Suku Melayu Langkat

salah satu kelompok etnis Melayu

Melayu Langkat (Jawi: ملايو لڠكت) adalah satu kelompok etnis Melayu yang berasal dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.[1]

Melayu Langkat
ملايو لڠكت
Daerah dengan populasi signifikan
Sumatera Utara
(terutama di Langkat)
Bahasa
Bahasa Melayu Langkat
Agama
Mayoritas
Islam Suni
Kelompok etnik terkait

Terdapat beberapa perbedaan unsur bahasa, kebudayaan, kesenian, dan keberagaman sosial diantara sub-kelompok turunan dari bangsa Melayu. Hal ini dikarenakan suku Melayu inti menyebar ke berbagai penjuru wilayah dunia Melayu, sehingga terjadi asimilasi sub-kelompok turunan Melayu dengan beberapa kelompok etnis daerah tertentu di wilayah Asia Tenggara Maritim. Secara historis, populasi suku Melayu merupakan turunan langsung dari orang-orang suku Austroasiatik Austronesia yang menuturkan bahasa-bahasa Melayik yang menjalin kontak dan perdagangan dengan kerajaan, kesultanan, ataupun pemukiman tertentu (terutama dengan kerajaan Brunei, Kedah, Langkasuka, Gangga Negara, Chi Tu, Nakhon Si Thammarat, Pahang, Melayu dan Sriwijaya.)[2][3]

Perkembangan dan pendirian Kesultanan Malaka pada abad ke-15 menyebabkan revolusi besar-besaran pada sejarah bangsa Melayu. Hal tersebut terjadi karena kesultanan tersebut membawa perubahan yang sangat signifikan pada tata kebudayaan dan kesultanan tersebut meraih kejayaan pada masa tersebut.

Menurut catatan sejarah, suku Melayu telah dikenal sebagai komunitas pedagang lintas perairan dengan karakteristik budaya yang dinamis. Mereka dapat menyerap, berbagi, dan menyalurkan sekian banyak keunikan kebudayaan dari kelompok etnik lain, seperti kebudayaan Minang dan Aceh.[2][3]

Asal-usul sunting

Sebagian besar masyarakat Melayu Langkat, terutama di daerah Langkat Hulu, meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan orang Batak Karo yang datang dari Taneh Karo, yang letaknya tidak berjauhan dari lokasi kediaman mereka. Karena sudah berasimilasi dalam jangka waktu lama, mereka mulai meninggalkan kebiasaan lamanya, misalnya kebiasaan menggunakan nama marga, dan beralih menjadi pemeluk agama Islam, sehingga diterima sebagai orang Melayu. Cerita mengenai asal-usul orang Melayu Langkat ini, antara lain tercermin dalam salah sebuah pantun mereka yang berbunyi:[1]

Bukan kapak sembarang kapak

kapak untuk membelah kayu

Bukan Batak sembarang Batak

Batak sudah menjadi Melayu

Etimologi sunting

Tari joget yang berasal dari masa Kesultanan Melaka, banyak dari aspek budaya Melayu berasal dari wilayah Melaka. Kata Melayu pada awalnya merupakan nama tempat (toponim), yang merujuk pada suatu lokasi di Sumatra. Setelah abad ke-15 istilah Melayu mulai digunakan untuk merujuk pada nama suku (etnonim).[4]

Dalam karya sastra dan hikayat, kata "Melayu" kemungkinan berasal dari salah satu sungai di Sumatra, Indonesia, yakni Sungai Melayu. Beberapa orang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari sebuah kata yang berasal dari bahasa Melayu, yakni "melaju" yang berasal dari awalan 'me' dan akar kata 'laju', yang menggambarkan kuatnya arus pada sungai tersebut.[5]

Persebaran sunting

Masyarakat Melayu Langkat tersebar di Kabupaten Langkat dan sekitarnya.[6]

Demografi sunting

Wilayah kediaman orang Melayu Langkat terbagi atas daerah rawa, dataran rendah, daerah Jipatan, dan pegunungan. Sungai besar dan kecil mengalir di kabupaten ini, di antaranya Sungai Wampu, Bahorok, Lapian, Lepan, dan Besitang. Iklim di dearah ini menyebabkan tanahnya subur bagi tanaman perkebunan yang diusahakan oleh negara, swasta, atau rakyat secara perorangan. Tetapi daerah inijuga terkenal karena sering dilanda angin Bahorok, yaitu angin panas atau angin turun yang dapat merusak basil pertanian.

Pada tahun 1961 penduduk kabupaten ini seluruhnya berjumlah 341.615 jiwa. Pada tahun 1971 penduduk Kabupaten Langkat dan Kotamadia Binjai berjumlah 583.541 jiwa; sebanyak 59.942 jiwa berdiam di Kotamadia Binjai, dan 523.212 jiwa berdiam di Kabupaten Langkat. Pada tahun 1981 jumlah penduduk Kabupaten Langkat meningkat sebanyak 5,4 persen dari tahun 1971, menjadi sebanyak 660.051 jiwa. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Medan tahun 1975, orang Melayu yang berdiam di kabupaten Langkat diperkirakan berjumlah 775.910 jiwa.

