Suku Pekal

suku bangsa di Indonesia

Suku Pekal[1] atau Pikal adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami daerah Kabupaten Bengkulu Utara di Provinsi Bengkulu, dan juga wilayah sekitar Kabupaten Mukomuko yang berada dekat perbatasan Jambi dan Sumatera Barat. Populasi suku Pekal pada sensus tahun 2000 yakni sebesar 30.000 orang.

Pekal
Jumlah populasi
29.173 jiwa
Daerah dengan populasi signifikan
sebagian Kabupaten Bengkulu Utara • sebagian Kabupaten Mukomuko
Bahasa
Pekal • Melayu Bengkulu • Indonesia
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Rejang • Mukomuko • Minangkabau • Melayu Bengkulu

Sejarah sunting

Suku bangsa Pekal berkaitan dengan mitologi suku bangsa lainnya yang dominan terdapat di wilayah perbatasan suku bangsa Pekal. Mitologi ini berkaitan dengan mitologi suku Rejang dan hikayat Raja Inderapura dari Minangkabau. Mitologi suku Rejang sendiri memiliki pertalian erat dengan hikayat-hikayat kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.

Kisah perjalanan Empat Petulai dari Pagaruyung menjadi bagian dari mitologi suku Rejang. Dalam mitologi tersebut terlampir mitologi keberadaan suku Pekal. Dalam satu sisi terlihat bahwa secara langsung suku Rejang mengakui orang-orang dari suku Pekal merupakan bagian dari suku Rejang di bawah Bangmego Tubui. Dari sisi lain pada dasarnya suku Pekal tidaklah dapat disebutkan sebagai bagian dari suku Rejang. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa, aturan dan nilai budaya serta struktur sosial lainnya yang sebagian mengambil tata aturan nilai budaya Minangkabau.

Pekal berasal dari kata "mengkal" yang berarti seperti buah yang belum masak, tetapi juga sudah tidak lagi mentah. Dapat dimaknai bahwa suku Pekal dapat juga disimpulkan merupakan bentuk mengkal dari suku Rejang dan suku Minangkabau. Tidak terlepas dari asal-mula Ketahun. Dahulu kala ada seorang raja asal Rejang Lebong mempunyai 7 orang anak. Cerita ini bermula dari anak terakhir dan satu-satunya anak perempuan yang bernama putri Rindu Bulan. Karena putrinya ini main mata dengan pemuda biasa di kerajaannya, sehingga membuat raja Rejang Lebong marah. Raja memerintahkan keenam putranya untuk membunuh putrinya tersebut. Atas perintah dari ayahnya berangkatlah enam anaknya itu, tetapi keenam kakaknya ini tak tega membunuh adiknya. Malah mereka membawa adik bungsunya ke pinggir sungai besar dan membuatkan sebuah rakit dari bambu dengan dibekali beras dan ayam. Maka berakitlah sang putri menelusuri sungai. Sungai ini berasal dari dua bukit yang satu itu bukit Tapus yang sungainya bermuara di muara Ketahun dan yang satunya lagi bermuara ke Jambi. Hari demi hari, minggu demi minggu bahkan berbulan-bulan hingga setahun putri Rindu Bulan menyelusuri sungai hingga rakitnya rusak di muara. Kemudian ayam yang dibawa berubah menjadi seekor elang, sedangkan beras yang dibawa tertumpah dan berubah menjadi senggugu.

Setelah rakitnya diperbaiki, putri Rindu Bulan kembali berakit hingga akhirnya sampai di pulau Pagai di daerah Padang. Kemudian ia diselamatkan oleh orang-orang di sana. Putri Rindu Bulan diberikan baju yang bagus. Karena kecantikanya, sang putri Rindu Bulan mampu memikat anak raja dari kerajaan Pagai. Kemudian dipinanglah putri Rindu Bulan dan menikahlah mereka. Di daerah asal putri Rindu Bulan, ayahnya bertanya kepada keenam anaknya. Apakah putri Rindu Bulan telah dibunuh. Tentunya keenam kakaknya menjawab tidak, karena mereka tidak tidak tega membunuh adik kandung mereka sendiri, mereka terlalu menyayanginya.

