-8.
  • Barks, Coleman & John Moyne, translators, The Drowned Book: Ecstatic & Earthy Reflections of Bahauddin, the Father of Rumi, (NY: HarperCollins, 2004) ISBN 0-06-075063-4
  • Bewley, Aisha. The Darqawi Way. London: Diwan Press, 1981.
  • Burckhardt, Titus. An Introduction to Sufi Doctrine. Lahore: 1963.
  • Chopra, R M, "Great Sufi Poets of The Punjab", Iran Society, Calcutta, 1999.
  • Colby, Frederick. The Subtleties of the Ascension: Lata'if Al-Miraj: Early Mystical Sayings on Muhammad's Heavenly Journey. City: Fons Vitae, 2006.
  • Dahlén, Ashk, Sufi Islam, The World's Religions: Continuities and Transformations, ed. Peter B. Clarke & Peter Beyer, New York, 2008.
  • Emin Er, Muhammad. Laws of the Heart: A Practical Introduction to the Sufi Path, Shifâ Publishers, 2008, ISBN 978-0-9815196-1-6.
  • Emin Er, Muhammad. The Soul of Islam: Essential Doctrines and Beliefs, Shifâ Publishers, 2008, ISBN 978-0-9815196-0-9.
  • Ernst, Carl. The Shambhala Guide to Sufism. HarperOne, 1999.
  • Fadiman, James and Frager, Robert. Essential Sufism. Boulder: Shambhala, 1997.
  • Farzan, Massud. The Tale of the Reed Pipe. New York: Dutton, 1974.
  • Gowins, Phillip. Sufism—A Path for Today: The Sovereign Soul. New Delhi: Readworthy Publications (P) Ltd., 2008. ISBN 978-81-89973-49-0
  • Khan, Inayat. "Part VI, Sufism". The Sufi message, Volume IX—The Unity of Religious Ideals
  • Koc, Dogan, "Gulen's Interpretation Of Sufism" Diarsipkan 2012-11-01 di Wayback Machine., Second International Conference on Islam in the Contemporary World: The Fethullah Gülen Movement in Thought and Practice, December 2008
  • Lewinsohn (ed.), The Heritage of Sufism, Volume I: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi (700-1300).
  • Michon, Jean-Louis. The Autobiography (Fahrasa) of a Moroccan Soufi: Ahmad Ibn 'Ajiba (1747–1809). Louisville: Fons Vitae, 1999.
  • Nurbakhsh, Javad, What is Sufism? electronic text derived from The Path, Khaniqahi Nimatullahi Publications, London, 2003 ISBN 0-933546-70-X.
  • Rahimi, Sadeq (2007). Intimate Exteriority: Sufi Space as Sanctuary for Injured Subjectivities in Turkey.[pranala nonaktif permanen], Journal of Religion and Health, Vol. 46, No. 3, September 2007; pp. 409–422
  • Schimmel, Annemarie, Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1983. ISBN 0-8078-1223-4
  • Schmidle, Nicholas, "Pakistan's Sufis Preach Faith and Ecstasy" Diarsipkan 2009-01-22 di Wayback Machine., Smithsonian magazine, December 2008
  • Sells, Michael (ed.), Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur'an, Mi'raj, Poetic and Theological Writings, ISBN 978-0-8091-3619-3.
  • Shah, Idries. The Sufis. New York: Anchor Books, 1971, ISBN 0-385-07966-4.
  • Shah, Sirdar Ikbal Ali. "The General Principles of Sufism," The Hibbert Journal, Vol. XX, October 1921/ July 1922.
  • Shaikh Sharfuddin Maneri. Letters from a Sufi Teacher. Mountain View, CA: Golden Elixir Press, 2010. ISBN 978-0-9843082-4-8.
  • Seker, Nimet. Jewish and Muslim Mysticism: Jewish Mystics on the Sufi Path Qantara.de Diarsipkan 2011-03-17 di Wayback Machine. April 2010
  • Wilcox, Lynn. "Women and the Holy Qur'an: a Sufi Perspective". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1998, ISBN 0-910735-65-4

Pranala luar