Siddhartha Gautama dalam Hinduisme

Dalam agama Hindu, Buddha Gautama muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Dia disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain Buddha Gautama, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.

Siddhartha Gautama
(Buddha Gautama)
Dewa Hindu
Awatara Wisnu sebagai Sang Buddha

Berbeda dengan ajaran Hindu, ajaran Buddha Gautama tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta"[1] sehingga agama Buddha termasuk bagian dari salah satu aliran nāstika (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran agama Dharma lainnya, seperti Dwaita. Namun beberapa aliran lainnya, seperti Adwaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya.[2]

Buddha dalam Sastra Hindu sunting

Sang Buddha disebutkan dalam beberapa kitab Hindu, termasuk dalam hampir seluruh Purana. Bagaimanapun, tidak semuanya mengacu kepada orang (Buddha) yang sama, mengingat bahwa Buddha tidak hanya satu; beberapa di antaranya mengacu kepada orang lain, dan beberapa penyebutan kata "buddha" hanya berarti "seseorang yang memiliki buddhi." Kebanyakan dari penggunaan kata "buddha" tersebut mengacu kepada pendiri Buddhisme (Siddhartha Gautama).[3] Purana mendeskripsikannya dengan dua peran: menyebarkan ajaran palsu untuk menyesatkan kaum asura (makhluk sesat, penentang dewa) dan semacamnya, dan mengkritik pengorbanan binatang seperti yang sudah ditentukan dalam Weda.[4] Kitab Purana yang menyatakan Buddha termasuk dalam daftar awatara, yaitu:

Dalam kitab Purana, biasanya Buddha disebut sebagai awatara kesembilan di antara sepuluh awatara Wisnu. Seringkali Buddha disebut sebagai seorang yogi atau yogācārya, dan sebagai sanyasin (petapa). Biasanya ayahnya disebut Suddhodhana, sama dengan tradisi Buddhisme, sementara dalam kitab lainnya ayah Sang Buddha disebut Anjana atau Jina. Sang Buddha digambarkan sebagai sosok rupawan (devasundara-rūpa), dengan kulit putih atau merah pucat, dan memakai jubah merah atau merah-coklat.[5]

Dalam berbagai Purana, Sang Buddha dijelaskan sebagai seorang penjelmaan Wisnu yang turun ke dunia untuk menyesatkan kaum asura maupun manusia dari ajaran dharma Weda. Kitab Bhawishyapurana menyatakan sebagai berikut:

Pada masa ini, mengingat saatnya Zaman Kali (kegelapan), Dewa Wisnu menjelma sebagai Gautama, seorang Shakyamuni, dan mengajarkan dharma Buddha selama sepuluh tahun. Kemudian Shuddhodana memerintah selama dua puluh tahun, dan Shakyasimha selama dua puluh tahun. Pada tahap pertama Zaman Kali, jalan Weda dihancurkan dan seluruh pria menjadi umat Buddha. Orang-orang yang mencari perlindungan kepada Wisnu telah menjadi sesat.[6]

Menurut Wendy Doniger, Buddha awatara yang muncul dalam versi berbeda-beda dalam berbagai Purana mungkin menggambarkan usaha kaum Brahmanisme Ortodoks untuk memfitnah kaum Buddhis dengan menyamakan mereka dengan kaum asura (raksasa; makhluk sesat).[7] Helmuth von Glasenapp menghubungkan perkembangan ini dengan niat umat Hindu untuk menyerap Buddhisme dengan cara yang damai, baik untuk mengarahkan kaum Buddhis menuju Waisnawa maupun untuk menceritakan fakta bahwa tindakan bidah semacam itu dapat terjadi di India.[8]

Buddha Gautama sebagai awatara Wisnu sunting

 
Buddha muncul sebagai salah satu awatara Wisnu yang tercatat dalam Purana. Dalam lukisan sepuluh awatara Wisnu ini, Buddha (di sebelah bawah) dilukiskan dengan banyak lengan.

