Suku Hatam

suku bangsa di Indonesia

Suku Hatam adalah sekelompok suku lokal yang bermukim di Pegunungan Arfak, Kecamatan Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Mereka dikategorikan dalam rumpun suku besar Arfak. Umumnya, Suku Hatam diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok atau rumpun, yaitu Suku Moile, Tinam, dan Urwam. Ketiga kelompok atau rumpun itu kemudian dibagi lagi menjadi beberapa marga atau klen berdasarkan hubungan keluarga, seperti Mandacan, Wonggor, Ullo, Ayok, Indou, Saiba, Iwouw, dan Nuham. Mereka menyebar ke beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Manokwari, seperti Ransiki, Waren, Momi, Anggi, Warmare, dan juga di pusat Ibu Kota Kabupaten Manokwari. Secara terperinci, mereka menyebar dari Ransiki berlanjut ke sebalah barat danau-danau Anggi sampai batas sekitar Kota Manokwari. Perkampungan mereka juga berada di sebelah utara dan di daerah pantai, sedangkan Tinam di daerah hulu sungai Ransiki sampai Sower di sebelah selatannya serta Urwam di daerah-daerah pantai sebelah utara Oransbari.[2]

Suku Hatam
Hattam
Daerah dengan populasi signifikan
Papua Barat (Kabupaten Pegunungan Arfak, dan Kabupaten Manokwari)
Bahasa
Bahasa Arfak dan bahasa Indonesia
Agama
Kristen Protestan[1]
Kelompok etnik terkait
Arfak (Sougb • Meyah • Moile)

Gambaran Umum sunting

Kelompok Suku Hatam tinggal di wilayah Kecamatan Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Secara astronomis, wilayah tersebut terletak di 015 Lintang Utara dan 325 Lintang Selatan, 13445 Bujur Timur dan 13235 Bujur Barat. Luas wilayah tempat tinggal mereka sendiri seluas 37.901 Km2 yang kondisi tipografinya berbeda-beda, ada yang berupa daerah pantai dan pegunungan dengan ketinggian dari 495 m sampai 2985 m di atas permukaan laut. Seluruh gunung yang berada di wilayah ini sebagian besar dikelompokan ke dalam pegunungan Arfak dengan luas 68.325 ha. Di area pegunungan Arfak tersebut, kelompok Suku Hatam bermukim.[3]

Pemukiman Suku Hatam tepatnya berada di tengah-tengah hutan pegunungan Arfak. Sebagaimana pandangan suku-suku bangsa di Papua lainnya, Suku Hatam amat menganggap tabu tanah dan hutan mereka. Hutan bagi mereka memiliki makna religius, tak tersentuh, dan memiliki dimensi waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Di dalam tanah dan hutan tersebut, tersimpan unsur-unsur kehidupan mereka, baik kehidupan sosial, budaya, religi, ekonomi, maupun politik. Tanah tersebut menjadi pengikat hubungan dari satu generasi ke generasi Suku Hatam lainnya.

Tidak heran jika kemudian Suku Hatam melabeli hutan sebagai diyebei dinieknye yang berarti tanah atau hutan yang memberikan segala kebutuhan mereka. Dengan tulus, hutan menyediakan makanan untuk anak-anak Suku Hatam. Hutan di tengah Pegunungan Arfak benar-benar menjadi tempat mereka menggantungkan segala sendi-sendir kehidupan. Hampir sejengkal kehidupan mereka dihabiskan dengan berinteraksi dengan hutan.[4]

Kegiatan Berladang sunting

Sebagaimana masyarakat Papua pada umumnya, Suku Hatam hidup dengan mengandalkan sumber daya alam. Mereka amat menggantungkan kebutuhan hidupnya melalui hutan dan sawah yang mereka garap. Sebagian besar sumber daya alam tersebut mereka manfaatkan untuk kegiatan ekonomi subsistensi, yaitu kegiatan perekonomian yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, bukan komersialisasi ataupun kolektif.[2] Namun demikian, beberapa Suku Hatam juga melakukan kegiatan ekonomi kolektif dengan catatan kebutuhan dasarnya lewat ekonomi subsistensi telah terpenuhi terlebih dahulu.