Putri Rindu Bulan kemudian mengatakan pada suaminya bahwa daerah asalnya dari daerah Rejang Lebong. Kemudian putri Rindu Bulan dan suaminya mengutuskan untuk kembali ke Rejang Lebong. Itulah awal cerita sungai Ketahun yaitu berasal dari sungai yang dilewati oleh putri Rindu Bulan selama setahun, maka sungai itu diberi nama sungai Ketahun dan juga daerahnya yang bernama Ketahun. Ada juga riwayat lainnya mengenai asal istilah dari kata ketahun, dahulu orang belanda yang masuk kedaerah itu mengambil sumber alam yang ada di sana. Karena di sana banyak sekali harimau, maka orang belanda tersebut menyebut daerah itu Kat Town. Seiring waktu, ejaan tersebut disesuaikan dengan kebiasaan setempat, dan daerah tersebut menjadi Ketahun.

Bahasa sunting

Bahasa suku Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang. Sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, tetapi juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa, dan Bugis. Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada suku Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan suku Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah suku Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa Rejang. Jika mendekati wilayah budaya Minangkabau, dialeknya akan mengarah pada bahasa Minangkabau.

Budaya sunting

Tradisi dan budaya Pekal ini banyak dipengaruhi oleh dua budaya lain seperti dari budaya Minangkabau dan budaya Rejang dengan sedikit pengaruh/unsur dari Melayu Pesisir Bengkulu. Sepertinya mereka sangat mudah menyerap tradisi dan budaya dari luar, dan menerimanya menjadi bagian dari budaya mereka sendiri. Saat ini sangat susah mencari akar budaya dari suku Pekal, Karena sebagian besar mereka ambil dari tradisi dan budaya dari luar mereka.

Suku Pekal adalah pemeluk Islam secara mayoritas. Beberapa acara adat dan seni budaya mereka juga terlihat unsur Islami. Walaupun mereka telah memeluk Islam, tetapi beberapa kepercayaan terhadap hal-hal animisme dan dinamisme masih terlihat dalam kehidupan masyarakat suku Pekal. Mereka mempercayai hal-hal gaib dan tempat-tempat keramat yang konon dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan mereka.

Rumah adat masyarakat suku Pekal itu sendiri tidak berbeda dengan rumah adat dengan suku lainnya yang ada di Bengkulu, yaitu rumah panggung. Sedangkan untuk senjata suku Pekal yaitu keris, tombak, dan parang. Baik yang dianggap sebagai benda keramat dan juga digunakan sebagai senjata untuk berburu hewan serta digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang lainnya. Makanan khas dari Suku Pekal itu sambal unjang. Sambal unjang adalah makanan yang dimasak dalam bambu dan isinya ikan dicampur dengan rempah-rempah. Ikan itu dihancurkan bersamaan dengan bumbu-bumbu dan diletakkan di atas api dan di atasnya ditutup dengan daun pisang. Hampir sama dengan cara memasak lemang ataupun memasak ikan pais, tetapi yang membedakannya ikan pais menggunkan daun pisang kalau sambal unjang menggunakan bambu.

Mata pencarian sunting

Masyarakat suku Pekal ini rata-rata hidup dan berprofesi sebagai petani pada perladangan dan perkebunan. Beberapa dari masyarakat suku Pekal juga telah bekerja pada sektor swasta dan sektor pemerintahan. Suku Pekal 80% mata pencariannya merupakan petani, yakni mayoritas berkebun karet dan kelapa sawit. Dari mata pencarian ini terlihat bahwa suku Pekal pada masa sekarang berada pada tingkatan peradaban pertanian. Teknik ini merupakan ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap. Ada jugamasyarakat suku Pekal yang berada di pesisir pantai yang memanfaatkan hasil laut sebagai nelayan. Ada juga sebagian dari masyarakat suku Pekal juga bekerja di tambang batu bara milik PT Bijaksana dan di tambang emas di Lebong yang dikenal dengan tambang emas Lebong Tandai.

Sistem kekerabatan sunting

Sistem kekerabatan suku Pekal sangat erat antar sesama masyarakat suku Pekal. Berbeda dengan orang yang baru mereka kenal, mereka akan melihat apakah orang tersebut baik atau tidak. Jika orang tersebut baik maka mereka akan menganggap orang tersebut seperti saudaranya sendiri, tetapi jika kelakuan orang buruk maka mereka akan menjauhinya.

