Sistem Kangchu adalah sistem sosio-ekonomi organisasi dan administrasi yang dikembangkan oleh masyarakat imigran petani Tionghoa di Johor[fn 1] selama abad ke-19. Masyarakat Tionghoa membentuk perkumpulan tidak resmi (sama seperti organisasi Kongsi yang ditemukan di komunitas Tionghoa lainnya) dan memilih pemimpin yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Di Tiongkok, "Kangchu" (bahasa Tionghoa: 港主, Pinyin: Gáng Zhǔ, Teochew: Kaang6 Zhu8) secara harfiah bermakna "dewa sungai", dan merupakan gelar yang diberikan kepada mandor-mandor Tionghoa di sekitaran sungai.[1][fn 2] Pemimpin "Kangchu" disebut dengan Kapitan.

Pekerja Tionghoa di perkebunan gambir dan lada di Singapura, c. 1900.

Penggunaan istilah "Kangchu" meluas pada abad ke-19 setelah imigran Tionghoa mulai menetap di sekitar Johor dan mendirikan perkebunan gambir dan lada.[fn 3] Kesejahteraan sosial dan ekonomi para imigran Tionghoa berada di tangan pemimpin Tionghoa setempat, yang bertanggungjawab untuk mengelola perkebunan yang umumnya terletak di sepanjang bantaran sungai.[4] Asal usul sistem Kangchu bisa ditelusuri dari abad ke-18 saat kuli-kuli Tionghoa mulai menetap di wilayah Penang dan Riau, dan mendirikan perkebunan lada dan gambir di sana. Penguasa yang memerintah Johor, Temenggong Ibrahim dan penerusnya, Sultan Abu Bakar, mulai memerhatikan sistem Kangchu pada paruh pertama abad ke-19 untuk membentuk sistem administrasi yang lebih terorganisir setelah setelah semakin banyaknya jumlah imigran Tionghoa yang menetap di sana, yang juga berperan penting dalam mengembangkan perekonomian negara. Sistem Kangchu juga berkembang di kawasan Asia Tenggara lainnya yang memiliki komunitas Tionghoa dalam jumlah besar. Para Kangchu dan kuli yang bekerja di perkebunan gambir dan lada umumnya berasal dari Teochew, dan kebanyakannya adalah imigran Tionghoa generasi pertama atau kedua.[5] Pada tahun 1917, pemerintah kolonial Britania di Johor menerapkan peraturan yang menghapuskan sistem Kangchu di wilayah tersebut, dan harga gambir anjlok selama awal abad ke-20.[6]

Sejarah awal sunting

Asal usul sistem Kangchu bisa ditelusuri sejak pertengahan abad ke-18, ketika para imigran awal Tionghoa yang menetap di Penang[7] mulai mengembangkan berbagai jenis tanaman perkebunan komersial, termasuk lada, gambir, pinang, dan cengkeh. Perkebunan ini ditinggalkan pada akhir abad ke-18 karena Penang berperang dengan pelaut Bugis, yang mengakibatkan banyaknya perkebunan gambir yang musnah. Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah perkebunan dan semakin populernya aktivitas perdagangan rempah-rempah, yang menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar.[8] Pada awal abad ke-19, imigran Tionghoa mulai menyebar ke Malaka dan Singapura, tempat perkebunan gambir dan lada juga telah ada.

Pada akhir 1820-an, imigran Tionghoa juga mulai berpaling ke Johor untuk mendirikan perkebunan gambir dan lada atas dorongan dari Temenggong Abdul Rahman dan penerusnya, Daing Ibrahim.[9] Setelah semakin banyaknya imigran Tionghoa yang mendirikan perkebunan gambir dan lada di Johor pada tahun 1840-an, Temenggong Ibrahim membentuk birokrasi yang beranggotakan para petinggi Melayu untuk mengawasi masalah-masalah administrasi di tubuh Kanchu.[10] Ia mulai mengeluarkan izin resmi, yang dikenal dengan Surat Sungai dalam bahasa Melayu. Izin ini memungkinkan para pemimpin Kanchu untuk mendirikan perkebunan di sepanjang tepi sungai. Pada gilirannya, Kangchu diwajibkan untuk membayar pajak yang berasal dari keuntungan yang dihasilkan oleh perkebunan gambir dan lada. Surat Sungai ini juga mesti diperbarui dalam jangka waktu tertentu.[4]