Lebih jauh lagi, di wilayah tempat tinggal mereka, kini terdapat sebuah perkebunan kelapa sawit yang sebagian pekerjanya adalah para transmigran dari Jawa. Suku Hatam hidup berdampingan dengan mereka dengan menanami kebunnya dengan pohon Cokelat. Mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hati dengan pertanian subsisten, meramu, serta berburu. Hasil pertanian ladang yang mereka olah sendiri antara lain cabai, singkong, kedelai, dan pisang.[5] Akitivitas itu meraka lakukan selama ribuan tahun, sebagaimana masyarakat di daerah iklim tropis lainnya yang secara umum juga bermatapencaharian sebagai petani tradisional. Sedangkan cara bercocok tanam yang Suku Hatam terapkan, sebagian besar masih dalam bentuk perladangan berpindah atau shifting cultivation dengan rotasi waktu selama satu tahun. Selain berladang, mereka juga melakukan aktivitas berburu binatang “berdaging” yang mampu mencukupi kebutuhan mereka akan protein. Mereka dulunya melakukan aktivitas berburu dengan anjing, namun setelah tahun 1960-an, cara tersebut mereka ganti dengan menggunakan senapan angina. Kendati demikian, Suku Hatam sangat pantang untuk memburu burung Cenderawasih.[5]

Musim panen biasa mereka sebut dengan istilah jainstabak yang berarti “dipindah ke mana”. Dalam memanen, mereka tidak melakukannya sekaligus. Mereka biasanya melihat apakah sayuran atau buah-buahan tersebut telah siap untuk dipanen atau belum (bertahap). Sayuran yang pertama kali mereka panen biasanya adalah bayam. Bayam tersebut biasanya telah siap dipanen tiga bulan setelah masa penanaman. Sementara itu, mereka biasa memanen bayam tersebut pada pagi, siang, atau sore hari. Bayem tersebut biasa mereka petik dengan menggunakan tangan kosong, tanpa alat apa pun, dan kemudian mereka masukan ke dalam noken untuk dibawa pulang atau dibagikan kepada tetangga apabila berlebih.[5]

Pembagian tugas atau peran antara laki-laki dan perempuan sangat mereka perlukan dalam kegiatan berladang tersebut. Kelompok laki-laki biasanya membuka ladang, menebangi pohon-pohon besar, menebangi dahan-dahan kayu, membersihkan sisa-sisa ranting dan daun yang sudah dikeringkan, serta memanfaatkan arang dari deaduanan tersebut menjadi pupuk untuk ditabur di atas ladang yang baru terbuka. Sementara kelompok perempuan bertugas untuk membakar sisa daun dan ranting, bercocok tanam, memelihara tanaman dan memungut hasilnya di ladang seperti ubi jalar, sayur mayor, pisang, dan tebu.[6]

Sebagaimana yang telah dijabarkan di muka, sistem bercocok tanam yang mereka terapkan sangat tergolong tradisional. Mereka biasanya melakukan kegiatan pengolahan tanah, pemeliharaan tanah, pemeliharaan tanaman dan hasil yang dipanen dicabut seluruhnya bersmamasama dengan pohonnya, kemudian mereka akan membawanya pulang ke rumah atau ke pasar. Dalam perkembangannya, cara tradisional tersebut mulai berubah dan berkembang seiring dengan munculnya interaksi antara Suku Hatam dengan para pendatang. Terutama sejak tahun 1970-an, ketika marak program transmigrasi dari negara, sistem mengelola lahan yang lebih “modern” mulai mereka lakukan setelah melihat keterampilan para transmigran dalam mengolah tanahnya. Proses perubahan itu menjadi semakin nyata ketika pada tahun 1972, pemerintah membuat kebijakan transmigrasi lokal dimana Suku Hatam berkesempatan untuk hidup berdampingan dengan transmigran nasional untuk mengolah tanah.[6]

Kondisi Demografi sunting

Sebagaimana penjelasan di muka, masyarakat Suku H[2] atam adalah satu dari empat kelompok besar Suku Arfak seperti Suku Moile dan Suku Meyah, Tinam, dan Urwan. Suku Hatam saat ini tidak tinggal secara eksklusif di kampungnya sendiri, melainkan berdampingan dengan suku-suku bangsa lainnya di Pegunungan Arfak dan di daerah pelestarian seperti Sougb dan Meyakh. Komposisi mereka banyak mengalami perubahan akibat sikap terbuka yang mereka tunjukan kepada para pendatang. Mereka juga melakukan perkawinan campuran dan hidup bersama dengan para pendatang. Sebagai misal, saat ini ada dua marga Sougb di perkampungan mereka yang dulunya merupakan tempat eksklusif bagi Suku Hatam.[2]