Karena keragaman tradisi dalam agama Hindu, tidak ada sudut pandang tertentu atau kesepakatan tentang peran Sang Buddha yang resmi. Sudut pandang bahwa Buddha sebagai awatara yang menganjurkan tindakan tanpa kekerasan (ahimsa) masih menjadi kepercayaan populer di antara sejumlah organisasi Waisnawa masa kini, termasuk ISKCON.[9] Pada bagian Dasavatara sotra dalam Gita Govinda, seorang penyair Waisnawa mahsyur, Jayadeva Goswami (1200 M) memasukan Buddha di antara sepuluh awatara utama Wisnu dan menulis sebuah doa tentang Dia sebagai berikut:

Oh Kesawa (Wisnu)! Wahai Tuhan alam semesta! Wahai Dewa Hari, yang telah menjelma sebagai Buddha! Semua kemuliaan milik-Mu! Oh Buddha berhati penuh kasih, Engkau menentang penyembelihan hewan malang yang dilakukan menurut aturan Weda.[10]

Ada sekte Waisnawa di Maharashtra, yang dikenal sebagai Warkari, yang menyembah Dewa Witoba (juga dikenal sebagai Witala, Pandurangga). Meskipun umumnya Witoba dianggap sebagai manifestasi Kresna kecil, ada keyakinan yang mendalam sejak berabad-abad bahwa Withoba adalah suatu manifestasi Buddha. Banyak penyair suci Maharashtra (seperti Eknath, Namdev, Tukaram, dll.) secara eksplisit menyebutnya sebagai Buddha, walaupun banyak kaum neo-Buddhis (Ambedkari) dan sarjana barat yang cenderung menolak pendapat tersebut. Sosok Witoba sebagai awatara Wisnu mungkin telah disamakan dengan Buddha dalam upaya untuk mengasimilasi Buddhisme ke dalam tradisi Hindu. Ajaran Buddha juga telah dimasukkan dalam Waisnawa Warkari dan telah terintegrasi dengan filosofi tradisional Weda secara unik.

Salah satu kitab Hindu yang menyebutkan kehadiran Buddha sebagai penjelmaan Tuhan (Wisnu) adalah Bhagawatapurana. Dalam kitab tersebut diuraikan penjelmaan Tuhan dari zaman ke zaman dan kehadiran Sang Buddha disebut setelah kemunculan Balarama dan Kresna. Seperti yang disebutkan dalam kitab tersebut, Sang Buddha terlahir pada Zaman Kali (zaman kegelapan) untuk menyesatkan musuh para pemuja Tuhan:

tataḥ kalau sampravṛtte sammohāya sura-dviṣām । buddho nāmnāñjana-sutaḥ kīkaṭeṣu bhaviṣyati ॥

Srimadbhagawatam (1:3:24)

Terjemahan

Maka, pada permulaan Kaliyuga [Dia] akan terlahir sebagai Buddha, putra Anjana, di Kikata (Bihar), untuk menyesatkan siapa saja yang menjadi musuh para pemuja Tuhan.

 
Patung Buddha sebagai awatara Wisnu di suatu kuil di Dwaraka Tirumala,Andhra Pradesh.

Stephen Knapp, penulis buku The Secret Teachings of the Vedas menyatakan bahwa sloka tersebut tidak akurat bila disimak secara harfiah, mengingat bahwa Siddhartha Gautama lahir di Taman Lumbini (Nepal), dan ibunya bernama Mahamaya. Sesungguhnya Siddhartha menjadi Buddha di Bodh Gaya, negara bagian Bihar. Ibunya wafat saat ia masih kecil sehingga ia diasuh neneknya, Anjana. Maka dari itu, prediksi dalam sloka dari Bhagawatapurana dapat dibenarkan.[11]

Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman Kaliyuga, masyarakat menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan kehidupan. Ada suatu kepercayaan bahwa pada kedatangan Sang Buddha, banyak brahmana di India yang menyalahgunakan upacara Weda demi kepuasan nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang sia-sia dan tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara untuk memulihkan keseimbangan.