Abad ke-19 sunting

Perkebunan gambir dan lada pertama kali muncul di Johor Selatan, terutama di Skudai. Lau Lib Keng, seorang imigran Tionghoa yang tinggal di Skudai, adalah orang pertama yang memperoleh Surat Sungai; bagian tepi sungai disewakan kepada Lau untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan gambir dan lada.[11] Sejak 1850-an dan seterusnya, lebih banyak imigran Tionghoa yang datang ke Johor, terutama ke kawasan hutan di Johor Selatan seperti Tebrau, Plentong, dan Stulang, setelah terlebih dahulu dirambah untuk dijadikan perkebunan gambir dan lada.[12] Saat putra Temenggong Ibrahim, Abu Bakar, menggantikan posisi ayahnya sebagai Temenggong Johor pada tahun 1862, kurang lebih sebanyak 37 Surat Sungai telah dikeluarkan untuk berbagai komunitas Kangchu, yang secara keseluruhan bertanggungjawab untuk mengelola sekitar 1.200 perkebunan gambir dan lada yang tersebar di wilayah tersebut.[13] Sebagian besar pemimpin komunitas Tionghoa juga menjadi anggota perkumpulan rahasia, dan perang komunal sering kali pecah antar kelompok Tionghoa yang berasal dari dialek berbeda di Singapura, umumnya disebabkan oleh kepentingan ekonomi yang saling bertentangan. Dari tahun 1850-an dan seterusnya, Kangchu mulai menanamkan pengaruh politik dalam tubuh negara dengan cara menjalin hubungan dekat dengan Temenggong Abu Bakar. Pada tahun 1865, Abu Bakar secara resmi mengakui perkumpulan Teochew cabang Johor dari Kongsi Ngee Heng, setelah seorang pemimpin Kangchu bernama Tan Kee Soon menyediakan sejumlah pasukan untuk mengalahkan pasukan Sultan Ali, saingan Abu Bakar.[12] Meskipun demikian, Abu Bakar tetap meminta kepada Kongsi Ngee Heng untuk menerima imigran Tionghoa yang berasal dari dialek lain, dengan demikian bisa mencegah perang komunal seperti yang terjadi di Singapura.[12]

 
Kapal Tiongkok berlayar di Selat Johor pada tahun 1879

Tanaman perkebunan ini umumnya diekspor ke negara-negara lain dari Singapura dengan bantuan pedagang Tionghoa yang bermarkas di kota tersebut. Sejak 1860-an dan seterusnya, banyak Kangchu yang terlilit utang dan mulai menjual perkebunan mereka kepada para pedagang atau kepada Kongsi yang lebih besar,[1] atau yang dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan Tuan Sungai. Kangchu sering kali dipekerjakan sebagai penyelia atau pengelola oleh para pedagang untuk mengawasi kegiatan operasional di perkebunan gambir dan lada. Temenggong Abu Bakar mulai mengeluarkan surat kontrak yang mengakui keberadaan Kangchu; surat ini dalam bahasa Melayu disebut dengan Surat Tauliah.[14]