Pernikahan sunting

Dalam adat suku Pekal, wanita itu dijujur atau dibeli oleh laki-laki, kebalikan dari adat suku Minang. Jika seorang wanita itu sebelum menikah akan dimandikan dengan uang logam dan disumpah, maka wanita itu telah dijual kepada calon suaminya dan wanita itu telah menjadi hak dari suaminya. Uang yang berasal dari pembelian adiknya tadi juga dipakai oleh kakaknya untuk membeli wanita yang akan jadi calon istrinya. Adat ini mulai hilang dan jarang lagi ditemui karena perubahan zaman.

Proses pernikahan suku pekal adalah sebagai berikut:

  1. Melamar atau berasan
  2. Biaya adat
  3. Menikah
  4. Berarak (supaya orang-orang tahu bahwa akan ada yang menikah maka acara arakan ini wajib tidak boleh ditinggalkan).
  5. Duduk di kursi di tengah laman dikelilingi oleh orang banyak dan diiringi dengan tarian pencak silat.
  6. Kembali ke pelaminan.
  7. Minum punai untuk orang yang menolong dalam menyiapkan pernikahan, yaitu pada pagi hari.
  8. Makan besak maksudnya hari puncak dengan makan-makan bersama pada sorenya.
  9. Setelah selesai acara pernikahan, besok harinya diadakan ngubak basung atau doa (balik bahasa).
  10. Adat pulang bukti gadis, ini adalah adat yang menyatakan kesediaan menerima perempuan yang dinikahi jika masih perawan. Pada adat ini sang suami memberikan seperai atau alas tidur saat malam pertama kepada ibu si perempuan sebagai tanda anaknya masih suci. Jika tidak suci lagi, sang laki-laki berhak mengembalikan anak gadisnya yang tidak dapat menjaga kesuciannya. Si lelaki berhak membatalkan pernikahan. Ini menandakan betapa tinggi masyarakat suku Pekal menganut ajaran agama Islam yang sejati.

Agama sunting

Masyarakat suku Pekal mayoritas beragama Islam, tetapi masyarakat suku Pekal masih percaya terhadap roh-roh nenek moyang atau memelihara makhluk gaib seperti harimau. Menurut mereka, seorang warga Pekal yang sudah meninggal nantinya akan berubah menjadi seekor harimau. Jadi ada sebuah ritual yang dilakukan oleh masyarakat suku pekal jika sawah atau ladang mereka dirusak oleh babi. Dalam ritual tersebut masyarakat Pekal memberikan sesajen di daerah sawah atau ladang mereka yang dirusak oleh babi tersebut. Sesajen itu berapa tujuh telur ayam kampung yang diletakkan bidai (anyaman bambu) dan diiringi oleh mantra-mantra. Mereka percaya bahwa sesajen yang mereka berikan akan dimakan oleh roh-roh nenek moyang mereka. Menurut kepercayaan bahwa roh-roh nenek moyang mereka akan berubah menjadi harimau untuk mengusir babi. Setelah mereka melakukan ritual itu maka biasanya pada malamnya memang terdengar suara harimau dan itu sangat dipercayai oleh suku Pekal. Jadi, sawah atau ladang mereka tidak perlu dijaga lagi karena sudah dijaga oleh harimau. Acara keagamaan suku Pekal sama seperti acara keagamaan suku-suku lainnya yang ada di Bengkulu seperti zikir dan berdendang.

Kesenian sunting

Ada tari gandai yaitu tarian bartautan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dari suku Pekal asli. Jika dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara berpasangan yang berasal dari suku Pekal asli maka disebut tari gandai ambat. Tarian yang dilakukan secara bergantian menunjukkan aksi dan kehebatan mereka, biasanya tari ini diiringi oleh redap, serunai, gong yang merupakan alat musik tradisional dari suku Pekal. Ada tiga jenis tarian gandai yaitu leluen, nenet, dan sementaro. Tarian gandai ini wajib ditampilkan saat pesta pernikahan, tetapi bisa juga ditampilkan pada saat upacara penyambutan tamu dari pejabat-pejabat atau orang penting yang datang. Lagu daerahnya yaitu berpantun (gamat).

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Pekal". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Juni 2021. Pekal merupakan suku bangsa yang mendiami daerah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu