Gbaya, Gbeya, atau Baya, adalah sebuah suku etnik yang tersebar di wilayah barat Republik Afrika Tengah, timur-tengah Kamerun, utara Republik Kongo, dan barat laut Republik Demokratik Kongo.[4] Pada paruh pertama abad ke-20, Gbaya terlibat dalam beberapa upaya pemberontakan melawan pemerintahan kolonial Jerman dan kemudian Prancis.

Gbaya
Distribusi suku Gbaya (dilingkari).[1][2]
Jumlah populasi
1.2 juta[3]
Bahasa
Gbaya
Agama
Kekristenan

Di daerah pedesaan, Gbaya menanam terutama jagung, singkong, ubi, kacang tanah, tembakau, kopi dan beras, dan dua yang terakhir diperkenalkan oleh Prancis. Saat ini, banyak orang Gbaya beragama Kristen, meskipun ilmu sihir dipraktikkan, yang dikenal sebagai doa.

Sejarah sunting

 
Desa Gbaya sekitar 1900.

Orang Gbaya telah ada di Afrika Tengah setidaknya sejak abad ke-16.[5] Penelitian arkeologi telah menentukan tempat asal mereka berada di suatu tempat di lembah bawah Sungai Lobaye.[6] Selama awal abad ke-19, beberapa suku Gbaya bermigrasi ke wilayah timur yang sekarang disebut Kamerun.[6]

Selama abad ke-19, terjadi serangkaian perang suku Gbaya melawan suku Fulani dari Kekhalifahan Sokoto.[7] Perang ini ditandai dengan penyerbuan budak yang ekstensif, mengakibatkan perbudakan sejumlah besar Gbaya oleh Fulani.[8]

Kontak pertama dengan orang Eropa terjadi pada tahun 1892, ketika penjelajah Prancis Antoine Mizon memasuki wilayah Gbaya setelah mengaliri Sungai Sangha.[9]

Pada awal 1900-an, daerah tempat tinggal Gbaya menjadi bagian dari Kamerun Jerman.[10] Gbaya, yang secara tradisional tinggal di komunitas pedesaan kecil, sangat membenci urbanisasi paksa yang dibawa oleh Jerman. Banyak suku awalnya menanggapi dengan pindah ke daerah terpencil, tetapi kampanye represi Jerman segera memaksa mereka kembali tunduk.[11] Pada tahun 1910, semua suku yang menentang telah ditundukkan, dan para pemimpin mereka telah digantung.[12] Sejak tahun 1912, banyak suku Gbaya dipaksa mengumpulkan karet untuk Jerman.[13]

Ketika Perang Dunia Pertama pecah, Prancis, Inggris, dan Belgia menyerbu Kamerun Jerman. Banyak Gbaya bergabung dengan Prancis untuk membalas dendam atas penindasan yang mereka derita di tangan Jerman.[14] Saat mereka mundur, pasukan Jerman menggunakan taktik bumi hangus, membakar banyak desa Gbaya.[15] Gbaya juga sangat menderita ketika sejumlah Pasukan Publique Kongo terlibat dalam serangkaian pemerkosaan dan pembunuhan terhadap penduduk setempat.[15] Untuk menghindari kengerian perang, banyak suku Gbaya pergi untuk tinggal jauh ke dalam hutan hujan, dan segera praktek-praktek lama yang pemerintah Jerman telah berusaha untuk memadamkan, seperti perang suku, perbudakan dan kanibalisme, menjadi populer kembali.[15]

Pada tahun 1928, pengerahan kerja paksa oleh Prancis untuk membangun Kereta Api Laut Kongo,[1] dan munculnya Karnu, seorang nabi Gbaya yang mengaku memiliki kekuatan magis yang dapat mengalahkan Prancis, menyebabkan Gbaya memberontak secara besar-besaran. Karnu terbunuh lebih awal, tetapi pemberontakan terus berkecamuk selama sekitar tiga tahun sampai Prancis akhirnya dapat memadamkannya.

Rakyat Gbaya merasa didiskriminasi dalam ranah politik, bahkan setelah merdeka dari Prancis. Baru pada tahun 1990-an sejumlah pemimpin Gbaya mulai diterima ke posisi yang lebih tinggi di pemerintahan.[16] Perkiraan populasi yang ada sangat berbeda, dari 1,2 juta,[3] turun menjadi 685.100, di mana 358.000 di antaranya adalah penduduk asli Kamerun.[17]

Sub kelompok dan bahasa sunting

 
Seorang pria Gbaya pada 1903

Subkelompok Gbaya diantaranya Bokoto, Kara, Kaka, Buli, dan Bwaka. Orang Gbaya berbicara dalam bahasa subkelompok Adamawa-Ubangi dari rumpun bahasa Niger-Kongo.