Setelah perkebunan gambir dan lada diperluas pada 1870-an, Kangchu yang lebih mapan dipercaya untuk mendirikan perkebunan yang lebih besar dan membuat kontrak dengan para pedagang Tionghoa yang berasal dari Singapura. Keuntungan yang dihasilkan oleh perkebunan ini menjadi penyumbang terbesar bagi perekonomian Johor,[1] dan turut membantu membiayai pembangunan infrastruktur Johor. Hubungan Abu Bakar dengan para pemuka Tionghoa juga sangat baik, dan ia telah menunjuk banyak warga Tionghoa untuk menduduki jabatan politik di Johor. Abu Bakar menunjuk dua pemimpin komunitas Tionghoa untuk menduduki kursi Dewan Negara Johor, kedua orang tersebut adalah seorang Kangchu dari Chaozhou, Tan Hiok Nee, dan seorang kontraktor dari Taishan, Wong Ah Fook, yang juga memiliki perkebunan gambir dan lada di Mersing pada tahun 1880-an.[15] Karena sebagian besar tanah di sepanjang tepi sungai di Johor Selatan sudah disewa oleh imigran Tionghoa sebelumnya, para imigran baru mulai bermigrasi ke arah utara pada 1870-an dan menggarap perkebunan gambir dan lada lebih jauh ke utara, terutama ke Yong Peng, Batu Pahat, Benut, Endau, dan Kota Tinggi.[16] Secara khusus, Abu Bakar terus mendorong imigran Tionghoa untuk mendirikan perkebunan di Muar, tak lama setelah pemerintah kolonial Britania memutuskan untuk mendukung Abu Bakar ketimbang Tengku Alam Shah (putra sulung Sultan Ali) sebagai Sultan Johor, dan Britania memberikan Abu Bakar kontrol atas Muar.[17]

Kemerosotan sunting

Pada akhir abad ke-19, perekonomian Johor mulai ditinjau ulang untuk memberikan kesempatan bagi penanaman tanaman perkebunan lainnya. Dimulai dengan diperkenalkannya kopi pada tahun 1881,[18] dan kemudian diikuti oleh komoditas lainnya seperti tapioka, teh, nanas, dan karet. Kopi dan tapioka dengan cepat diabaikan pada tahun 1890 setelah harga jual tanaman ini anjlok di pasaran, sedangkan karet berhasil memiliki pijakan yang kuat di Johor karena tingginya permintaan terhadap komoditas ini pada tahun 1910-an.[19] Harga jual gambir anjlok pada 1905 dan 1906, dan sebagian besar Kangchu berpaling dari gambir dan mulai menanam karet.[20] Menurunnya jumlah perkebunan gambir dan lada juga dipicu oleh penindasan pemerintah kolonial Britania terhadap sistem pertanian tradisional yang digunakan oleh Kangchu untuk menanam gambir dan lada; metode baru yang dipaksakan pemerintah kolonial menyebabkan tanah menjadi kering dan semakin menipisnya hutan karena kayu-kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar di pabrik-pabrik kecil.[21] Beberapa tahun sebelum sistem Kangchu dihapuskan, nilai ekspor gambir dan lada merosot lebih dari 60% pada tahun 1912 hingga 1917.[22]

Britania telah lama tidak menyukai Kangchu karena mereka memiliki hubungan dengan komunitas rahasia di Singapura, juga keterlibatan mereka dalam berbagai kejahatan sosial seperti perjudian dan menghisap candu, kegiatan yang ingin disingkirkan oleh Britania dari Singapura dan Federasi Malaya. Pada awal 1890, Gubernur Britania Cecil Clementi Smith membujuk Abu Bakar agar segera memberlakukan Ordonansi Masyarakat dan melarang aktivitas Kongsi Ngee Heng, namun ditolak.[23] Tak lama setelah Britania menunjuk seorang penasihat untuk Johor, Smith mulai mengait-ngaitkan tingginya tingkat kejahatan di Johor dengan aktivitas Kangchu. Pada tahun 1915, pemerintah Johor, yang telah berada di bawah kendali Britania, mengesahkan Societies Enactment, yang menyebabkan pembubaran Kongsi Ngee Heng pada tahun berikutnya.[24] Sistem Kangchu secara resmi dihapuskan pada bulan Desember 1927 melalui sebuah keputusan pemerintah Johor, yang telah dikuasai oleh Britania.[18]

