Sumatera Thawalib

Gerakan bersejarah Pendidikan Islam di Sumatera Barat, Indonesia. Sistem pendidikannya masih digunakan hingga saat ini oleh beberapa lembaga pendidikan.

Sumatera Thawalib (Arab: سومطرة طوالب, translit: Pelajar-Pelajar Sumatra) adalah salah satu organisasi massa Islam yang paling awal di Indonesia yang berbasis di Sumatera Barat. Sumatera Thawalib mewakili sekolah Islam modernis di Indonesia, sebuah reformasi Islam dengan penekanan berat pada Al-Qur'an, hadis, pendidikan ilmiah modern, dan penghapusan non-ortodoksi. Modernisme Islam dipromosikan oleh Muhammad Abduh.[1] Istilah Sumatera Thawalib secara harfiah berarti "Pelajar-Pelajar Sumatra", dan didirikan pada tanggal 15 Januari 1919 sebagai hasil dari pertemuan para pelajar Muslim dari Padang Panjang, Parabek (Agam), dan Padang Japang (Lima Puluh Kota). Tujuan awal organisasi ini adalah untuk memperdalam ilmu dan mengembangkan agama Islam. Organisasi ini telah memberikan kontribusi besar bagi perkembangan Islam di Sumatera Barat pada awal abad ke-20.[2] Di kemudian hari, organisasi struktural Thawalib diwarisi oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah, sedangkan sekolah-sekolah yang menjadi pendiri awalnya masih berdiri dengan kepengurusan terpisah.

Sejarah sunting

Surau Jembatan Besi dan Parabek sunting

 
Surau Jembatan Besi yang kini bernama Masjid Zu'ama Jembatan Besi

Sistem pendidikan Islam melalui surau telah menjadi bagian budaya dalam masyarakat Minangkabau. Sistem pendidikan ini masih tetap bertahan hingga awal abad ke-20, walaupun telah terjadi pembaharuan dalam pendidikan Islam. Namun, terdapat beberapa surau yang tidak mau ketinggalan dengan perkembangan madrasah. Surau-surau pertama yang telah memakai sistem kelas dengan mempergunakan meja, kursi, papan tulis, dan alat bantu pelajaran adalah Surau Jembatan Besi di Padang Panjang dan Parabek di Banuhampu.[3][4]

Sistem pendidikan Islam melalui surau telah menjadi bagian budaya dalam masyarakat Minangkabau. Sistem pendidikan ini masih tetap bertahan hingga awal abad ke-20, walaupun telah terjadi pembaharuan dalam pendidikan Islam. Namun terdapat beberapa surau yang tidak mau ketinggalan dengan perkembangan madrasah. Surau pertama yang telah memakai sistem kelas dengan mempergunakan meja, kursi, papan tulis dan alat bantu pelajaran adalah surau Jembatan Besi di Padang Panjang.[3][4]

Surau Jembatan Besi didirikan pada tahun 1914 oleh Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah, atau yang dikenal dengan Haji Rasul. Setelah Ahmad pindah ke Padang, Haji Rasul menggantikannya sebagai pimpinan surau dan memperkenalkan membawa banyak perubahan. Atas inisiatif Haji Habib, pada tahun 1915 didirikan Koperasi Pelajar yang kelak dikembangkan lagi oleh Haji Hasyim. Dengan adanya koperasi ini, surau semakin terbuka akan ide-ide pembaruan, terutama yang berasal dari dunia Barat.[3] Pada tahun 1913, Zainuddin Labay El Yunusy kembali ke Padang Panjang setelah menuntut ilmu kepada Abbas Abdullah di Padang Japang, Payakumbuh. Di surau tersebut, El Yunusy mendirikan sekolah khusus putri Diniyah Putri pada 1915. Ia kemudian mengajak para pelajar surau Jembatan Besi untuk membentuk suatu perkumpulan bernama Makaraful Ichwan untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam dan berusaha menyelesaikan masalah Agama secara ilmiah serta persahabatan antara sesama penganut agama Islam.[4]

Pada tahun 1918, melalui jejaring Ichwan, El Yunusy, Jalaluddin Thaib, dan Inyiak Mandua Basa mengubah nama koperasi pelajar tersebut menjadi Sumatera Thawalib dan memperluas ruang lingkup kegiatannya. Perubahan ini sedikit sebanyak diihami oleh organisasi pemuda sekuler-nasionalis yang sudah membuka cabang di Padang dan Bukittinggi.[4] Setelah munculnya pembaharuan di Thawalib, Haji Rasul memperkenalkan sistem kelas ala perguruan Barat pada tahun 1918. Ia menyusun ulang kurikulum, metode mengajar, dan buku referensi yang dipergunakan dalam pembelajaran di Thawalib dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum.[3]

Pada saat yang sama, surau Parabek juga mulai memperbaharui sistem pendidikannya. Awalnya bernama Muzakaratul Ikhwan atau Jami'atul Ikhwan, surau ini berakar dari sebuah komunitas pengajian yang dipimpin oleh Syekh Ibrahim Musa sejak September 1920.[3][4]

Pendirian dan pergerakan politik sunting

Pada tanggal 15 Januari 1919, bertempat di surau milik Syekh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, diadakan pertemuan antara pelajar Sumatera Thawalib dengan pelajar Parabek. Pertemuan ini menyetujui terbentuknya sebuah persatuan antara kedua pelajar lembaga pendidikan itu, yang dinamai Sumatera Thawalib, dengan tujuan memperdalam ilmu dan mengembangkan agama Islam. Lembaga ini diletakkan di bawah kepemimpinan sebuah Dewan Pusat dan cabang-cabang di daerah. Peresmian ini dihadiri oleh Haji Rasul, Abdullah Ahmad, Ibrahim Musa, dan Muhammad Thaib Umar.