Buddha Gautama lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana, sekitar abad ke-6 SM. Suddhodana sangat mengharapkan Siddhartha menjadi Cakrawarti (Maharaja Dunia), tetapi pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan petapa Kondanna yang mengatakan bahwa Siddhartha akan menjadi Buddha karena melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan pertapa. Karena tidak mau anaknya menjadi Buddha, keempat hal tersebut selalu berusaha ditutupi olah Suddhodana. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua, mati, dan pertapa suci dilihat oleh Siddhartha. Siddhartha sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang Buddha sehingga ramalan pertapa Kondanna menjadi kenyataan. Keinginan Siddhartha untuk mendapat pencerahan (yang mengantarnya menjadi Buddha) terlintas ketika ia melihat empat hal tersebut. Pikirannya terbuka untuk mencari obat penawar sakit, tua, dan mati. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pertapa dan berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajaran mereka, tetapi semuanya tidak membuat Siddhartha puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika bertapa di bawah Pohon bodhi di Bodh Gaya pada malam Purnama Sidhi bulan Waisak.

Oleh umat Hindu, Siddhartha dihormati dan diyakini sebagai salah satu penjelmaan (awatara) Wisnu. Dalam beberapa tradisi Hinduisme, Rama dan Kresna yang merupakan awatara juga dipuja sebagai dewa bahkan sebagai Tuhan, tetapi Sang Buddha yang juga merupakan awatara tidak dipuja dalam Hindu selayaknya awatara yang lain. Sang Buddha menolak diterapkannya lembaga kasta dan upacara-upacara dalam Weda, serta tidak mengakui kewenangan kitab Weda, sehingga ajaran Dia menjadi agama tersendiri.

Perspektif, opini, dan reaksi sunting

 
B.R. Ambedkar, Menteri Hukum dan Keadilan India pertama, menolak doktrin yang menyatakan Buddha adalah penjelmaan Wisnu. Pada tahun 1956, ia mengajak ribuan orang dalit (kasta terendah di India) agar berpindah ke agama Buddha, untuk bebas dari masyarakat berbasis kasta.

Sejumlah tokoh revolusioner modern Hindu, termasuk Gandhi, telah terinspirasi oleh kehidupan dan ajaran Buddha dan reformasi yang diusahakannya.[12] Buddhisme mendapat perlakuan baik dalam gerakan Hindutva kontemporer, dengan dihormatinya Dalai Lama ke-14 dalam acara-acara Hindu, seperti Konferensi Hindu Dunia Vishva Hindu Parishad kedua di Allahabad pada tahun 1979.[13]

Aktivis Hindu modern yang menonjol, seperti Sarvepalli Radhakrishnan dan Vivekananda, menganggap Buddha sebagai guru kebenaran universal yang sama yang mendasari semua agama dunia.[14][15]

Banyak sarjana Hindu yang beranggapan bahwa agama Buddha dipandang sebagai "Brahmanisme yang direformasi",[16] dan banyak umat Hindu yang percaya bahwa agama Buddha, seperti halnya Waisheshika dan Lokayata, merupakan salah satu sekte dalam Sanatana Dharma. Menurut Sarvepalli Radhakrishnan, Buddha tidak menganggap dirinya sebagai seorang inovator, tetapi hanya seorang yang memperbaiki jalan Upanishad.[17]

B. R. Ambedkar, yang membangun kembali Buddhisme di India, menolak bahwa Buddha adalah penjelmaan Wisnu. Di antara 22 sumpah yang ia berikan kepada kaum neo-Buddhis, sumpah kelima berbunyi: "Saya tidak dan tak akan percaya bahwa Sang Buddha adalah penjelmaan Wisnu. Saya meyakini [doktrin] itu sebagai pemikiran sesat dan propaganda belaka."[18]

Tahun 1999, dalam Masyarakat Maha Bodhi (lembaga umat Buddha Asia Selatan) di Sarnath, Jagadguru Sankaracharya, Jayendra Saraswati dari Kanchi matha dan Vipassana Acharya S. N. Goenka, memberikan pengumuman yang menyepakati tiga poin berikut ini setelah melakukan diskusi:[19]

  • Karena alasan tertentu beberapa sastra yang ditulis di India pada zaman dahulu menganggap Buddha sebagai reinkarnasi Wisnu dan berbagai anggapan keliru mengenai Dia, hal ini sangat tidak menyenangkan. Dalam upaya mengembangkan hubungan yang lebih akrab antara umat Hindu dan Buddha kami memutuskan bahwa apapun yang terjadi pada masa lalu mesti dilupakan dan keyakinan tersebut tidak boleh disebarkan.
  • Untuk menghapus kekeliruan ini selamanya kami mengumumkan bahwa baik Weda maupun Samana merupakan tradisi kuno di India (Wisnu termasuk tradisi Weda sedangkan Buddha termasuk tradisi Samana). Usaha yang dilakukan suatu tradisi untuk menunjukkan bahwa ia lebih mulia dibandingkan tradisi lainnya hanya memupuk kebencian dan sakit hati antara keduanya. Maka dari itu hal tersebut tidak boleh dilakukan untuk selanjutnya dan dua tradisi harus saling menghormati dan menghargai.
  • Siapa pun mampu mencapai derajat tinggi di masyarakat dengan cara melakukan perbuatan baik. Seseorang mendapat derajat yang buruk di masyarakat jika melakukan perbuatan buruk. Maka dari itu siapa pun yang melakukan perbuatan baik dan melenyapkan niat kotor seperti nafsu, amarah, kebodohan, ketamakan, kecemburuan, dan ego dapat mencapai derajat tinggi di masyarakat dan menikmati kedamaian dan kebahagiaan.

Kontradiksi dengan agama Hindu sunting

 
Lukisan Parinirvana Sang Buddha, dihadiri oleh Dewa Sakra dan Brahma.

Meskipun ada pandangan dalam Hinduisme yang menganggap Buddha sebagai seorang awatara, kadang kala ajarannya bertolak belakang dengan agama Hindu dan dianggap sebagai suatu bentuk nonteisme karena mengajarkan bahwa dunia tidak diciptakan oleh Tuhan Sang Pencipta. Meskipun agama Buddha meyakini adanya para dewa, tetapi para dewa tersebut bukanlah makhluk mahakuasa, tidak menciptakan alam semesta.[20] Meskipun ajaran Buddha menyatakan adanya Brahma, tetapi Brahma tersebut berbeda dengan Brahma dalam agama Hindu yang menciptakan alam semesta. Brahma dalam agama Buddha tidak hanya satu; mereka hanyalah suatu golongan dewa, seperti yang dijelaskan dalam Brahmajala Sutta. Ajaran Buddha juga mengakui adanya Sakra, atau pemimpin para dewa, sama seperti Indra (alias Sakra) dalam ajaran Hindu, tetapi karakteristik dan kisah kehidupan keduanya berbeda.

Agama Buddha juga menekankan bahwa segala hal tidak kekal (anicca), tetapi yang membedakannya dengan agama lainnya yang berasal dari India adalah agama Buddha menyatakan tidak ada inti diri yang kekal, atau tiada jiwa dalam makhluk hidup (anatma atau anattā; tiada atma).[21][22][23] Keyakinan tentang sesuatu yang bersifat kekal, atau ada jiwa dalam makhluk hidup dianggap sebagai pandangan atau keyakinan yang keliru menurut agama Buddha, dan merupakan sumber utama kemelekatan dan penderitaan (dukkha).[24][25][26]

Agama Buddha mengajarkan keyakinan tentang tumimbal lahir, atau kelahiran berulang-ulang. Menurut keyakinan ini, setiap makhluk terlahir berulang-ulang di antara 31 alam kehidupan, dan melalui proses kematian.[27] Namun menurut ajaran agama Buddha, kelahiran berulang-ulang tersebut bukanlah perpindahan jiwa (atman) ke tubuh yang baru, berbeda dengan keyakinan dalam agama Hindu dan Jainisme.[28] Menurut ajaran agama Buddha, keyakinan tentang atman tidaklah benar; itu keyakinan yang keliru.[29]

Salah satu dari Mahayana Sutra, yaitu Sutra Lankawatara, berisi dialog antara Sang Buddha dengan Mahamati. Dalam dialog tersebut, Sang Buddha menyatakan bahwa konsep Tuhan yang berdaulat, atau atman adalah imajinasi belaka atau perwujudan dari pikiran dan bisa menjadi halangan menuju kesempurnaan karena ini membuat kita menjadi terikat dengan konsep Tuhan Maha Pencipta. Kutipan dari sutra tersebut sebagai berikut:

Semua konsep seperti penyebab, suksesi, atom, unsur-unsur dasar, yang membuat kepribadian, jiwa pribadi, roh tertinggi, Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Pencipta, adalah imajinasi belaka dan perwujudan dari pemikiran manusia.

Tidak, Mahamati, doktrin Tathágata dari rahim ke-Tathágata-an tidaklah sama dengan filosofi Atman.[30]

Ajaran Buddha tidak mengakui adanya Tuhan Sang Pencipta, sedangkan ajaran Hindu meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Selain itu, agama Hindu menganggap Buddha sebagai inkarnasi Tuhan. Pengikut filsafat Buddha tidak mengakui adanya makhluk, duniawi maupun surgawi, yang setara maupun lebih hebat daripada Siddhartha Gautama, yang dikenal sebagai Sang Buddha. Hal ini bertentangan dengan pandangan Hindu yang menganggap Buddha adalah penjelmaan dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Tradisi Hindu menganggap ajaran Buddha sebagai salah satu ajaran nastika, tidak hanya karena menolak adanya Tuhan Sang Pencipta, tetapi juga tidak mau mengakui kewenangan kitab Weda.[31] Seperti yang tercatat dalam Cankki Sutta (Majjhima Nikaya), Sang Buddha berkata kepada sekelompok brahmana:

O Vasettha, para pendeta yang memahami sastra (Weda) tersebut seperti barisan orang buta yang terikat bersama-sama di mana orang yang pertama tidak melihat apapun, yang di tengah tidak melihat apapun, dan yang terakhir tidak melihat apapun.

Walpola Rahula, seorang rahib Buddhis menulis, "Selalu menjadi pertanyaan tentang tahu dan melihat, bukan meyakini. Ajaran Sang Buddha bersifat ehipassiko, mengajak Anda untuk datang dan melihat, bukan datang dan percaya... Selalu melihat dengan pengetahuan atau kebijaksanaan, bukan meyakini dengan iman."[32]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "Buddhist attitude to God". 
  2. ^ Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same? oleh David Loy, National Univ. of Singapore (69-70): "The similarities between Mahayana and Advaita Vedanta have been much noticed; they are so great that some commentators conceive of the two as different stages of the same system. Curiously, both Shankara and his predecessor Gaudapada were accused of being crypto-Buddhists, while on the other side, Theravadins criticized Mahayana for being a degeneration back into Hinduism." Terjemahan: "Kemiripan antara Mahayana dan Adwaita Wedanta sering kali diperhatikan; hal ini sungguhlah besar sehingga beberapa komentator menyatakan bahwa keduanya merupakan stadium berbeda dari sistem yang sama. Anehnya, baik Shankara maupun pendahulunya Gaudapada dituduh sebagai kaum kripto-Buddhis, sementara itu di sisi lain, kaum Theravada mengkritik Mahayana sebagai sebuah degenerasi kembali ke Hinduisme."
  3. ^ Singh 1997, hlm. 260–275
  4. ^ Singh 1997, hlm. 264
  5. ^ Singh 1997, hlm. 262–264
  6. ^ O'Flaherty 1976, hlm. 203
  7. ^ O'Flaherty 1976, hlm. 200
  8. ^ Von Glasenapp (1962: 113), dikutip dalam O'Flaherty 1976, hlm. 206
  9. ^ A. C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, Pendiri ISKCON. "Kuliah 1974". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2011-09-12. Because people were addicted so much in violence, in killing the animals, therefore Buddha philosophy was needed (karena orang-orang gemar melakukan kekerasan, membunuh hewan, maka filsafat Buddha diperlukan. 
  10. ^ Dasavatara stotra
  11. ^ Stephen Knapp. "Buddhism and Its Vedic Connections". Diakses tanggal 2011-9-12. 
  12. ^ "Mahatma Gandhi and Buddhism" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-07-10. Diakses tanggal 2011-09-11. 
  13. ^ McKean, Lise: Divine Enterprise. Gurus and the Hindu Nationalist Movement. Chicago University Press, 1996. Elst, Koenraad: Who is a Hindu (2001)
  14. ^ Barrows, J. H. (1893). Hinduism, in The World's Parliament of Religions. Vol. II. Chicago. hlm. 978. 
  15. ^ Eastern Religions and Western Thought, New York 1969, pp. 326–7.
  16. ^ Christian Lindtner: "From Brahmanism to Buddhism", Asian Philosophy, 1999, John Woodroffe (Arthur Avalon): Shakti and Shakta, Koenraad Elst: Who is a Hindu (2001).
  17. ^ Radhakrishnan: Indian Philosophy, vol.2, hal.469.
  18. ^ Ucko, Hans (2002). The people and the people of God. LIT Verlag Münster. hlm. 101. ISBN 9783825855642. 
  19. ^ Fostering Friendly Relations
  20. ^ Dr V. A. Gunasekara. "The Buddhist Attitude to God". Statement made to a Multi-religious Seminar. Diakses tanggal 2007-04-27. 
  21. ^ Anatta Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013)
  22. ^ [a] Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN 978-1-136-22877-3. 
    [b] Gombrich (2006), page 47, Quote: "(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."
  23. ^ [a] Anatta, Encyclopædia Britannica (2013), Quote: "Anatta in Buddhism, the doctrine that there is in humans no permanent, underlying soul. The concept of anatta, or anatman, is a departure from the Hindu belief in atman ("the self").";
    [b] Steven Collins (1994), Religion and Practical Reason (Editors: Frank Reynolds, David Tracy), State Univ of New York Press, ISBN 978-0791422175, page 64; "Central to Buddhist soteriology is the doctrine of not-self (Pali: anattā, Sanskrit: anātman, the opposed doctrine of ātman is central to Brahmanical thought). Put very briefly, this is the [Buddhist] doctrine that human beings have no soul, no self, no unchanging essence.";
    [c] John C. Plott et al (2000), Global History of Philosophy: The Axial Age, Volume 1, Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120801585, page 63, Quote: "The Buddhist schools reject any Ātman concept. As we have already observed, this is the basic and ineradicable distinction between Hinduism and Buddhism";
    [d] Katie Javanaud (2013), Is The Buddhist 'No-Self' Doctrine Compatible With Pursuing Nirvana?, Philosophy Now;
    [e] David Loy (1982), Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same?, International Philosophical Quarterly, Volume 23, Issue 1, pages 65–74
  24. ^ Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8. , Quote: "(...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps – the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering."
  25. ^ Richard Francis Gombrich; Cristina Anna Scherrer-Schaub (2008). Buddhist Studies. Motilal Banarsidass. hlm. 209–210. ISBN 978-81-208-3248-0. 
  26. ^ Frank Hoffman; Deegalle Mahinda (2013). Pali Buddhism. Routledge. hlm. 162–165. ISBN 978-1-136-78553-5. 
  27. ^ Keown, Damien (1996). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford University Press. hlm. 107. 
  28. ^ Oliver Leaman (2002). Eastern Philosophy: Key Readings. Routledge. hlm. 23–27. ISBN 978-1-134-68919-4. 
  29. ^ [a] Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN 978-1-136-22877-3. 
    [b] Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8. , Quote: "(...) anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps – the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering."
    [c] Gombrich (2006), page 47, Quote: "(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."
  30. ^ Lankavatara sutra, bab VI
  31. ^ Bhattacharyya 1999, hlm. 174
  32. ^ Rahula, Walpola (1959), What The Buddha Taught, ISBN 0-8021-3031-3 

Referensi sunting

Pranala luar sunting

Buddha Gautama
Sebelumnya:
Kresna
Awatara Wisnu
ke-9
Berikutnya:
Kalki