Peran Kangchu sunting

Temenggong Johor (kemudian Sultan Johor) memberikan hak otonomi yang besar kepada Kangchu dengan menyerahkan sebidang tanah untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan,[25] termasuk hak untuk memungut pajak atas nama Temenggong, serta menjamin kesejahteraan kuli Tionghoa yang tinggal di tanah tersebut. Kangchu umumnya diberi pengecualian pajak untuk hal-hal tertentu.[4] Beberapa Kangchu perkebunan juga bekerja sebagai pemilik toko dan pedagang untuk memenuhi kebutuhan Kangchu lain, dan Kangchu ini tidak dikenakan pajak penghasilan. Mereka juga diberi kebebasan untuk menjual daging babi, candu, dan alkohol.[26] Kangchu terkadang memberikan sebidang tanahnya untuk dijadikan perumahan para kuli perkebunan, dan perumahan ini lambat laun berkembang menjadi pusat administrasi Kangchu. Wilayah-wilayah ini pada umumnya terletak di sekitar bantaran sungai, dan dikenal dengan sebutan Kangkar (secara harfiah berarti "kaki sungai", bahasa Tionghoa: 港脚, Pinyin: Gáng Jiǎo, Teochew: Kaang6 Caar8).[27][fn 4]

Lihat juga sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "Johor" sebagai sebuah negara atau Kesultanan telah ada sejak abad ke-14. Sistem ini juga dipraktikkan di Singapura dan Riau ketika Kesultanan Johor memerintah wilayah ini. Negara bagian Johor kemudian menjadi bagian dari Federasi Malaya (kemudian Malaysia) sejak tahun 1957 dan seterusnya.
  2. ^ "Kangchu" adalah istilah bahasa Tionghoa yang bisa digunakan dalam bentuk tunggal ataupun jamak. Kebanyakan teks sastra Barat sering menyebut "Kangchus" sebagai bentuk jamak.[2]
  3. ^ Spesies gambir dan lada yang ditanam di Singapura, Johor, dan negara-negara Melayu lainnya adalah Uncaria Gambir dan Piper Nigrum.[3]
  4. ^ These settlements were known as "Chu Kang", (bahasa Tionghoa: 厝港, Pinyin: Cuò Gǎng, Teochew: Chu2 Kaang6) literally "back port" in Chinese, as many settlements were located near the backwater areas of jungles along the river banks. Each "Chu Kang" is named after the owner of the plantation; for instance, Lim Chu Kang (now in modern Singapore, see also List of place names of Kangchu system origin)[28]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Andaya (1984), hlm. 140
  2. ^ Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1975), hlm. 132
  3. ^ Corfield & Corfield (2006), hlm. 175.
  4. ^ a b c Ooi (2004), hlm. 710
  5. ^ Lim (2002), hlm. 46
  6. ^ 猶如酋長擁有特權港主百年風光不再: 系列2 Diarsipkan 2014-01-03 di Wayback Machine., 15 July 2000, Sin Chew Jit Poh
  7. ^ Mak (1995), hlm. 156
  8. ^ Hussin (2007), hlm. 119
  9. ^ Gambe (2000), pp. 82-3
  10. ^ Hooker (2003), hlm. 108
  11. ^ Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1975), hlm. 11
  12. ^ a b c Ahmad & Liok, hlm. 310 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Ahmad310" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  13. ^ Radio Televisyen Malaysia (1987), hlm. 27
  14. ^ Ahmad & Liok (2003), hlm. 311
  15. ^ Ahmad & Liok (2003), hlm. 313
  16. ^ Trocki (1979), pp. 134, 136, 158, 179
  17. ^ Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1966), hlm. 16
  18. ^ a b Ahmad & Liok (2003), hlm. 316
  19. ^ Andaya (1984), hlm. 214
  20. ^ Jackson (1968), hlm. 49
  21. ^ Andaya (1984), hlm. 211-2
  22. ^ Tate (1971), hlm. 198
  23. ^ Ahmad & Liok (2003), pp. 316-7
  24. ^ Ahmad & Liok (2003), pp. 317-8
  25. ^ Trocki, Carl A. (1st 1997, 2nd 2007), Prince of Pirates: The Temenggongs and the Development of Johor and Singapore 1784-1885, NUS Press, hlm. 130, ISBN 978-9971-69-376-3  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  26. ^ Lim (2002), hlm. 79
  27. ^ Trocki (1979), hlm. 90
  28. ^ Chia, Mengtat Jack, Beyond Riots: Chinese Businessmen and Secret Societies in Singapore 1819-1890, NUS History Society e-journal, pg 7-8

Bibliografi sunting