Segera setelah pendirian Thawalib, para tokohnya mulai menyeru dan mendorong surau-surau di seluruh Sumatera Barat untuk bergabung. Pertemuan pada Januari 1922 menghasilkan semakin banyak surau, seperti di Maninjau, Payakumbuh, dan Batusangkar, berafiliasi kepada Thawalib dan menerapkan sistem pendidikannya. Para pelajar membentuk Persatuan Pelajar Sumatera Thawalib yang berpusat di Padang Panjang.

Pada 1923, dipengaruhi oleh Djamaluddin Tamin dan Datuak Batuah, mulai banyak pelajar Thawalib yang terpengaruh dengan ajaran komunisme. Tibanya gagasan ini bersamaan dengan menyebarnya pengaruh komunis di seantero Hindia Belanda. Mereka ditentang habis-habisan oleh dewan pengajar, terutama Haji Rasul yang saat itu telah menjabat guru besar.[3] Terjadinya Pemberontakan Malam Tahun Baru di Silungkang pada Januari 1927 meningkatkan kecurigaan pemerintahan kolonial kepada Thawalib.[3][5]

Terjunnya banyak ulama yang mengajar di Thawalib ke Persatuan Tarbiyah Islamiyah sejak 1930 mulai menarik organisasi ini ke pusaran politik praktis. Para alumnus Thawalib juga mendirikan partai Islam nasionalis Persatuan Muslim Indonesia. Pada akhirnya, Thawalib diperintahkan untuk tutup oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.[6]

Sistem pendidikan sunting

 
Perguruan Thawalib Padang Panjang

Salah satu warisan terbesar Thawalib yang masih dirasakan hari ini adalah sistem pendidikannya. Para pengajar awal Thalib seperti Haji Rasul, El Yunusy, dan Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim menekankan sikap terbuka terhadap pembaharuan, terutama dari Barat. Sekolah-sekolah Thawalib terdiri atas tujuh kelas. Pada kelas satu dan dua, hanya diberikan dua mata pelajaran; pada kelas tiga, diberikan enam pelajaran. Mulai kelas empat sudah diberikan semua pelajaran yang tersedia. Terdapat tujuh pelajaran keagamaan Islam, sedangkan yang lain adalah pelajaran-pelajaran umum. Thawalib menggunakan kitab-kitab keluaran Mekah.

Peninggalan sunting

Pada tahun 1928, para ulama tradisionalis yang dipimpin oleh mantan guru-guru Thawalib Sumatera mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) untuk menampung pendidikan Islam di Sumatera Barat.[6] Dua tahun berikutnya, mantan pelajar-pelajar Sumatera Thawalib sepakat mendirikan organisasi nasionalis Islam Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) yang akhirnya berkembang menjadi partai politik. Politisi terkemuka dari partai tersebut termasuk Rasuna Said.[5]

Selain membentuk serikat, beberapa sekolah Sumatera Thawalib Sumatera menjelma menjadi lembaga pendidikan Islam terkenal bebas politik yang independen saat ini. Pada hari ini, sekolah-sekolah yang masih menerapkan sistem pendidikan ala Thawalib termasuklah Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek di Banuhampu, Perguruan Thawalib Padang Panjang di Padang Panjang, dan Darul Funun di Padang Japang.[7]

Lihat pula sunting

Rujukan sunting

  1. ^ Menchik, 2017. pp.4
  2. ^ Daya, Burhanuddin. (1990) Gerakan Penbaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana. pp.92.
  3. ^ a b c d e f g Naim, 1990. pp.4-18.
  4. ^ a b c d e Sumatera Thawalib, Sekolah Modern Islam Pertama di Indonesia. JPNN. Retrieved November 29, 2017.
  5. ^ a b Sumatera Thawalib, Sekolah Islam Modern Pertama di Indonesia. Padang Kita. Retrieved November 29, 2017.
  6. ^ a b Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 1930-1971M. Wawasan Sejarah. Retrieved November 29, 2017.
  7. ^ Sejarah Darul Funun Website Perguruan Darul Funun

Bibliografi sunting

  • Menchik, Jeremy. (2017) Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism. Cambridge Studies in Social Theory, Religion and Politics.
  • Naim, Mochtar. (1990) Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Bukittingi. Laporan Penelitian Madrasah Bersama Tim Penelitian IAIN Imam Bonjol, Padang.

Pranala luar sunting