Sebelumnya, Suku Hatam mendiami rumah-rumah besar yang didalamnya dihuni oleh 100 orang. Tiap rumah dipimpin oleh kepala suku sehingga marga-marga yang ada di dalamnya menjadi sangat Individualistis dan sukar untuk bekerjasama. Istilah “kepala suku” yang baru mereka kenal diadopsi oleh istilah “pemimpin suku” yang dicetuskan oleh pemerintah. Hal itu menyebabkan daerah-daerah yang berada di dataran tinggi hanya terdiri dari satu rumah yang jauh lebih kecil dengan dihuni oleh sekitar 10-15 orang.[2]

Stratifikasi Sosial sunting

Suku Hatam juga memiliki aturan atau pandangan tersendiri pada derajat atau kedudukan seseorang dalam komunitas mereka. Kedudukan atau derajat tersebut dapat dilihat dari jabatan atau posisi sosial mereka di mata masyarakat atau bisa juga dilihat dari tingkat kekayaan yang dimilikinya. Lapisan atas dalam struktur sosial Suku Hatam diisi oleh kepala desa, kepala adat, kepala suku, dan para pemuka agama. Sementara itu, lapisan paling bawah ditempati oleh rakyat biasa.

Dalam struktur sosial mereka, kepala desa atau kepala suku sangat dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat. Demikian halnya dengan kelompok masyarakat yang memiliki harta kekayaan belimpah, akan dianggap memiliki kelas sosial yang tinggi. Kekayaan tersebut salah satunya dapat dilihat dari punya atau tidaknya ternak babi di rumah mereka. Bagi Suku Hatam, masyarakat yang memiliki ternak babi akan dianggap kaya dan dengan demikian akan dipandang terpandang serta diikuti segala petuahnya, sebagaimana kepala desa atau kepala adat. Namun demikian, kelompok masyarakat yang menampati kelas sosial tinggi tersebut biasanya gemar melakukan poligami.[2]

Dalam perkembangannya, peran kepala suku atau pemimpin suku mulai kehilangan pamornya ketika pemerintahan resmi desa berdiri. Posisi mereka tergeser oleh keberadaan kepala desa yang dipilih oleh pemerintah dan masyarakat umum. Kepala desa yang dipilih tidak melulu harus kepala suku atau keturunan kepala suku. Kepala desa dapat juga berupa masyarakat biasa namun dihormati dan disegani sekaligus dianggap mampu memimpin masyarakatnya. Biasanya, kepala desa yang hendak dipilih masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, sehingga tidak sulit untuk memutuskan kepala desa. Meskipun demikian, peranan kepala suku masih tetap dihargai eksistensinya oleh masyarakat. Memudarnya peran mereka sendiri bermula ketika keberhasilan negara dalam menumpas Organisasi Papua Merdeka atau OPM di wilayah Kepala Burung pada tahun 1972. Dalam operasi tersebut, kepala suku dari Suku Hatam banyak yang terlibat. Di samping itu, masyarakat umum juga melihat bahwa peran pemerintah desa dalam berbagai aspek kehidupan mereka juga terlihat lebih menonjol. Tidak salah jika kemudian mereka lebih menganggap keberadaan kepala desa daripada kepala suku.[2]

Perubahan yang terjadi dalam kehidupan Suku Hatam tersebut juga dipicu oleh beberapa faktor seperti peranan agama, peranan pemerintah, adanya komunikasi dengan anggota masyarakat lain serta adanya keinginan anggota masyarakat lain untuk maju. Sebelum didominasi oleh kepala desa, kepala suku bagi masyarakat Suku Hatam memiliki peran yang amat strategis. Mereka berkewajiban untuk menyelesaikan permasalahan sengketa tanah. Kepala suku sendiri memiliki beberapa anggota yang apabila terjadi permasalahan terkait tanah, ia beserta anggotanya akan mengadakan musyawarah sendiri untuk membahas permasalahan tersebut. Sebisa mungkin, mereka berusaha untuk dapat menyelesaikannya baik-baik tanpa terjadi pertumpahan darah. Dalam musyawarah tersbeut, kepala suku memiliki keputusan tunggal, sementara anggota yang lain hanya mampu memberikan saran-saran atau masukan. Selain persoalan tanah, kepala suku juga berwenang untuk menyelesaikan perselisihan antar-perorangan atau antar-suku. Sebisa mungkin, permasalahan yang timbul tidak boleh menyebabkan perselisihan lebih lanjut apalagi berlanjut menjadi pertumpahan darah. Kepala suku sejauh ini selalu dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dengan damai melalui berunding bersama di rumah adatnya.[2]