Kanibalisme sunting

Pra-kolonial dan era kolonial awal, Suku Gbaya secara rutin terlibat dalam ritual kanibalisme.[18][19][20] Meskipun pada dasarnya menargetkan musuh yang dikalahkan, dalam beberapa kesempatan bisa diperluas ke budak yang dimiliki.[21] Perilaku ini sangat menjijikkan orang Jerman dan Perancis, menyebabkan mereka meremehkan dan menganiaya orang Gbaya, dan lebih menyukai etnis lain (seperti Fulani) daripada Gbaya.[15]

Pada akhir abad ke-20, kanibalisme dianggap telah benar-benar menghilang dari budaya Gbaya. Salah satu kasus terakhir yang tercatat terjadi pada tahun 1949, ketika selusin pria tua Gbaya dari sebuah desa dekat Bertoua ditangkap setelah melakukan ritual kanibalisme.[22]

Praktik ekonomi dan budaya sunting

 
Pisau lempar Gbaya.

Di daerah pedesaan, Gbaya menanam terutama jagung, singkong (makanan pokok), ubi, kacang tanah, tembakau, kopi dan beras, dan dua yang terakhir diperkenalkan oleh Prancis. Metode pertanian Gbaya disebut "swidden", sejenis pertanian "tebas dan bakar", di mana hutan dibuka, vegetasinya dibakar, kemudian pertanian dilakukan dalam beberapa tahun, sebelum kemudian ditinggalkan dan pindah ke daerah baru.[23] Industri berlian dibuka pada akhir 1930-an.[1]

Gbaya membuat minuman beralkohol yang dibuat dengan madu yang dikenal sebagai kuri. Kam, adalah bubur Gbaya yang terbuat dari singkong.[16] Saat ini, sebagian besar orang Gbaya adalah Kristen (50% Protestan, 33% Katolik), sekitar 12% mengikuti kepercayaan asli, dengan hanya minoritas Muslim (3%).[23][24] Ilmu sihir dikenal dipraktikkan, dan dikenal orang sebagai doa.[25]

Cerita dan ritual orang Gbaya adalah ciri masyarakat sehari-hari.[26] Ritual menggunakan peralatan seni bela diri seperti pedang bermata dua dan pisau lempar.[27]

Referensi sunting

  1. ^ a b c "Gbaya". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 16 October 2016. 
  2. ^ Shillington, Kevin (2013). Encyclopedia of African History. Routledge. hlm. 398–400. ISBN 978-1-135-45669-6. 
  3. ^ a b Olson, James Stuart (1996). The Peoples of Africa: An Ethnohistorical Dictionary. Greenwood Publishing Group. hlm. 193. ISBN 978-0-313-27918-8. 
  4. ^ Burnham, Philip; Christensen, Thomas (1983). "Karnu's Message and the 'War of the Hoe Handle': Interpreting a Central African resistance movement". Africa: Journal of the International African Institute. Cambridge University Press. 53 (4): 3–22. doi:10.2307/1159708. 
  5. ^ Bateranzigo, Léonidas (1995). Les Gbaya et les Kaka de l'Est-Cameroun, des Origines à 1960. University of Yaoundé. hlm. 33. 
  6. ^ a b Bateranzigo 1995, hlm. 97.
  7. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 93.
  8. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 34.
  9. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 122.
  10. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 127.
  11. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 128.
  12. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 130.
  13. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 131.
  14. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 139.
  15. ^ a b c d Bateranzigo 1995, hlm. 140.
  16. ^ a b Burnham, P. C. (January 1997). Gbaya . The Rosen Publishing Group. hlm. 59–61. ISBN 978-0-8239-1995-6. 
  17. ^ "Baya". Joshuaproject.net. Diakses tanggal 16 October 2016. 
  18. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 96.
  19. ^ Webster, Hutton (1942). Taboo: A Sociological Study. Stanford University. hlm. 126. 
  20. ^ Clozel, François-Joseph (1896). Les Bayas : notes ethnographiques et linguistiques. hlm. 9. 
  21. ^ Clozel 1896, hlm. 9.
  22. ^ Bateranzigo 1995, hlm. 401.
  23. ^ a b Molefi Kete Asante; Ama Mazama (2009). Encyclopedia of African Religion. SAGE Publications. hlm. 116. ISBN 978-1-4129-3636-1. 
  24. ^ Rosander, Eva Evers (1997). Transformation Des Identités Féminines. Nordic Africa Institute. hlm. 206. ISBN 978-91-7106-403-5. 
  25. ^ Währisch-Oblau, Claudia; Wrogemann, Henning (9 January 2015). Witchcraft, Demons and Deliverance. LIT Verlag Münster. hlm. 144. ISBN 978-3-643-90657-1. 
  26. ^ Mudimbe, V. Y. (6 October 2016). Tales of Faith: Religion as Political Performance in Central Africa. Bloomsbury Publishing. hlm. 76. ISBN 978-1-4742-8137-9. 
  27. ^ Jacqueline Cassandra Woodfork (2006). Culture and Customs of the Central African Republic. Greenwood Publishing. hlm. 157. ISBN 978-0-313-33203-6.