Kini orang Langkat hidup bersama-sama dengan para pendatang yang akhirnya menetap di wilayah asal orang Melayu Langkat ini, antara Jain orang Batak Karo, Batak Toba, Aceh, Minangakabau, dan sebagainya. Di daerah tertentu."terutama di sekitar Kecamatan Tanjung Pura, orang Melayu masih merupakan masyarakat mayoritas. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada masa lalu daerah ini merupakan wilayah Kesultanan Langkat sekaligus pusat pemerintah Sultan Langkat. Pada tahun 1971, orang Melayu di Kecamatan Tanjung Pura adalah 21.52'1 jiwa (44,94%) di antara 47.888 jiwa penduduk kecamatan ini.

Diperkirakan jumlah orang Langkat menduduki tempat kedua dibandingkan jumlah suku bangsa pendatang Jainnya, terutama suku bangsa Jawa. Misalnya pada tahun 1981, berdasarkan penelitian Kantor Daerah Tingkat II Langkat, orang Melayu yang berdiam di Kabupaten ini diperkirakan sekitar 17 ,35%, yaitu 122. 788 jiwa, sementara orang Jawa sekitar 53,32%, yaitu 365.669 jiwa dari seluruh penduduk Kabupaten ini pada tahun tersebut yang berjumlah 660.051 jiwa. Hal ini berkaitan dengan luasnya wilayah perkebunan yang terdapat di kabupaten ini. Pada waktu lampau pengusaha perkebunan Belanda mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa untuk dipekerjakan di daerah ini. Hingga kini orang Jawa ada disetiap kecamatan di Kabupaten Langkat dengan pekerjaan sebagai mandor atau buruh di perkebunan.[1]

Bahasa sunting

Kepercayaan sunting

Sebagian besar orang Melayu Langkat adalah pemeluk agama Islam. Pengaruh Islam ini juga sangat kelihatan dalam bentuk-bentuk kesenian mereka. Selain bentuk kesenian seperti kasidah, marhaban, gambus, dan sebagainya, mereka juga mengenal seni melantunkan hikayat, dongeng, atau syair yang juga bernafaskan Islam. Di kalangan masyarakat juga berkembang kesenian berbalas pantun yang biasanya dilakukan pada upacara tertentu, misalnya dalam perkawinan.[7]

Mata pencaharian sunting

Orang Melayu Langkat umumnya hidup dari bidang pertanian dan perkebunan rakyat. Selain menanam padi di sawah, mereka juga menanam kelapa, durian, rambutan, nangka, cempedak, durian, dan pisang. Di bidang perkebunan rakyat mereka mengusahakan karet, kopi, lada, pala, kelapa sawit, purun (tanaman rawa untuk bahan pembuatan kerajinan tangan), dan cengkeh. Selain mengusahakan perkebunan milik sendiri atau mengerjakan kebunorang lain, banyak pula yang menjadi buruh di perkebunan besar milik negara. Pekerjaan memburuh ini mereka lakukan bersama-sama dengan penduduk suku bangsa Jawa yang sejak masuk ke daerah ini sudah bekerja sebagai buruh di perkebunan milik Belanda.

Pada masa lalu masyarakat mengembangkan mata pencaharian menangkap ikan di sungai, rawa dan kolam di sekitar kediaman mereka. Hasilnya dapat mereka jual ke daerah lain di sekitarnya, misalnya ke kota Binjai, Medan, bahkan sampai ke Berastagi dan Kabanjahe. Kini mereka juga beternak ayam, itik, kerbau, kuda, kambing, dan sebagainya. Usaha tradisional lainnya yang sudah lama berkembang di daerah ini adalah industri pembuatan batubaro yang dikerjakan secara perorangan di rumah-rumah. Produksi batubara dari daerah ini juga dipasarkan ke daerah-daerah lain di luar Kabupaten Langkat. Sebagian masyarakat mengembangkan pula mata pencaharian tambahan dengan mengerjakan berbagai kerajinan dari bambu, ijuk, dan sejenis tanaman rawa setempat yang disebut purun. Dari bidang ini dihasilkan anyaman bambu, sapu ijuk, payung bambu dan kertas, serta tikar. Pekerjaan lainnya adalah berdagang atau menjadi pegawai pada kantor-kantor pemerintahan.[8]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. hlm. 452. 
  2. ^ a b Milner, Anthony (2010), The Malays (The Peoples of South-East Asia and the Pacific), Wiley-Blackwell, ISBN 978-1-4443-3903-1
  3. ^ a b Barnard, Timothy P. (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, Singapura: Singapore University press, ISBN 978-9971-69-279-7
  4. ^ Timothy P. Barnard (2004). Contesting Malayness: Malay identity across boundaries. Singapore: Singapore University press. ISBN 9971-69-279-1.
  5. ^ Melebek, Abdul Rashid; Moain, Amat Juhari (2006), Sejarah Bahasa Melayu ("History of the Malay Language"), Utusan Publications & Distributors, ISBN 978-967-61-1809-7
  6. ^ "Mengenali Suku Batak Melayu Langkat". Tobatabo.com. 1 Juli 2017. Diakses tanggal 2023-10-02. 
  7. ^ Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. ISBN 453 Periksa nilai: length |isbn= (bantuan). 
  8. ^ Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. hlm. 452–453.