Pemukiman sunting

Pemukiman Suku Hatam berbentuk sebuah pedesaan yang setiap pedesaan terdiri dari beberapa unit. Setiap unit yang ada dihuni oleh seorang atau beberapa ey ijja. Setiap ey ijja tersebut adalah kepala keluarga dalam satu nibouw mem nyenti. Bila satu pedesaan terdapat beberapa nibouw mem nyenti, maka di desa itu terdapat sejumlah ey ijja. Di antara ey ijja di desa itu ada yang ternama di antara mereka. Sementara sejumlah ey ijja yang lain rata-rata memiliki kewibawaan yang sederajat satu sama lain. Oleh sebab itu, di setiap desa tidak ada seorang pemimpin yang tunggal dan mutlak, tetapi terdiri dari ey ijja yang masing-masing mempunyai wibawa tersendiri di dalam komunitas mem nyenti. Mereka biasanya saling menghormati masing-masing wibawanya dan saling bekerjasama dalam berbagai urusan. Para ey ijja ini saling berkoordinasi untuk kepentingan pertahanan dari serangan musuh, urusan-urusan sosial seperti urusan kematian dan perkawinan, serta urusan ekonomi seperti pembukaan kebun baru, panen hasil pertama, dan lain-lain.

Selain terdapat beberapa ey ijja, dalam pedesaan Suku Hatam juga terdapat beberapa rumah adat. Rumah adat tersebut disebut dengan rumah adat kaki seribu, yang biasanya terdiri dari fungsionaris-fungsionaris tertentu yang tersusun rapi. Fungsionaris tersebut ada yang berperan sebagai panglima, pengendali, pertahanan belakang rumah, sayap kiri, dan kanan dalam rumah adat, serta fungsi-fungsi pendukung ketika mereka tampil di publik. Hanya ada satu panglima dan pengendali yang dikenal dan disegani oleh masyarakat.

Saat ini, baik di desa maupun di kota, banyak ey ijja dari satu ijja grup yang sama tampil di kota sebagai kepala suku dari ijja grupnya. Bahkan, satu bapa sekalipun saling mengklaim dirinya sebagai kepala suku pengganti ayahnya, meskipun masing-masing anak tahu diri atas peran dan fungsinya di dalam honai adat.[7]

Namun demikian, sebelum modernisme dan pedesaan-pedesaan terbentuk di papua, masyarakat Suku Hatam telah hidup dalam komunitas-komunitas kecil yang terdiri dari 15-20 orang dari moyang yang sama. Mereka berasal dari keluarga luas yang sifatnya patrilineal dimana mereka merasa memiliki hubungan keturunan yang sama. Di struktur mereka pada masa lampau pun terdapat komunitas yang pemimpinnya dipilih sendiri oleh mereka. Untuk mendapatkan posisi tersebut, seorang pemimpin adat haruslah mereka yang memiliki wibawa dan bersifat senior serta memiliki pengetahuan yang luas tentang kondisi tanah adat dan keadaan sosial masyarakatnya.

Lebih lanjut lagi, di dalam desa mereka biasanya selalu terdapat marga, yaitu kelompok kekerabatan lokal yang secara hierarki membawahi beberapa rumah dan di dalam rumah tersebut terdapat klen-klen tertentu. Kepemimpinan yang terjadi dalam setiap rumah Suku Hakam amat bergantung pada keberadaan pemimpinnya. Pemimpin tersebut pada dasarnya memilki tugas ganda, yaitu tugas internal dan tugas eksternal. Secara internal, pemimpin wajib mengurusi segala permasalahan yang terjadi di dalam rumah atau marganya. Secara eksternal, pemimpin berkewajiban untuk menjadi juru bicara marganya ketika ada kegiatan-kegiatan tertentu di luar rumahnya. Dalam perkembangannya, seorang pemimpin dapat berganti-ganti akrena faktor-faktor tertentu, seperti kematian atau perkawinan.

Tradisi Kepemilikan Tanah sunting

Salah satu tradisi yang melekat kuat dalam diri Suku Hatam adalah tradisi penguasaan tanah tertentu. Di masa lampau, mereka akan mengklaim suatu daerah tertentu yang tidak bertuan sebagai wilayahnya. Daerah tersebut kemudian akan ditandai dengan simbol atau batas-batas tertentu, seperti gunung, sungai, dan lembah yang kemudian akan diberitahukan kepada orang lain yang datang kemudian hari. Pemberitahuan kepada orang lain tersebut adalah proses pernyataan legalisasi hak tuan tanah (pemilik tanah) kepada orang lain sekalipun tidak ada pernyataan tertulis di atas kertas. Sejak saat itu, pengakuan hak milik atas tanah orang lain banyak dilakukan oleh masyarakat yang ada.

Tanah yang telah diakui oleh Suku Hatam tersebut umumnya masih sangat luas. Mereka memerlukan anak laki-laki atau saudara laki-lakinya untuk ikut membagi dan mengolah tanah. Mereka akan membagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil kepada anak atau saudara laki-lakinya yang dinilai telah mampu mengolah tanah. Apabila ia meninggal dunia, hak kepemilikan atas tanah tersebut sebagai tuan tanah akan dilanjutkan oleh anak laki-lakinya atau saudara laki-lakinya. Tradisi pengakuan hak milik tanah tersebut terjadi secara turun temurun.

Oleh sebab masyarakat Suku Hatam menganut sistem kekerabatan patrilineal, garis keturunan ayah (laki-laki) lah yang kelak akan mewarisi tanah tersebut. Meskipun di beberapa kasus tertentu, pewaris tanah adalah garis keturunan ibu, hal itu dinilai wajar mengingat ketika seorang perempuan menikah, nama marga yang disandangnya tidak lagi menggunakan marga dari garis keturunan ibu.[8]

Tanah dalam kehidupan masyarakat Suku Hatam dikuasai secara komunal atau bersama-sama dengan keberadaan tuan tanah sebagai pemimpin tertingginya. Ketika terjadi pembagian tanah, tuan tanah lah yang harus membaginya kepada klen atau marga-marga yang telah ditentukan. Begitu pula ketika terjadi perselisihan atau sengketa, tuan tanah memiliki kewajiban dan tanggung jawab besar untuk mampu menyelesaikannya.[8]

Tradisi pewarisan tanah tersebut amat berkembang di kalangan Suku Hatam sebab mereka percaya bahwa seluruh tanah di Pegunungan Arfak pasti memiliki pemilik, sekalipun kondisi tanah tersebut berbatu dan berawa. Pemilik tanah biasanya adalah keluarga besar, keluarga inti, dan individu. Tuan tanah dari sebuah keluarga inti biasanya telah membagi tanahnya kepada anggota keluarganya dengan satu marga dan klen.[9] Dalam budaya yang berkembang dalam kehidupan mereka, tanah sejatinya diperoleh melalui pewarisan yang diberikan oleh ayahnya kepada garis keturunan laki-laki. Dalam hal ini, anak laki-laki dalam keluarga Suku Hatam memiliki hak penuh atas tanah tersebut. Sementara itu, anak perempuan hanya memiliki hak pakai. Hal itu disebabkan karena anak perempuan ketika menikah akan mengikuti suaminya dan mempertahankan harta warisan tanah suaminya melalui keturunan-keturunan yang akan dilahirkannya.[9]

Tradisi kepemilikan tanah bagi Suku Hatam menjadi sangat penting, sebab hal itu menunjukan secara jelas dan tegas di daerah mana seseorang berhak mendirikan rumah, membuka kebun, berburu, dan mengambil hasil hutan. Sebagai contoh, seorang dari keluarga inti dilarang membangun rumah atau berburu di wilayah tanah keluarga besar lainnya; begitupan sebuah keluarga besar dilarang untuk berkebun atau mendirikan rumah serta berburu dan mengambil hasil hutan di tanah milik keluarga besar lainnya. Di dalam satu keluarga inti, seorang anggota keluarga hanya diperkenankan untuk membangun rumah dan melakukan kegiatan ekonomi subsisten di tanah milik keluarganya sendiri.

Referensi sunting

  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama SOUK1
  2. ^ a b c d e f g h Mandacan, Agus. 2011. Pola Penguasaan dan Kepemilikan Tanah pada Masyarakat Suku Hatam Kecamatan Warmare Kabupaten Manokwari Tahun 1950-1972. Tesis. Program Magister Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada
  3. ^ http://www.manokwarikab.go.id/halaman/wilayah-dan-kependudukan
  4. ^ Lesmana, Yusak. 2010. Jelajah Papua Eksotisme Alam Budaya di Pintu Gerbang Papua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  5. ^ a b c Pietsau Amafnini. 2010. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Adat Papua di Kampung Saray-Sebuah Potret Kehidupan Orang Kampung di Sekitar Hutan. Jayapura: Arsip BLOG
  6. ^ a b Kelompok Penelitian Etnografi Irian Jaya. 1993. Etnografi Irian Jaya Panduan Sosial Budaya. Jakarta: Graha Indonesia
  7. ^ Lokobal, Nico A. 2006. Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua. Jayapura: Biro penelitoan STFT Fajar Timur
  8. ^ a b Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing
  9. ^ a b Soerojo, Wignjodipoero. 1084. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adar. Jakarta: PT Gunung Agung